Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengubah Hobi Jadi Cuan, Intip Inspirasi Usaha Rumahan di Masa "Pageblug"

22 Agustus 2021   22:32 Diperbarui: 22 Agustus 2021   22:40 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerai Kochikochikin terletak di Jalan Kertamukti, Ciputat, Tangerang Selatan: dokpri

 Masa pandemi Covid-19 belum juga berakhir. Kita seperti masuk dalam lorong panjang nan gelap yang entah di mana akan berujung.

Sepanjang itu tantangan seperti datang silih berganti. Dampak pandemi menyapu segala lini, dari urusan negara hingga rumah tangga. Segala lapisan masyarakat dibuat pening tak karuan. Baik kepala negara maupun kepala rumah tangga sama-sama pusing tujuh keliling.

Survey SMERU, menukil mediaindonesia.com (10/3/2021), sepanjang Oktober-November 2020, sektor rumah tangga paling parah kondisinya di masa "pageblug" ini. Tiga dari empat rumah tangga mengalami penurunan pendapatan. Sebanyak 14 persen pencari nafkah terpaksa pindah kerja.

Situasi miris ini ternyata tidak membuat banyak orang patah arang. Bagaimana pun hidup harus terus berlanjut. Dalam keterjepitan segala daya harus dikerahkan. Pandemi boleh saja membatasi ruang gerak fisik, tetapi tidak dengan semangat dan kreativitas.

Semangat itulah yang saya tangkap dari Muhammad Rizky Putra dan Dina. Pasangan suami istri ini tengah berjuang menghidupkan usaha rumahan mereka yang belum lama diperkenalkan ke publik sejak 3 Juli 2021.


Pertemuan kami terjadi pada Minggu, 15 Agustus 2021 di Jalan Kertamukti Nomor 5, Pisangan, Ciputat, Tengerang Selatan. Di tempat itu Rizky dan Dina merintis Kochikochikin.

Inspirasi Jepang

Seperti pada umumnya, anak usaha tidak muncul dengan sendirinya. Ibaratnya, tidak berangkat dari kekosongan. Usaha Kochikochikin pun demikian. Ini adalah "anak" Rizky dan Dina yang lahir dari proses pergulatan panjang.

Bercikalbakal di Jepang. Negeri Sakura itu punya cerita tersendiri bagi keduanya, baik dalam kehidupan pribadi maupun terkait bisnis yang tengah digeluti.

Keduanya pernah hidup satu dekade di sana. Di negara Asia Timur itu Rizky menimba ilmu, sekaligus pernah merasakan pengalaman bekerja paruh waktu di restoran.

Waktu sepuluh tahun tentu tak singkat. Kerinduan akan makanan Indonesia tak bisa selalu terpuaskan. Tidak hanya sulit mendapat makanan yang diincar, untuk memasak sendiri pun tantangan sama beratnya.

"Bumbu-bumbu Indonesia sulit didapat. Kalau ada pun mahal," kenang Diah.

Pengalaman itu kemudian melecut ide untuk menciptakan makanan Jepang, namun dengan cita rasa nusantara. Makanan ala Jepang, tetapi ada rasa Indonesia di dalamanya. Eureka...

Menyulap salah satu sisi rumah menjadi outlet Kochikochikin: dokpri
Menyulap salah satu sisi rumah menjadi outlet Kochikochikin: dokpri

Hobi jadi cuan

Diah berkisah suaminya memiliki hobi memasak. Kemampuan Rizky sebagai koki tidak hanya terbukti di rumah. Di Jepang pun Rizky sempat mengambil kerja sampingan di restoran.

"Dia kalau masak enak. Pernah aku bilang makanan kamu enak," seloroh Diah.

Hobi itu semakin mempertebal keyakinan mereka untuk bergerak ke tahap selanjutnya. Mengubah hobi jadi usaha. Dari hobi jadi cuan. 

Namun langkah ke arah sana tidak semudah membalikkan telapak tangan. Keduanya sangat menyadari itu. Walau semangat menggebu-gebu dan keputusan seakan sudah dalam genggaman, tetapi urusan eksekusi adalah soal lain yang harus dipecahkan.

Membayangkan modal yang tidak sedikit, produk yang akan dijual, berikut nasib usaha apakah diterima pasar atau tidak, sempat membuat keduanya bimbang. Ingin berusaha, tetapi bayangan akan seperti apa jadinya membuat keduanya harus berpikir berkali-kali.

Mengaku diri sebagai orang yang tidak gegabah, Rizky mengatakan mereka harus memikirkan masak-masak setiap detail. Keberanian yang sudah meletup masih harus dibarengi dengan modal, produk yang tepat, strategi penjualan, serta berbagai tetek bengek lainnya.

"Saya kemudian berbicara lagi dengan istri, dan ia mau. Begitu juga saat ngobrol sama teman," ungkap Rizky.

Rekan yang dimaksud adalah Yogi, teman masa kecil yang kini ikut membantu membesarkan "anak" mereka.

Rizky dan menu Kochikochikin: dokpri
Rizky dan menu Kochikochikin: dokpri

Menyulap rumah

Kita terkadang berpikir terlalu rumit untuk sesuatu yang sederhana. Sebelum berusaha kita kerap terpenjara pada bayangan yang kita ciptakan sendiri. Misalnya, untuk berusaha harus memiliki outlet tersendiri. Ukurannya harus besar. Tampilannya harus wah.

Ternyata tidak selamanya demikian. Sekembali ke Indonesia, Rizky dan Dian tak lagi diperkenankan kembali ke Jepang. Maksud hati kembali ke Jepang apa daya tak diizinkan orang tua. Keduanya pun mantap berusaha rumahan.

Mereka menyulap bagian depan rumah orang tua sebagai outlet. Ukurannya tak besar. Tetapi lebih dari cukup untuk menyelenggarakan segala proses produksi hingga pemasaran Kochikochikin.

Beruntung letak gerai Kochikochikin begitu strategis. Persis di jalur ramai. Terletak di kawasan yang selalu dipadati mahasiswa yang berangkat dari dan menuju ke Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

"Setiap hari jalur ini selalu padat," demikian Rizky.

Rizky dan Yogi, partnernya dalam menghidupkan Kochikochikin: dokpri
Rizky dan Yogi, partnernya dalam menghidupkan Kochikochikin: dokpri

Murah tapi enak

Berada di lokasi ideal jelas menjadi keunggulan. Ditambah lagi bila memiliki pangsa pasar yang jelas pula. Selain keluarga dan anak-anak, Kochikochikin pun menyasar kalangan mahasiswa.  Mengapa sasaran ke sana?

Kochikochikin, nama ini hampir mudah kita tebak dari bahasa apa atau mengarah ke negara mana. Jepang, tentu saja.

Kochikochikin bila diartikan secara gampang menjadi "di sini ada ayam." Menu utama adalah ayam goreng karage ala Jepang. Namanya Karai Chikin Karaage, memadukan ayam goreng karaage khas Jepang dengan bumbu khas Indonesia.

Menu yang disajikan ternyata tidak terbatas ayam. Ada juga berbahan dasar sapi. Dengan formula yang sama diberi nama Karai Biifu Yakiniku. Satu porsi Karai Biifu Yakiniku terdiri dari nasi ditambah irisan daging sapi yang empuk.

Seperti lidah nusantara yang terbiasa dengan beragam cita rasa, Kochikochikin pun hadir dengan sejumlah jenis saus. Ada perpaduan pedas dan manis, hingga saus dengan pedas tingkat tinggi. Jenis terakhir ini selalu ditandai dengan kata "super." Misalnya, Super Karai Biifu Yakiniku.

Perpaduan rasa manis dan pedas ternyata menjadi favorit. Menu ini selalu menjadi incaran. Best seller.

Rizki dan Diah memang sengaja memilih menu tersebut lantaran di sekitar tempat tinggal mereka belum ada produk sejenis. Sementara itu berbagai jenis makanan Jepang sudah sedemikian menjamun di tanah air, namun kebanyakan mengambil tempat di pusat-pusat perbelanjaan utama.

Selain mengakomodasi tren, keduanya pun ingin menjawab kerinduan masyarakat sekitar akan makanan kekinian sejenis tetapi dengan cita rasa yang unik. Keduanya berprinsip, walau harga murah, tetapi kualitas bisa diadu.

Salah satu menu Kochikochikin: dokpri
Salah satu menu Kochikochikin: dokpri

"Berbeda dengan produks sejenis lainnya, makanan kami memilik rasa jahe dan bawang putih yang kuat," kata Diah.

Keduanya benar-benar ingin memadukan antara cita rasa Jepang dan Indonesia. Namun bukan dengan menggunakan rempah-rempah instan, tetapi yang diracik sendiri.

"Makanan enak dan murah memang banyak, tetapi yang memiliki cita rasa Jepang dan Indonesia dengan harga mahasiswa belum banyak," sambung Diah yang masih berstatus pegawai swasta.

Untuk seporsi Karai Chikin Karagge seharga Rp 22.000. Begitu juga Super Karai Chikin Karaage, dan Teriyaki Chikin Karaage Mayo. Sementara itu satu porsi Karai Biifu Yakiniku, Super Karai Biifu Yakiniku, dan Teriyaki Bifu Mayo seharga Rp 28.000.

Tantangan pandemi

Sektor UMKM tak luput dari hempasan pandemi. Banyak cerita sedih usaha-usaha mikro, kecil, dan menenhah jatuh sekarat, bahkan tak sedikit gulung tikar.

Tantangan itu pun dialami Rizki dan Diah. Mobilitas masyarakat yang dibatasi oleh aturan PPKM turut berdampak pada jumlah pesanan. Saat ini mahasiswa dianjurkan kuliah dari rumah. Ruang gerak masyarakat pun dibatasi. Jalanan yang biasanya ramai berubah sepi.

Namun, usaha makanan menjadi salah satu yang bisa bertahan di tengah pandemi.  Makan adalah kebutuhan primer yang tidak bisa tidak dipenuhi. Hanya saja di tengah situasi pandemi, pemenuhan kebutuhan itu lebih banyak terjadi di rumah.

Dalam sehari ada paling sedikit 10 pesanan Kochikochikin. Jumlah itu tentu masih jauh dari target. Namun Rizky dan Diah mafhum. Situasi sedang tidak kondusif.

Keduanya terus berupaya untuk memperkenalkan "anak" mereka yang baru saja lahir. Harapannya, semakin dikenal orang, terutama orang-orang di sekitar.

Kochikochikin sudah berpartner dengan sejumlah aplikasi pesan antar: dokpri
Kochikochikin sudah berpartner dengan sejumlah aplikasi pesan antar: dokpri

Berbagai strategi dilakukan. Di antaranya pemberlakukan sistem kartu poin untuk memberikan hadiah gratis bagi pesanan dalam jumlah tertentu.

"Bila tiga kali pesan dapat gratis mini size Chikin Mayo. Kalau delapan kali pesan, akan mendapat bonus satu menu apa saja," tegas Rizky.

Selain itu, Rizky dan Diah giat berpromosi di sosial media. Mereka juga ikut menggandeng komunitas penulis seperti Ketapels, komunitas Kompasiana berbasis di Tangerang Selatan.

Untuk menikmati Kochikochikin tak harus datang ke Ciputat. Pemesanan bisa dilakukan melalui layanan pesan antar. Kochikochikin sudah tersedia di gofood dan GrabFood.

"Kita mau orang tahu dulu rasanya, orang suka, lalu repeat order. Kalau respon bagus mungkin kita buka cabang lain," pungkas Diah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun