Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Gregoria Mariska, Susy Susanti, dan "Mati Suri" Panjang Tunggal Putri Indonesia di All England

13 Maret 2021   05:15 Diperbarui: 13 Maret 2021   13:48 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gregoria Mariska: bwfbadminton.com

Gregoria Mariska Tunjung. Ia menjadi pemain tunggal putri paling mencolok di Pelatnas PBSI saat ini. Tidak hanya soal bakat, tetapi juga prestasi. Sejak menjadi juara dunia junior pada 2017, namanya sontak ramai dibicarakan. Harapan tinggi pun disematkan kepadanya.

Menjadi pemain tunggal putri Indonesia yang menjadi juara dunia setelah terakhir kali Kristin Yunita pada 1992, membuat Jorji digadang-gadang akan mengakhiri masa suram sektor tunggal putri Indonesia selama bertahun-tahun lamanya. Kehadiran wanita kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, seperti lilin di tengah lorong gelap prestasi tunggal putri Indonesia yang memanjang sejak ditinggal Mia Audina Tjiptawan ke Belanda.

Banyak pemain tunggal putri yang berjaya di kelas junior mampu mendulang kesuksesan di level senior. Ratchanok Intanon menjadi contoh mutakhir. Tiga kali juara dunia junior membuatnya bisa melompat lebih tinggi dalam waktu singkat.

Andalan Thailand ini hanya butuh dua tahun setelah meraih hattrick juara dunia junior di Taiwan pada 2011 untuk melakukan hal yang sama di kelas utama. Menjadi jawara di Kejuaraan Dunia 2013 di Guangzhou lantas melejitkan posisinya hingga memuncaki peringkat BWF hanya dalam waktu tiga tahun.

Skenario perjalanan karier Intanon diharapkan bisa diduplikasi Jorji. Walau tak persis sama, dan memang tak akan pernah identik bagaimanapun caranya, sekiranya Jorji bisa sedikit mengangkat kembali pamor Indonesia di kancah tunggal putri dunia usai menempati podium tertinggi di kejuaraan dunia junior.

Sebagai sebuah harapan, Jorji tentu sudah berjuang sekuat-kuatnya untuk mewujudkannya. Namun dalam kenyataan, pemenuhan asa itu tidak semudah yang dibayangkan. Yang diharapkan dan realitas di lapangan adalah dua hal berbeda.

Kita boleh berharap dan mengandai-andai, namun fakta membuktikan untuk bisa menjadi seperti Intanon, Jorji tidak cukup bermodalkan gelar juara dunia junior semata. Banyak hal yang ternyata membedakan Intanon dan Jorji. Banyak hal pula yang membedakan, serentak menjadikan kelas junior dan kelas senior sebagai dua level yang tak bisa saling memeluk.

Profil Jorji: bwfbadminton.com
Profil Jorji: bwfbadminton.com

Saat Jorji terjun ke kelas senior, sudah ada pemain-pemain matang yang menanti. Tidak sedikit dari antaranya pemain seusia Jorji atau sedikit lebih senior yang saling bersaing sengit di papan atas. 

Sebut saja Chen Yufei dan He Bingjiao dari China, Nozomi Okuhara dan Akane Yemaguchi asal Jepang. Mereka sudah menjadi lawan berat bagi pemain dari generasi lebih awal semacam Intanon, Carolina Marin dan Tai Tzu Ying.

Pun dengan tak harus menjadi juara dunia junior, ada begitu banyak pemain yang membuat Jorji harus berlatih lebih keras untuk bisa bersaing dengan mereka. 

Sementara itu ketika Jorji sedang giat-giatnya digembleng, ada pemain muda lain yang melejit cepat di hadapannya lantas meninggalkannya jauh di belakang. An Se-young dari Korea Selatan adalah salah satu contoh.

Saat ini hanya ada nama Jorji dari sejumlah pemain tunggal putri Indonesia yang berada di daftar 25 nama teratas ranking dunia. Alih-alih berada di top 10, Jorji tertahan di luar 20 besar. Kita tentu bertanya: sampai sepuruk itukah sektor ini?

Ranking BWF terbaru: bwfbadminton.com
Ranking BWF terbaru: bwfbadminton.com

Itulah kenyataan yang harus kita terima. Bukti nyata perjuangan berkali-kali lipat lebih tinggi harus kita tunjukkan bila ingin kembali bersaing dengan China, Korea Selatan, Jepang, bahkan Thailand. 

Bila negara-negara itu sudah bisa mengharapkan prestasi dari sektor tunggal putri, tidak demikian dengan kita. Kita seperti masih berada pada level bagaimana bisa bersaing dengan tanpa harus kalah secara telak.

Tak heran saat nama Jorji terpaksa dicoret dari "line up" tim Indonesia untuk All England 2021 tanggapan kita tak seheboh seperti harus kehilangan salah satu dari ganda putra terbaik di panggung elite itu.

Jorji dianggap sebagai bagian dari kumpulan pemain di sektor "underdog." Absennya pemain yang kini berusia 21 tahun itu bukan sebuah petaka. Bukan sebuah kerugian besar bagi tunggal putri Indonesia. Bukan sesuatu yang harus ditangisi. 

Kehadirannya di panggung itu tentu tak menjamin akan bisa berbicara banyak. Hampir semua pemain terbaik akan ambil bagian di turnamen tertua di dunia itu.

Meski begitu, keterlibatan Jorji di ajang itu tidak semata-mata sekadar memenuhi kuota. Ia memang dengan sengaja dipersiapkan tampil di Arena Birmingham. 

PBSI tidak mengizinkannya ambil bagian di Swiss Open dua pekan lalu karena tidak ingin terhambat tampil di turnamen level Super 1000 yang akan berlangsung 17-23 Maret 2021 ini.

PBSI berharap Jorji memanfaatkan kesematan bertanding di panggung yang diburu dan diimpikan semua pebulutangkis. Bukan pertama-tama untuk mengincar sesuatu yang begitu sulit dicapai yakni 12 ribu poin bila jadi juara dan membawa pulang banyak uang dari total hadiah 850 ribu dolar AS. 

Tetapi untuk mendapatkan tambahan jam terbang, mempertebal mental, dan mengukur sejauh mana perkembangannya di tengah peta persaingan tunggal putri dunia.

Merunut pencapaian dalam beberapa waktu terakhir dan posisinya di tabel peringkat BWF, jelas kehadiran Jorji di All England bukan untuk juara. Jorji dikirim untuk mengais tambahan pelajaran dari para para pemain senior, rekan seangkatan, bahkan dari para pemain yang lebih muda, yang lebih berpeluang menjadi kampiun.

Serentak, Jorji menjadi ujung tombak tim pelatih tunggal putri untuk melihat sejauh mana pola pelatihan dan pendampingan yang diterapkan saat ini. Apakah masih relevan atau sudah harus dimutakhirkan agar bisa mendongrak performa para pemain sehingga bisa lebih kompetitif?

Banyak alasan di balik paceklik prestasi sektor tunggal putri Indonesia. Paling banyak disebut adalah masalah regenerasi. Hal ini memang patut diakui. 

Selepas Mia Audina hijrah ke Belanda, Indonesia baru tersentak kaget. Lambatnya-untuk mengatakan terputusnya-peremajaan menjadi litani yang kemudian terus diulang-ulang hingga kini.

Dengan jumlah penduduk yang sudah menginjak lebih dari 271 juta jiwa, susahnya mendapat bibit tunggal putri potensial terlihat sebagai keanehan. 

Dibanding negara-negara dengan prestasi tunggal putri mentereng seperti Jepang, Korea, dan Thailan, besarnya jumlah penduduk Indonesia terlihat sebagai berkah tak terkira. Bila menjadi Indonesia, mereka masih bisa mendapat jauh lebih banyak pemain berbakat.

Indonesia terlihat kurang bersemangat mencari hingga jauh ke pelosok daerah dan giat menstimulus sampai sehabis-habisnya agar banyak anak putri mau menanggalkan cita-cita lain selain menjadi pemain nasional.

Terlihat betapa susahnya membentuk jalinan kerja sama apik antara PBSI-pemerintah daerah-klub-sekolah-keluarga sebagai satu kesatuan. Urusan prestasi bulu tangkis seperti menjadi beban dan tanggung jawab segelintir pihak.

Padahal, bila bisa berprestasi, hidup sebagai pebulutangkis hari ini sudah jauh lebih makmur. Banyak pebulutangkis bisa memiliki rumah dan mobil bagus, serta mempunyai tabungan masa depan yang cukup bukan lagi isapan jempol belaka. Pebulutangkis bukan lagi profesi dengan masa depan suram.

"Mati Suri" Panjang

Kembali ke Jorji dan All England. PBSI memiliki alasan sangat kuat untuk tidak memberangkatkan Jorji ke Inggris. Kondisi tak prima dengan adanya masalah pada paha kanannya memaksanya ditinggalkan di pelatnas, sementara delapan wakil lainnya terbang ke Eropa.

Terlalu riskan memaksanya untuk pergi hanya untuk formalitas. Jangan sampai kondisi itu bertambah parah yang membuatnya harus absen lebih lama. Bagaimanapun juga Jorji adalah aset. Satu-satunya permata Indonesia yang paling mengilap. Tetap harus dijaga sambil rutin diasah agar semakin mengilap!

Tanpa Jorji, tak ada wakil tunggal putri di All England tahun ini. Tahun lalu Jorji ambil bagian. Saat itu langkahnya sampai di babak kedua. Di babak pertama, ia berhasil mengatasi Yeo Jia Min dari Singapura dua game langsung.

Kemenangan 21-12 dan 21-17 dalam 29 menit itu mempertemukan Jorji dengan Tai Tzu Ying. Pertandingan pada Jumat (13/3/2020) itu menjadi salah satu momen penting baginya. Pertama kalinya tampil di babak kedua turnamen bergengsi itu serentak meladeni salah satu pemain terbaik di kategori itu.

Apa yang terjadi saat itu? Jorji mengawali pertandingan dengan baik. Ia sempat unggul 8-5, sebelum pebulutangksi Taiwan itu berbalik unggul 8-11 di interval pertama. Sempat tertinggal 17-12, Jorji mampu meraih sejumlah poin hingga kembali memimpin 19-18.

Tai dipaksa bekerja keras untuk meraih game pertama 22-20. Sayangnya, tren positif itu tak berhasil Jorji pertahankan di set kedua. Tai terlihat lebih cakap membaca pola permainan dan jeli menerjemahkannya di lapangan pertandingan. Jorji kewalahan. Namun ia masih sanggup mendapat 16 poin di set terakhir.

Kekalahan "straight set" memang telak. Tapi di balik dua set itu, Jorji sebenarnya menuai banyak hal positif. Di balik 20 poin di set pertama dan 19 poin di game kedua, Jorji mendapat pelajaran bagaimana menjaga konsistensi, bagaimana menyelaraskan semangat dan taktik, bagaimana mengendalikan ego agar tak kebablasan, dan bagaimana mengelola rasa rendah diri di hadapan pemain bintang dan unggulan.

Susi Susanti Vs Bang Soo Hyun di podium All England 1993: Dok. BWF
Susi Susanti Vs Bang Soo Hyun di podium All England 1993: Dok. BWF

Terbukti, Tai adalah pemain terbaik saat itu. Langkahnya sampai jauh hingga mampu meredam unggulan pertama, Chen Yufei di laga final. Bahkan di balik kemenangan dua game langsung, Tai memberikan poin lebih sedikit kepada Chen ketimbang yang didapat Jorji. 21-19 dan 21-15.

Kegagalan Jorji waktu itu sekaligus menutup lembaran prestasi tunggal putri Indonesia di All England. Sedihnya, tirai prestasi Indonesia belum juga tersibak sejak Wang Lian-xiang empat kali menjadi juara lebih dari dua dekade sebelumnya.

Wanita bernama Indonesia Susy Susanti itu istimewa. Ia satu-satunya utusan Indonesia yang bisa beberapa kali jadi juara All England. Gelar juara terakhir pada 1994 silam (sebelumnya 1990, 1991, dan 1993) sekaligus menjadikannya pemain terakhir Indonesia di podium tertinggi.

Sejak Susy gantung raket di usia 26 tahun pada 1998, belum ada penerus yang bisa mengulang pencapaiannya, walau cuma sekali. Sudah 26 tahun berlalu. 

Tunggal putri Indonesia seperti "mati suri" panjang. Bakal bertambah panjang karena tahun ini Jorji, harapan satu-satunya, urung tampil di turnamen yang sudah dikompetisikan sejak 1899 itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun