Pendahuluan
Positif Thinking adalah cara berfikir yang di proses secara positif yang menghasilkan “energi yang positif”, yaitu suatu energi yang akan menghasilkan pemikiran-pemikiran dan sikap-sikap yang baik yang dapat membuat manusia menjadi bersemangat melakukan hal-hal yang benar dan menjadi bahagia. Artikel ini membahas pemikiran lima tokoh berpengaruh yang punya peran besar dalam membentuk konsep berpikir positif. Setiap tokoh punya pandangan yang berbeda - beda mulai dari sikap tenang dalam menerima takdir sampai keyakinan bahwa pikiran bisa menciptakan realitas. Dengan memahami perkembangan pemikiran mereka, kita bisa lebih mudah menerapkan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari.
Marcus Aurelius adalah salah satu filsuf paling terkenal dari aliran Stoikisme, yaitu ajaran filsafat yang menekankan pentingnya mengendalikan diri, berpikir rasional, dan menerima hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Menurutnya, kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh situasi di luar diri kita, tapi oleh cara kita melihat dan menanggapi setiap keadaan yang terjadi. Salah satu ucapannya yang paling terkenal berbunyi, “You have power over your mind, not outside events. Realize this, and you will find strength.” Kalimat ini menggambarkan inti dari ajarannya, yaitu bahwa kekuatan sejati bukan datang dari kemampuan mengubah keadaan luar, tapi dari kemampuan kita mengendalikan pikiran dan emosi sendiri. Dengan kesadaran seperti itu, seseorang bisa menemukan ketenangan dan kekuatan batin, bahkan saat menghadapi situasi yang sulit sekalipun.
Ajaran Marcus Aurelius dari Stoikisme bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang simpel tapi punya makna yang dalam. Salah satu contohnya adalah belajar menerima hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Misalnya, saat sesuatu tidak berjalan sesuai harapan seperti gagal ujian, kehilangan sesuatu, atau bertemu orang yang bikin kesal ajaran Marcus mengajarkan kita untuk tidak terbawa emosi, tapi lebih fokus pada hal yang masih bisa kita atur, yaitu sikap dan pola pikir kita sendiri.
Contoh Kasus: Menghadapi Nilai Ujian Yang buruk
Kita sudah berusaha keras belajar untuk ujian, tapi hasilnya tetap tidak sesuai harapan. Wajar kalau merasa kecewa atau kesal. Tapi menurut ajaran Marcus Aurelius, hal seperti ini sebaiknya tidak membuat kita tenggelam dalam emosi negatif. Nilai ujian bukan hal yang sepenuhnya bisa kita kontrol, karena ada banyak faktor lain yang bisa memengaruhi hasilnya. Yang bisa kita kendalikan hanyalah cara kita menanggapinya. Daripada marah atau terus menyalahkan diri sendiri, lebih baik kita menerima hasilnya dengan tenang dan memikirkan apa yang bisa diperbaiki untuk ke depannya. Dengan begitu, kita bisa belajar untuk tetap berpikir jernih, sabar, dan fokus pada langkah positif, bukan terus memikirkan hal yang sudah lewat.
Refleksi Singkat
Dari pengalaman tersebut, saya belajar bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginan kita. Namun, seperti ajaran Marcus Aurelius, saya menyadari bahwa yang paling penting adalah cara saya menanggapi setiap keadaan. Dengan tetap tenang dan berpikir rasional, saya bisa menerima hasil apa pun dengan lapang dada. Seperti kata Marcus, “You have power over your mind, not outside events.” -kekuatan sejati ada pada pikiran kita sendiri, bukan pada hal-hal di luar kendali.
Metode conversio mengajak kita untuk berbalik ke dalam diri sendiri dan merenungkan setiap pengalaman hidup. Hal ini sejalan dengan ajaran Marcus Aurelius yang menekankan pentingnya mengendalikan pikiran dan emosi. Dengan mengenali diri dan belajar dari dalam, kita bisa menemukan ketenangan, kebijaksanaan, dan kekuatan sejati seperti yang diajarkan oleh filsafat Stoikisme.
Suatu hari, saya pernah dikritik oleh teman karena katanya saya terlalu cuek dan kurang peduli sama orang lain. Awalnya saya merasa tersinggung dan agak kesal, tapi setelah saya pikir-pikir lagi, saya mencoba menerapkan metode conversio — yaitu dengan berbalik ke dalam diri sendiri dan merenungkan perkataannya. Saya mulai bertanya pada diri saya sendiri, “Apa benar saya seperti itu? Apa selama ini saya terlalu sibuk sama urusan sendiri sampai lupa memperhatikan orang lain?” Dari situ saya sadar kalau ada bagian dari diri saya yang memang perlu diperbaiki. Dengan belajar melihat ke dalam diri, saya jadi lebih memahami sikap saya sendiri dan berusaha berubah jadi pribadi yang lebih peka dan peduli. Dari pengalaman ini, saya merasa metode conversio benar-benar membantu saya untuk lebih mengenal diri dan memperbaiki sikap tanpa harus menyalahkan orang lain.
Metode askesis adalah cara untuk melatih diri agar bisa tetap tenang dan bijak menghadapi berbagai hal dalam hidup. Marcus Aurelius mengajarkan bahwa kita perlu belajar membedakan antara dua hal penting, yaitu Fortuna dan Virtue.
Fortuna adalah hal-hal yang ada di luar kendali kita, seperti nasib, keberuntungan, pujian, atau situasi yang terjadi dalam hidup.
Sedangkan Virtue adalah hal-hal yang bisa kita kendalikan sendiri, seperti cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Dari latihan ini, kita diajak untuk tidak bergantung pada hal-hal yang tidak bisa kita atur (Fortuna), tapi fokus pada menjaga sikap dan karakter kita sendiri (Virtue). Dengan begitu, kita bisa tetap kuat dan tenang, apa pun keadaan yang kita hadapi.
Fortuna adalah hal-hal yang ada di luar kendali kita. Misalnya seperti cuaca, pendapat orang lain, hasil ujian, keberuntungan, atau kejadian yang datang tiba-tiba. Semua itu bukan sesuatu yang bisa kita atur sesuka hati.
Marcus Aurelius mengajarkan bahwa kita tidak perlu terlalu memusingkan hal-hal seperti ini, karena seberapa keras pun kita berusaha, tetap ada hal yang gak bisa kita ubah. Yang penting adalah bagaimana kita menerima dan menyikapinya dengan tenang serta bijak.
2) Virtue (Kebajikan / Hal-hal yang Dapat Kita Kendalikan)
Virtue adalah hal-hal yang bisa kita kendalikan sendiri, seperti pikiran, sikap, dan tindakan kita terhadap sesuatu. Ini bagian dari diri kita yang benar-benar bisa kita atur tanpa bergantung pada orang lain atau keadaan luar. Marcus Aurelius mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari bagaimana kita menjaga pikiran dan sikap, bukan dari hal-hal yang kita miliki. Jadi, selama kita bisa berpikir jernih, bersikap baik, dan tetap berbuat benar, kita sudah menjalankan virtue dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, kamu sudah belajar keras untuk ujian tapi ternyata nilainya tetap tidak sesuai harapan. Dalam situasi ini, hasil ujian termasuk Fortuna, karena itu hal yang tidak bisa kamu kendalikan sepenuhnya banyak faktor lain yang bisa memengaruhi. Namun, cara kamu menyikapi hasil tersebut adalah bagian dari Virtue, karena itu hal yang bisa kamu kendalikan. Kamu bisa memilih untuk tetap tenang, menerima hasilnya dengan lapang dada, dan menjadikannya pelajaran untuk belajar lebih baik ke depannya.
1). Sensasi adalah reaksi fisik yang muncul secara alami dari tubuh kita. Misalnya, jantung berdebar saat gugup, tangan berkeringat saat takut, perut terasa kosong saat lapar, atau tubuh lemas saat capek. Semua itu adalah respon alami tubuh terhadap situasi tertentu, dan biasanya berlangsung sementara.
2). Emosi muncul dari pikiran dan cara kita menafsirkan suatu keadaan. Contohnya, saat kita mendapat nilai rendah, sensasinya mungkin dada terasa sesak, tapi emosi yang muncul bisa berupa kecewa, marah, atau sedih. Jadi, sensasi adalah reaksi tubuh, sedangkan emosi adalah reaksi dari pikiran terhadap apa yang dirasakan tubuh atau situasi di sekitar kita.
Kemampuan membedakan antara sensasi dan emosi memungkinkan seseorang untuk lebih memahami dirinya sendiri dan mengendalikan reaksinya terhadap berbagai situasi. Dengan menyadari perbedaan keduanya, seseorang bisa tetap tenang, berpikir rasional, dan tidak mudah terbawa emosi, sehingga dapat menghadapi setiap keadaan dengan bijak dan sabar.
Contoh Kasus: Saat Dimarahi Guru di Depan Kelas
Suatu hari, saya pernah dimarahi guru di depan teman-teman karena lupa mengumpulkan tugas. Saat itu, saya langsung merasakan sensasi seperti jantung berdebar, wajah panas, dan tangan gemetar itu reaksi alami dari tubuh saya karena merasa malu dan tegang. Setelah itu, muncul emosi seperti marah, kesal, dan malu. Dalam hati saya ingin membantah, tapi kemudian saya mencoba menerapkan latihan Stoik, yaitu dengan menahan diri dan berpikir tenang. Saya sadar bahwa saya tidak bisa mengubah kejadian yang sudah terjadi, tapi saya masih bisa mengendalikan cara saya bereaksi. Saya menarik napas dalam-dalam, mencoba menerima situasinya, dan memilih untuk diam serta mendengarkan dulu. Setelah suasana tenang, saya meminta maaf dan berjanji untuk memperbaikinya. Dari situ saya belajar bahwa dengan membedakan antara sensasi dan emosi, saya bisa tetap tenang dan tidak membuat keadaan semakin buruk.
2. Epictetus (50–135 M) – Filsuf Stoik Yunani
Epictetus adalah seorang filsuf dari Yunani yang hidup sekitar tahun 50–135 M. Ia terlahir sebagai seorang budak di Roma, tapi meskipun hidupnya penuh keterbatasan, ia justru menjadi salah satu tokoh besar dalam filsafat Stoikisme. Setelah dibebaskan dari perbudakan, Epictetus mulai mengajar filsafat dan akhirnya dikenal luas karena ajarannya yang dalam dan sederhana tentang kehidupan.
Ajarannya kemudian dikumpulkan oleh muridnya, Arrian, dalam buku terkenal berjudul The Enchiridion (atau Buku Pegangan Hidup), yang berisi panduan singkat tentang bagaimana seseorang bisa hidup tenang, bijak, dan bahagia dengan cara berpikir Stoik.
-
Sumber: Modul Prof. Apollo
“It’s not what happens to you, but how you react to it that matters.”
• Bukan apa yang terjadi padamu yang penting, tapi bagaimana kamu menanggapinya.
-> Kutipan ini menunjukkan ajaran utama Epictetus bahwa kita tidak bisa mengontrol kejadian di luar diri kita, tapi kita bisa mengendalikan sikap dan reaksi kita terhadapnya.
Contoh Kasus dan Penerapan
Seorang siswa merasa kecewa karena tidak terpilih menjadi ketua kelas, padahal sudah berusaha dan berharap besar untuk mendapatkan posisi itu.
- Reaksi umum (tanpa pemikiran Stoik):
Biasanya siswa akan merasa sedih, iri dengan teman yang terpilih, atau bahkan menyalahkan guru dan teman-temannya karena merasa tidak dihargai.
- Reaksi Stoik (menurut ajaran Epictetus):
Berpikir positif dan tetap rasional. Ia akan berkata pada dirinya sendiri, “Saya tidak bisa mengubah keputusan guru atau teman-teman, tapi saya bisa mengendalikan cara saya meresponsnya.” Daripada marah atau iri, ia memilih untuk menerima dengan lapang dada dan tetap mendukung temannya yang terpilih, sambil memperbaiki diri untuk kesempatan berikutnya.
Kesimpulan
Epictetus mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada hasil atau keadaan luar, tetapi pada kemampuan kita mengendalikan pikiran dan sikap sendiri. Dengan belajar membedakan mana hal yang bisa kita kendalikan dan mana yang tidak, kita bisa tetap tenang dan berpikir positif di situasi apa pun.”No man is free who is not master of himself.” Tidak ada manusia yang benar-benar bebas kecuali ia mampu menguasai dirinya sendiri.
1). Pengertian “The Will to Power”
The Will to Power (kehendak untuk berkuasa) adalah salah satu konsep utama dalam filsafat Nietzsche. Namun, maksudnya bukan sekadar keinginan untuk berkuasa secara politik atau fisik, melainkan tentang dorongan alami manusia untuk berkembang, berkreasi, dan menegaskan dirinya sendiri.
Menurut Nietzsche, setiap makhluk hidup memiliki daya hidup (power) yang mendorongnya untuk:
•Mengatasi kelemahan,
•Melampaui batas dirinya, dan
•Menciptakan makna serta nilai hidupnya sendiri di dunia yang sebenarnya tidak memiliki makna tetap. Jadi, The Will to Power bisa dipahami sebagai energi positif kehidupan, yaitu semangat untuk terus tumbuh, berubah, dan menjadi versi terbaik dari diri kita.
2. “Ja Sagen” – Menyatakan “Ya” pada Kehidupan
Dari konsep The Will to Power muncul sikap hidup yang disebut “Ja Sagen”, yang artinya mengatakan “ya” pada kehidupan.
Maksudnya, seseorang diajak untuk menerima kehidupan sepenuhnya, termasuk penderitaan, kegagalan, dan hal-hal yang tidak menyenangkan tanpa menolak atau membaginya menjadi “baik” dan “buruk”. Nietzsche menolak cara berpikir yang hanya melihat hidup dari sisi hitam-putih. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk mengakui dan mencintai hidup apa adanya, karena semua pengalaman baik suka maupun duka adalah bagian dari kehidupan yang utuh. Dengan sikap Ja Sagen, seseorang berani berkata “ya” pada seluruh hidupnya, bukan hanya pada bagian yang menyenangkan.
3. Hubungan dengan “Amor Fati”
Konsep “Amor Fati” (mencintai takdir) adalah bentuk tertinggi dari sikap Ja Sagen. Nietzsche tidak hanya ingin kita menerima nasib, tetapi juga mencintainya sepenuh hati, termasuk penderitaan dan kesedihan di dalamnya.
Ia berkata:”Amor Fati: may this be my love! Not merely to bear what is necessary, but to love it.”(Amor Fati: semoga inilah cintaku! Bukan hanya menanggung apa yang harus diterima, tetapi juga mencintainya.)
Amor Fati adalah cara berpikir positif tingkat tinggi, di mana kita tidak hanya menerima segala hal yang terjadi dalam hidup, tapi juga melihatnya sebagai bagian yang indah dan bermakna.
4. Hubungan dengan Pemikiran Demokritos
Nietzsche juga sejalan dengan pemikiran Demokritos, yang menyatakan bahwa segala sesuatu tersusun dari atom yang tidak bisa dipecah. Dari sana, Nietzsche melihat bahwa kehidupan juga merupakan satu kesatuan utuh, yang tidak bisa dipisah antara hal baik dan buruk.
Ia menolak pembagian moral tradisional yang memisahkan hidup menjadi “baik” dan “buruk”. Menurutnya, semua pengalaman suka maupun duka harus diterima sebagai satu kenyataan yang utuh.
5. Contoh Penerapan
Seorang individu tiba-tiba kehilangan pekerjaan.
Sikap umum (reaktif):
Dia merasa hancur, marah terhadap nasib, atau menyalahkan keadaan.
Sikap “Ja Sagen” dan “Amor Fati”:
Dalam benaknya ia berkata:
“Ini adalah bagian dari perjalanan hidupku. Aku akan menyambut pengalaman ini dengan kasih, sebagaimana aku menghargai keberhasilan. Dari sini aku akan belajar dan bangkit kembali.”
Dengan pendekatan ini, dia meneguhkan sikap afirmatif terhadap hidup (affirmation of life), tidak menyerah terhadap penderitaan, dan tetap kreatif dalam menghadapi realitas.
6. Kesimpulan
Gagasan “The Will to Power”, “Ja Sagen”, dan “Amor Fati” membentuk cara pandang hidup yang sangat optimistis dan membangun.
•Hidup perlu dijalani dengan keyakinan penuh dan diterima secara sadar.
•Setiap peristiwa, termasuk penderitaan, merupakan bagian dari energi kreatif yang membentuk kehidupan.
•Dengan mencintai takdir, seseorang dapat menjadi pribadi yang tangguh, mandiri, dan jujur pada dirinya sendiri.
Nietzsche ingin agar manusia mampu berkata:
“Inilah hidupku — dengan segala kebahagiaan dan kesedihannya — dan aku menerimanya dengan sepenuh hati.”
4. William James (1842–1910) – Filsuf dan Psikolog Amerika
William James bukan bagian dari filsafat Stoik atau ajaran Amor Fati, tapi pemikirannya punya arah yang berbeda dan menarik. Ia dikenal dengan gagasan “ledakan epistemologis”, yaitu pandangan bahwa iman atau keyakinan bisa lebih dulu daripada bukti, dan bahkan keyakinan itu sendiri bisa menciptakan kenyataan.
Kalau Stoikisme dan Nietzsche menekankan kebijaksanaan dalam menerima kehidupan, maka William James menekankan keberanian untuk menciptakan kehidupan sesuai keyakinan kita.
Menurutnya, takdir bukan untuk diterima atau dicintai saja, tapi untuk diciptakan melalui keyakinan yang kuat dan tindakan nyata.
James percaya bahwa pikiran bukan sekadar cermin yang memantulkan dunia, tapi seperti kuas yang melukis kenyataan. Dengan kata lain, keyakinan bukan hasil dari kebenaran, tapi justru sumber dari kebenaran itu sendiri.
Konsep “The Will to Believe” (Kemauan untuk Percaya). Dalam karyanya The Will to Believe, William James menjelaskan bahwa manusia tidak harus menunggu kepastian untuk bertindak. Justru dengan berani bertindak meski belum pasti, seseorang bisa mengubah dunia di sekitarnya. Ia mengajak kita untuk hidup bukan dengan menunggu bukti, tapi dengan menciptakan bukti lewat keyakinan dan tindakan.
“Kita tidak hidup dengan menunggu bukti — kita hidup dengan menciptakan bukti.”
Contoh Kasus dan Penerapan
Seorang siswa merasa ragu apakah ia bisa lolos ujian masuk universitas favoritnya. Ia belum punya bukti kalau dirinya mampu, tapi ia memilih untuk percaya dan berusaha sepenuh hati.
Ia belajar dengan tekun, menjaga pikiran positif, dan yakin bahwa usahanya akan membawa hasil. Keyakinan itulah yang akhirnya menggerakkan semangat dan tindakannya, sampai akhirnya ia benar-benar berhasil.
Menurut pandangan William James, itulah kekuatan dari The Will to Believe — keyakinan bisa menjadi awal dari kenyataan.
1. Inti Pemikiran : Pikiran Menciptakan Perasaan Albert Ellis menjelaskan bahwa kehidupan manusia dapat dipahami lewat model sederhana bernama ABC Theory, yaitu:
•A (Activating Event) → peristiwa yang terjadi,
•B (Belief) → keyakinan atau cara kita menafsirkan peristiwa itu,
•C (Consequence) → hasil berupa emosi dan tindakan yang muncul.
Menurut Ellis, kebanyakan orang keliru karena mengira A langsung menyebabkan C, padahal yang paling menentukan adalah B — cara kita berpikir dan menilai peristiwa tersebut.
Contohnya:
A: “Teman tidak menyapa.”
Pikiran irasional: “Dia pasti marah sama aku.”
Akibatnya: muncul rasa sedih atau tersinggung.Namun jika cara berpikir diganti menjadi, “Mungkin dia sedang sibuk,” maka perasaan juga ikut berubah.
Menurut Ellis, banyak masalah emosional muncul karena pikiran yang tidak rasional, misalnya merasa harus selalu disukai orang lain atau hidup harus berjalan sempurna.
Ia menekankan bahwa berpikir rasional dan realistis itu penting, bukan untuk menipu diri sendiri, tapi supaya cara pandang kita lebih sesuai dengan kenyataan yang ada.
Dengan belajar memperbaiki cara berpikir yang salah, seseorang bisa mengubah perasaannya yang tadinya marah bisa menjadi lebih tenang, yang awalnya kecewa bisa lebih bijak.
Pendekatan ini dikenal dengan sebutan terapi berpikir positif, dan menjadi dasar dari terapi modern CBT (Cognitive Behavioral Therapy) yang banyak digunakan sampai sekarang.
3. Contoh Kasus
seorang siswa gagal saat ujian penting.
Pikiran irasionalnya mungkin seperti ini:”Aku benar-benar bodoh, aku nggak akan pernah bisa sukses.”
Akibatnya, dia jadi merasa sedih, minder, dan kehilangan semangat belajar.
Tapi menurut Ellis, seharusnya kita mengubah cara berpikirnya menjadi:“Memang sekarang aku belum berhasil, tapi aku bisa belajar dari kesalahan dan memperbaikinya di ujian berikutnya.”Dengan pola pikir seperti itu, perasaan yang awalnya kecewa bisa berubah jadi motivasi untuk terus berusaha.
4. Relevansi Filosofis
Pemikiran Ellis mengalihkan perhatian dari dunia luar ke dunia batin.
Para Stoik menekankan pengendalian diri, sementara Nietzsche menekankan afirmasi terhadap kehidupan. Ellis justru menekankan bahwa logika yang kuat dan kesadaran rasional berperan dalam membentuk emosi.
Ia menunjukkan bahwa berpikir secara positif bukanlah bentuk ilusi, melainkan tanggung jawab intelektual untuk memilih pola pikir yang sehat.
Kesimpulan
Menurut Ellis, pikiran bertindak sebagai arsitek emosi.
Kita bukan sekadar korban keadaan, melainkan penafsir aktif dari apa yang terjadi.
Dengan melatih pola pikir rasional, seseorang dapat mengubah cara perasaan berkembang, dan dari situ mengubah arah hidupnya.
1.Stoikisme (Epictetus & Marcus Aurelius)Mengajarkan pentingnya mengendalikan pikiran dan emosi sendiri, serta menerima hal-hal yang berada di luar kendali kita. Ketenangan batin menjadi kunci untuk menghadapi hidup dengan bijak.
2.Eksistensialisme (Nietzsche)
Tidak hanya menerima kehidupan, tapi juga berani mencintainya sepenuhnya — termasuk penderitaan dan kesulitannya. Dari sini, manusia belajar untuk berkata “ya” pada kehidupan apa adanya.
3.Pragmatisme (William James.
Menekankan bahwa keyakinan bisa menciptakan kenyataan. Hidup bukan hanya tentang menerima takdir, tapi juga membentuknya lewat kepercayaan dan tindakan yang optimis.
4.Psikologi Modern (Albert Ellis)
Membawa semua gagasan itu ke ranah praktis dengan menekankan bahwa pikiran berpengaruh langsung terhadap perasaan. Dengan berpikir rasional, seseorang bisa mengubah emosinya dan hidup dengan lebih tenang serta bahagia.
Daftar Pustaka
Apollo, P. (2025). Modul Filsafat dan Etika Positif. Universitas Mercu Buana (UMB).
(Sumber pendukung dari modul dosen terkait konsep pemikiran positif dan penerapannya)
Ellis, A. (1962). Reason and Emotion in Psychotherapy. New York: Lyle Stuart.
(Memperkenalkan teori ABC Model dan pentingnya berpikir rasional dalam membentuk emosi)
James, W. (1956). The Will to Believe and Other Essays in Popular Philosophy. New York: Dover Publications.
(Menjelaskan konsep The Will to Believe dan hubungan antara keyakinan dan kenyataan)
Nietzsche, F. (2006). Thus Spoke Zarathustra. Terjemahan oleh Walter Kaufmann. New York: Penguin Books.
(Karya utama yang menjelaskan konsep The Will to Power, Ja Sagen, dan Amor Fati)
Aurelius, M. (2006). Meditations. Terjemahan oleh Gregory Hays. New York: Modern Library.
(Referensi utama untuk Stoikisme dan ajaran Marcus Aurelius)
Epictetus. (1995). The Enchiridion. Terjemahan oleh Elizabeth Carter. New York: Dover Publications.
(Sumber ajaran Stoikisme klasik tentang pengendalian diri dan ketenangan batin)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI