Mohon tunggu...
Chairul Fajar
Chairul Fajar Mohon Tunggu...

hanya warga negara biasa yang ingin negrinya hidup makmur sejahtera,

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah Sila ke-4 Pancasila Bertentangan dengan Pemilihan Langsung?

12 September 2014   02:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:56 9233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu yang sedang hangat saat ini adalah niat KMP yang merubah sistem pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi pemilihan melalui DPRD, salah satu alasan pamungkas yang diutarakan adalah pemilihan langsung bertentangan dengan PANCASILA terutama sila ke -4.

Jika kita baca lagi sila ke-4 tersebut.

KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN

Jika kita baca secara Tekstual maka alasan KMP benar bahwa Pemilihan langsung bertentangan dengan Sila ini, tetapi bolehkah kita bertanya apa yang dimaksud dengan HIKMAT KEBIJAKSANAAN, sebegitu simpel kah kata ini untuk ditafsirkan sebagai kepala pemerintahan?.

Kata KERAKYATAN adalah filosofi dari kenapa negara ini harus ada?, negara ini untuk apa?, kata kerakyatan  menunjukan bahwa negara ini untuk rakyat, negara ini ada untuk memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia. maka kata Kerakyatan dalam sila ke-4, bukanlah Rakyat sebagaimana fisiknya namun berwujud negara yang merupakan representasi dari rakyat.

Kata YANG DIPIMPIN, ini dia yang menjadi senjata pamungkas mengatakan bahwa ini sila ini soal membahas soal sistem transisi kepemimpinan, padahal kata lanjutannya adalah OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN, unik memang karena HIKMAT dan KEBIJAKSANAAN adalah dua kata yang memiliki arti sama yaitu memakai suatu pengetahuan dengan benar.

Maka jika kita hubungkan kata KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN maka Negara yang dipimpin oleh penggunaan pengetahuan dengan benar,  nilai suatu kebenaran dalam penggunaan pengetahuan sangatlah bersifat relatif, ada yang bilang kloning mahluk hidup merupakan wujud dari berkembangnya peradaban manusia tetapi ada juga yang menganggapnya melanggar etika, oleh sebab itulah dibentuk aturan baku sebagai standart,  nah aturan baku itu bernama HUKUM. HUKUM inilah yang menjadi aturan apakah penggunaan pengetahuan itu benar atau salah, dalam Agama misalnya, manusia memiliki pengetahuan untuk melakukan hubungan seksual dan berkembang biak, tetapi Agama memiliki hukum yang menentukan tata cara bagaimana itu dilakukan.

Maka Kata HIKMAT KEBIJAKSANAAN bisa kita terjemahkan sebagai HUKUM, maka kata yang YANG DIPIMPIN tadi bisa juga berarti YANG DIKOMANDOI. karena betemu dengan kata NEGARA didepan dan HUKUM dibelakang dapat diartikan juga menjadi YANG DIARAHKAN, maka NEGARA YANG DIARAHKAN OLEH HUKUM, jika kita membaca lagi dalam UUD 1945 yang menjadi tafsir Pancasila disebutkan Negara bedasarkan Hukum (Rechstaat) Bukan bedasarkan kekuasaan belaka (Machstaat). Hukum apa? UUD, UU dan Juga produk-produk legislasi lainnya sesuai kata DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN, dari sini jelas bahwa hukum-hukum yang ditetapkan untuk mendapatkan kemaslahatan bersama oleh sebab itulah sebisa mungkin mufakat, menghindari perbedaan jauh antara mayoritas dan minoritas. jika tidak mencapai mufakat maka dilakukan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak

Maka jika kita terjemahkan secara filosofisnya

NEGARA DIARAHKAN OLEH HUKUM/ATURAN YANG DIAMBIL DENGAN CARA-CARA MUSYAWARAH ATAU MELALUI PERWAKILAN

kita melihat sila pertama mengatur kehidupan personal rakyat, sila kedua mengatur hubungan antar rakyat, sila ketiga mengatur bentuk negara, maka sila keempat mengatur bagaimana suatu hukum sebagai dasar negara dibentuk, dan sila kelima mengatur tujuan hukum itu dibentuk.

Sehingga sila ke-4 bukan berbicara Demokrasi dalam arti sempit seperti bagaimana kita memilih presiden atau kepala daerah, tetapi sila ini berbicara hal-hal yang lebih luas yaitu bagaimana mana kita membuat hukum atau aturan yang mengatur itu semua dan juga segala macam urusan negara ini.

Jika kita terjemahkan sila ke-4 bedasarkan pengertian KMP yang begitu simple maka tersirat bahwa  Negara ini dijalankan/didasarkan oleh kekuasaan (machstaat) bedasarkan keterwakilan. dan Kekuasaan berada diatas Hukum. karena seakan-akan sila ke-4 ini mengatur bagaimana kekuasaan diperoleh. bukan bagaimana negara ini berjalan dan mendapatkan landasan untuk berjalan maka akan terjadi ketidakcocokan dengan sila ke-3 yang berbicara soal bentuk negara ini, dan sila ke-5 yang memuat tujuan negara ini. bagaimana bisa kita sudah mempunyai bentuk negara kita sudah punya tujuan, tapi tidak berbicara bagaimana mencapai tujuan tersebut, tapi malah berbicara masalah sistem transisi kepemimpinan?.

Oleh sebab itulah terlalu piciknya kita jika terlalu menyederhanakan arti dari sila ke-4 adalah demokrasi keterwakilan, sila ke-4 berbicara bagaimana hukum dibuat, soal sistem politik negara, dan tetek bengek tata negara seperti soal sistem pemilihan kepala pemerintahan tidak dibicarakan disini, hal-hal tersebut dibicarakan dan diatur dalam hukum-hukum yang dibuat bedasarkan sila ke-4 tadi yang menjadi landasan bagaimana negara ini berjalan, baik itu UUD ataupun UU.

Negara ini dijalankan oleh Eksekutif tetapi aturannya bagaimana negara ini berjalan dibuat oleh Legislatif, ada aturan yang harus diingat oleh Legislatif bahwa TUJUAN hukum yang mereka buat berada di sila ke-5 Memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, Eksekutif pun dalan menjalankan hukum Goalnya adalah sila ke-5 ini.

Maka dalam RUU PEMILUKADA ini pun sama, apakah bertujuan untuk menyejahterakan rakyat?, mana yang lebih luas manfaatnya untuk rakyat apakah pemilihan Langsung atau melalui DPRD? . Yang pasti 10 tahun pemilukada langsung berjalan dinegri ini lahir pemimpin-pemipin baru yang dicintai rakyat, yang apabila akal logika kita mengkalkulasi, seandainya sistem pemilihan melalui DPRD mungkin mereka tak akan pernah memimpin dan dikenal.

Ada juga yang mengatakan toh DPRD itu representasi suara rakyat, sama saja kan dengan kedaulatan rakyat, lalu bisakah kita juga mengatakan Presiden yang kita pilih pun representasi suara rakyat maka bolehkah kita menjadikannya sebagai representasi kedaulatan rakyat sehingga kita tidak perlu memilih anggota legislatif?.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun