Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menceritakan (Ulang) Sejarah Lewat Fotografi (Bagian Kedua -- Selesai)

13 Maret 2017   10:13 Diperbarui: 13 Maret 2017   10:34 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for Chaerol Riezal

Tidak kalah kejam dengan Jepang, pasukan Belanda juga melakukan pembantaian diberbagai tempat. Salah satu tempat pembataian masal terjadi di sebuah kereta pengangkutan tahanan rakyat Indonesia. Meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekannya pada 17 Agustus 1945, Belanda tidak mau begitu saja menyerahkan kekuasaannya dan melancarkan serangan berbagai dareah. Pada 22 Februari 1947, Belanda berhasil menduduki Bondowoso dan berkuasa disana. Pada pejuang tidak mau tinggal diam dan melakukan perlawanan. Beberapa pejuang ini ditangkap oleh Belanda. Ada sekelompok pejuang yang tiba-tiba ditangkap oleh Belanda ketika mereka sedang bergerilya. Mereka ditahan di penjara Bondowoso.

Pada tanggal 23 November 1947 pasukan Belanda berencana memindahkan seratus orang tahanan tersebut ke penjara Bubutan di Surabaya. Mereka dimasukan ke dalam gerbong kereta api yang seharusnya untuk mengangkut barang dan muatan lainnya. Ada tiga gerbong pada kereta api tersebut. 24 orang masuk ke gerbong pertama yang bernomor GR7569. Kemudian 30 orang masuk gerbong kedua yang bernomor GR4416. Sisanya masuk ke gerbong ketiga yang bernomor GR10152.

Selama 16 jam para tahanan ini harus berjuang untuk mempertankan hidup tanpa diberi makanan dan minuman ataupun udara yang cukup. Rakyat yang ada diluar kereta saat melintas pun dilarang mendekati gerbong. Beberapa kali tahanan tersebut berteriak minta minum dan udara tapi tidak digubris. Akhirnya ketika tiba di stasiun Wonokromo kereta api berhenti dan setelah di data, ada 46 orang tahanan meninggal dunia karena kekurangan minum dan makanan. Sisianya sakit parah dan lemas. Salah satu tahanan yang selamat mengaku bahwa mereka terpaksa minum air seni dan keringat sendiri untuk bertahan hidup. Gerbong ini sekarang berada di Museum Brawijaya, sedangkan di Bondowoso dibangun monumen gerbong maut untuk memperingati insiden berdarah ini.

Tragedi Reformasi 1998

James Nachtwey adalah seorang yang bekerja sebagai fotogrer perang. Profesinya telah mengantarkan James ke berbagai tempat paling berbahaya di dunia (walau tidak seluruhnya). Tempat-tempat berbahaya dimana nyali, nyawa dan alam barzah seolah menjadi komoditi jual beli. Desing peluru, anyir darah, teriakan kesakitan sampai kepedihan direkam dengan begitu berani dan sangat jujur oleh James. Kendati demkian, mau tak mau hasil karya James akan selalu dipenuhi kontroversi dan perdebatan. Tetapi, itu nanti saja kita diskusikan. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Apa yang ingin saya sampaikan?

Saya akhirnya paham, James ingin menyampaikan pesan. Bahwa sepahit apapun peristiwa, sejarah harus dituliskan dan disampaikan kepada khalayak ramai. Tidak mungkin rasanya seorang fotografer melewatkan begitu saja momen-momen yang penting, apalagi peristiwa itu layak untuk diketahui oleh umum. Seorang sejarawan juga demikian. Ia tidak boleh untuk tidak mendokumentasikan sejarah, apalagi yang sudah ia ketahui. Historiografi (penulisan sejarah) yang digarap oleh sejarawan juga tidak boleh menghasilkan historiografi yang penuh dengan simpati dan empati. Karena simpati dan empati menjadi persoalan lain dalam menulis sejarah. Kita boleh-boleh saja merasa simpati dan empati terhadap sebuah peristiwa yang menguncangkan hati, seperti perang, pembunuhan, dan perbuatan keji lainnya. Tetapi saat menulis sejarah, kita harus memisahkan hal itu sementara waktu, seperti yang dilakukan oleh James lewat foto jepretannya.

James mungkin sudah mengunjungi hampir semua tempat-tempat yang rawan di dunia ini, termasuk di Indonesia. Salah satunya ketika Indonesia sedang diliput tragedi yang memilukan (Reformasi 1998). James ikut mengabadikan Indonesia lewat lensa miliknya ketika peristiwa reformasi 1988 itu meletus. Kala itu Indonesia penuh dengan huru-hara. Kekacauan terjadi di mana-mana, tidak hanya di Jakarta saja. Tahun itu adalah tahun kekerasan dimana senjata aparat menjadi tuan pembunuh antara sesama rakyat Indonesia. Sementara kelembutan adalah mimpi di siang bolong. Setiap hari adalah mimpi buruk, bahkan setiap hirupan nafas berasal dari bau yang terbakar (entah itu mayat, mobil, sepeda motor dan bangunan).

Durasi kunjungan James ke Indonesia sangat spesial. Tahun itu James mengabadikan detik-detik pergantian kepemimpinan (presiden), kegetiran huru-hara tahun 1998 sampai memotret kemiskinan di negeri ini. Dalam koleksi fotonya terdapat kesedihan, kegembiraan, sekaligus kengerian yang luar biasa menyentuh hati.

Tragedi tahun 1998 memang sangat mengerikan bagi Indonesia, tapi meskipun demikian James tetap memotret peristiwa itu. Inilah yang ingin saya sampaikan kepada Anda. Bagi saya, foto-foto milik James adalah pegangan agar bangsa ini tidak melupakan sejarah begitu saja, tidak melupakan kejadian buruk di masa lalu. Tetapi juga harus pandai mengambil pelajarannya. Karena itu, foto-foto yang dihasilkan oleh James pun menggambarkan betapa mengerikannya tahun itu. Dan tentu sja, hal itu dapat dijadikan sebagai pegangan.

Dalam sebuah wawancara, James menyebutkan bahwa pengalamannya di Indonesia tahun 1998 itu telah demikian menyentuh dirinya. Sebagai seorang wartawan perang, James mungkin sering terjebak antara dilema dan terkadang cukup mengguncang hatinya. Hal itu juga dialami oleh James saat ia menceritakan kejadian tragedi 1998 dengan penuh kepiluan dan dilematis.

Suasana dilematis itulah yang mungkin selalu menghantui pikiran James. Dokumentasi fragmen kejadian yang begitu cepat tersebut, akhirnya menjadi sangat terkenal. Foto-foto kejadian di bulan Mei 1998 itu kemudian mendapatkan penghargaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun