Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Iran, Mahsa Amini, dan Jalan Pembebasan

26 November 2022   08:50 Diperbarui: 26 November 2022   18:29 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Slogan yang dibentangkan fan Iran di Piala Dunia 2022: AMJADT25 via TWITTER via Kompas.com

Sorot kamera menangkap mata seorang wanita di antara kerumunan penggemar yang memadati  Ahmed bin Ali Stadium , Jumat (25/11/2022) malam WIB. Di bawah sorot matanya tergurat air mata merah.

Ia dengan erat memegang kaus sepak bola. Bukan dengan nama salah satu pemain top Iran atau Wales yang tengah bertarung, sebagaimana lazimnya fan mendukung tim kesayangan.

Di sana tercetak nama "Mahsa Amini-22." Seorang pria di sebelahnya membentangkan slogan "women, life, freedom."

Mahsa Amini, 22, dan tiga kata kunci itu sesungguhnya bertautan erat. Bila kita mengikuti perkembangan politik Iran belakangan ini, maka dengan mudah kita temukan jawabannya.

Iran tengah bergolak. Mirisnya, antara pemerintah versus rakyatnya. Dipicu oleh kematian Mahsa Amini dalam tahanan pada September lalu.

Mahsa Amini, seorang wanita 22 tahun yang ditahan oleh polisi moral setempat karena diduga melanggar aturan ketat soal hijab.

Kematian wanita muda itu kemudian disambut protes luas. Masyarakat menggelar aksi protes. Mereka turun ke jalan. Para wanita tak segan melepas hijab dan memotong rambut mereka.

Aparat menanggapi aksi tersebut secara represif. Dengan dalih, seperti melansir bbc.com, kerusuhan yang diatur oleh musuh asing Iran, pemerintah tak segan bertindak tegas.

Pemerintah mengerahkan tank dan menggunakan kekerasan untuk menghadapi gelombang demonstrasi yang terus meluas dalam beberapa bulan terakhir.

Tidak hanya itu. Pemerintah, demikian postingan Agustinus Wibowo, penulis dan fotografer perjalanan yang dikenal dengan sejumlah opus magnum seperti "Selimut Debu," "Garis Batas", "Titik Nol", dan "Jalan Panjang untuk Pulang, di akun Instagramnya, juga memutus jaringan internet agar warga Iran tidak bisa berkomunikasi dan tersambung dengan dunia luar.

Hingga kini, protes massal yang disambut dengan brutal oleh rezim sudah memakan banyak korban. Menurut data aktivis hak asasi manusia, lebih dari 400 pengunjuk rasa meregang nyawa. Tak kurang dari 16.800 lainnya ditangkap.

Aksi menentang pemerintah tidak berhenti di dalam negeri. Momen Piala Dunia 2022 yang tengah berlangsung menjadi kesempatan bagi mereka untuk angkat bicara.

Poster dan gambar yang terpampang di sisi lapangan, ditambah aksi para pemain Iran yang menyuarakannya secara gamblang di lapangan pertandingan.

Kita bisa mengingat kembali, respon para pemain Iran saat lagu kebangsaannya diputar jelang pertandingan pertama Grup B kontra Inggris di Khalifa International Stadium, Senin (21/11/2022) malam WIB lalu.

Tidak seperti para pemain dari tim-tim lain yang dengan lantang dan emosional bernyanyi, Mehdi Taremi dan kawan-kawan justru bertindak sebaliknya. Mereka bungkam. Hingga lagu itu selesai.

Hasil pertandingan itu memang berpihak pada Inggris. Iran kalah dengan skor telak 2-6.

Namun, kekalahan itu adalah kemenangan bagi Iran dan para pendukungnya. Setiap kali Inggris membobol gawang Iran yang mula-mula dijaga Alireza Beranvand lalu digantikan S.Hosseini sejak menit ke-20, sejumlah fan justru  bersorak.

Mereka ikut merayakan kekalahan timnya. Sepasang gol yang diborong Teremi lebih dari cukup membanggakan tim kesayangannya.

Sesungguhnya menolak menyanyikan lagu kebangsaan hingga ikut bergembira bersama penggemar Inggris adalah bentuk protes. Mereka ingin melawan pemerintah Republik Iran yang dalam dua bulan terakhir telah menghadirkan "bencana" bagi rakyat sendiri.

Pembebasan

Aksi solidarita para pemain dengan kaumnya yang tertindas sudah ditegaskan kapten timnas Iran, Ehsan Hajsafi sejak sebelum pertandingan.

Ia bicara tentang situasi yang sedang terjadi di negaranya. Terkait perlakukan pemerintah terhadap pihak yang berseberangan. Tindakan represif untuk membungkam para pengkritik yang mengemuka dalam beberapa bulan terakhir.

Tidak hanya itu. Iran sebenarnya sedang mengalami banyak masalah. Sebagaimana tercermin dalam seruan agar Iran ditendang dari Piala Dunia menyusul kabar dukungan Iran terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Lalu soal hak asasi manusia terutama kepada kaum wanita adalah beberapa contoh.

Pemain berusia 32 tahun itu tegas mengumandangkan kepada dunia bahw rakyat di negaranya sedang tertindas. Mereka tengah berada dalam situasi yang tidak membahagiakan.

"Kita harus menerima bahwa kondisi di negara kita tidak benar dan rakyat kita tidak bahagia," tegasnya seperti dilansir dari bbc.com.

Pernyataan Ehsan dengan sendirinya menggambarkan bahwa apa yang dilakukan otoritas Iran tidak lain dari sebuah upaya represif. Pemandangan yang bisa kita konfirmasi melalui pemberitaan luas.

Ia pun mengirim simpati dan dukungan kepada rakyat Iran yang telah dan sedang menjadi korban.

"Mereka harus tahu bahwa kami bersama mereka, kami mendukung mereka dan kami bersimpati dengan mereka."

Memang bukan rahasia lagi, momen besar seperti ini menjadi kesempatan terbaik untuk menarik atensi dunia.

Para pemain paham bagaimana memanfaatkan momentum, sebagaimana sering terjadi selama ini. Ya, sepak bola tidak pernah lepas sepenuhnya dari unsur-unsur lain entah itu  sosial, politik, ekonomi, dan keamanan.

Dari Qatar, para pemain Iran itu ingin mengabarkan bahwa negaranya sedang mengalami masalah.

Pelatih Iran, Carlos Queiroz pun tidak keberatan dengan komentar-komentar di luar sepak bola. Alih-alih fokus pada pertandingan, pelatih asal Portugal itu tetap membuka ruang kebebasan bagi para pemainnya.

Mungkin saja dengan tidak memberikan batasan, para pemain bisa semakin termotivasi. Semangat mereka di lapangan pertandingan akan berlipat ganda. Mereka tidak hanya bermain untuk menang dan memetik poin. Mereka juga bermain untuk memperjuangkan nasib orang-orang di negara asalnya.

Persis seperti kata Ehsan. "Kami di sini, tetapi itu tidak berarti bahwa kami tidak boleh menjadi suara mereka, atau kami tidak boleh menghormati mereka."

Ehsan sudah mengambil keputusan berani dan penuh risiko. Jelas, apa yang dikatakan full-back AEK Athens itu tidak tanpa konsekuensi.  Perjuangan mereka dari lapangan hijau tentu bertujuan untuk memberi perubahan bagi masyarakatnya.

Seruanya bisa memantik gelombang protes yang lebih besar. Pihak yang menentang pemerintah akan membocengi momentum ini untuk semakin menggencarkan aksinya.

Mungkin saja, orang-orang Iran yang sependapat dengan Ehsan dan tengah berada di Qatar akan memaknainya sebagai ungkapan pembebasan. Mereka akan semakin menikmati sepak bola sambil meneguk kebebasan seluas-luasnya yang tidak dengan mudah mereka dapatkan di negara asalnya.

Hanya saja, mengatakan sesuatu yang politis di turnamen besar apalagi menyinggung pemerintah tidak bisa tidak bakal mendatangkan masalah. Apalagi seruan sensitif itu digelorakan di Qatar, sekutu penting Iran.

Ehsan bisa dianggap sedang melakukan upaya provokasi. Hasutan yang bakal membuat telinga dan muka pemerintah Iran merah padam.

Setelah Piala Dunia usai, bila Ehsan dan kawan-kawan tidak sanggup menghadirkan prestasi dan kebanggaan di lapangan, maka mereka bisa saja menghadapi sesuatu yang serius.

Sadar akan aksi boikot menyanyikan lagu kebangsaan awal pekan lalu menjadi buah bibir dunia, Ehsan mengatakan mereka tidak sedang dalam tekanan apa pun. Artinya, apa yang mereka lakukan bebas dari intervensi.

Hanya saja, kemenangan 2-0 yang mereka raih di pertandingan kedua menghadapi Wales dibarengi kecaman para penggemar. Tidak seperti beberapa hari lalu, kali ini para pemain Iran membuka mulut. Para penggemar menitikan air mata ketika lagu kebangsaan berkumandang.

Namun, mereka menebusnya dengan kemenangan dramatis berkat sepasang gol di masa injury time.  Pemain pengganti Roozbeh Cheshmi di menit 90+8 dan Ramin Rezaeian dua menit berselang.

Kemenangan yang mengirim Wales ke dasar klasemen dengan satu poin berkat hasil imbang 1-1 kontra Amerika Serikat di matchday pertama.

Sekaligus menempatkan Wales dalam bahaya, gagal menorehkan hasil positif pada "comeback" ke Piala Dunia setelah menanti 64 tahun lamanya.

Hasil negatif kali ini tidak lepas dari kartu merah yang diterima sang kiper Wayne Hennessey di menit ke-86. Iran pun sukses memanfaatkan situasi itu untuk menorehkan hari yang indah bagi sepak bola mereka.

Queiroz menyebut mereka sudah "kembali ke sepak bola."

"Saya tidak punya kata-kata untuk mengucapkan terima kasih kepada para pemain. Mereka brilian, mereka pantas mendapatkan semua perhatian dan rasa hormat."

Kemenangan tersebut mengirim pesan jelas. Iran menegaskan kebangkitan sepak bola Asia, terinspirasi dari kemenangan Arab Saudi dan Jepang. Mereka tidak lagi berada dalam bayang-bayang kebesaran Eropa dan Amerika Latin.

Iran yang pertama kali mengalahkan tim Eropa di Piala Dunia di ambang lolos ke fase gugur, pertama kali dalam sejarah keikutsertaan mereka di ajang akbar itu.

Bila Amerika Serikat takluk dari Inggris di laga kedua dan Iran mampu mencuri poin saat meladeni tim yang disebutkan pertama di laga pamungkas grup pada 30/11/2022 nanti, maka sejarah baru itu benar-benar terjadi.

Selain itu, mengutip kembali Queiroz, "Para pemain kami layak untuk didukung. Kami melakukannya untuk mereka, kami melakukannya untuk mereka. Itulah satu-satunya alasan kami di sini, untuk bermain untuk mereka. Penggemar."

Ya, para pemain Iran tengah mencari jalan keluar dari kemelut sosial-politik di negaranya. Mereka tengah memainkan pertandingan pembebasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun