Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menceritakan (Ulang) Sejarah Lewat Fotografi (Bagian Kedua -- Selesai)

13 Maret 2017   10:13 Diperbarui: 13 Maret 2017   10:34 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for Chaerol Riezal


Oleh: Chaerol Riezal*

Kecuali untuk berselfie atau berfoto suka ria, saya selalu percaya bahwa fotografi itu tidak hanya urusan kesenangan mengambil gambar saja, tetapi jauh melampaui hal itu. Bagi saya, fotografi adalah sebuah keagungan untuk merekam sebuah peristiwa (sejarah). Ia juga dapat mengabadikan momen-momen yang tidak akan termakan oleh zaman. Meskipun ingatan manusia terbatas atau mungkin ingatan akan melupakan, dan manusia bisa saja ahistoris, tetapi tidak dengan fotografi. Bukankah sebuah karya fotografi bisa mengingatkan (kembali) hal-hal yang sudah dilupakan oleh manusia?

Seperti halnya yang saya percayai, bahwa fotografi terlalu agung jika hanya yang diabadikan itu soal keindahan saja. Saya beranggapan bahwa fotografi seharusnya adalah tindakan yang terjujur untuk mendokumentasikan sesuatu dan bukan sebaliknya. Maka apapun yang terlihat dalam fotografi atau gambar yang dipotret langsung, adalah memang seperti itulah kenyataan yang ada dan tak perlu seseorang untuk mengubahnya.

Ia (fotografi) bisa juga berupa: kegetiran yang kelam, kesedihan yang berlipat gandakan, dan luka yang begitu dalam yang (mungkin) tak tersembuhkan. Tapi barangkali itulah jalan yang ditempuh oleh seorang fotografer untuk mendokumentasikan sejarah dengan cara yang jujur dan tanpa polesan. Kegetiran dan kepedihan yang terbalut dalam sebuah peristiwa, musibah, bencana, dan tragedi sejarah serta hal-hal pahit lainnya merupakan bagian yang harus dipotret dalam sebuah fotografi, dan juga merupakan hal yang seharusnya tidak boleh dihindari untuk diabadikan. Tapi di sisi lain, saya tidak akan setuju dan akan mengecam jika hasil fotografi yang berisikan pembantaian umat manusia, disebarluaskan di media masa atau sosial media.

Baca juga : http://www.kompasiana.com/chaerolriezal/menceritakan-ulang-sejarah-lewat-fotografi-bagian-1-dari-2-tulisan_5889dfa9d77a61f71273475e

Seperti yang berulangkali saya katakan, fotografi dapat menyampaikan sebuah pesan bahwa sepahit dan segetir apapun peristiwa sejarahnya, harus didokumentasikan dan disampaikan kepada khalayak agar tidak terulang di masa depan. Dan tentu saja, momen-momen getir dan kelam yang diabadikan lewat fotografi itu adalah sesuatu yang pahit untuk kehidupan yang lebih manis di masa yang akan datang, atau paling tidak untuk sebuah pelajaran berharga.

Pesan-pesan yang disampaikan lewat fotografi adalah sebagai pengingat bagi manusia agar tidak melupakan masa lalu, dan agar (selalu) senantiasa merefleksi untuk melihat masa lalu guna berpijak untuk masa saat ini dan masa yang akan datang. Anda tentu sudah tahu, diluar sana ada bagitu banyak foto-foto yang tanpa pulasan sangat menghentak hati, mengiris sanubari, dan menggugah hati nurani. Karena itulah, fotografi tidak hanya soal untuk urusan kesenangan saja atau mengambil gambar yang indah-indah saja. Tetapi, ia juah lebih dari itu.

Teuku Umar: Minum Kopi di Meulaboh atau Syahid

Beungoh singoh geutanyo jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (besok pagi kita akan minum kopi di kota Meulaboh atau aku akan syahid), begitulah sepengkal kata-kata mutiara yang diucapkan oleh Teuku Umar yang di abadikan dalam prasasti Desa Meugo, Meulaboh (Aceh Barat), pada akhir perjuangannya. Ucapan yang dilontarkan oleh Teuku Umar tersebut, menunjukkan bahwa tekadnya untuk berjuang membebaskan kota Meulaboh atas kehadiran Belanda, meskipun nyawa menjadi taruhannya.

Sosok Teuku Umar yang sangat menentang keras kehadiran Belanda di bumi Serambi Mekkah (julukan Aceh) ini, ternyata begitu mengilhami pelukis Basoeki Abdullah, sehingga menimbulkan kekaguman yang begitu mendalam di hatinya akan sosok Teuku Umar yang juga merupakan suami dari pejuang Aceh lainnya, Cut Nyak Dhien. Sejak kecil, Basoeki Abdullah memang sangat mengidolakan pejuang-pejuang yang telah berjuang untuk membebaskan Indonesia dari cengkraman penjajah. Kekagumannya tersebut yang lantas nantinya dituangkan dalam kanvas, seperti keahliannya yang selama ini ditekuni dan mendapat pengakuan oleh kebanyakan orang atas karya-karya Basoeki Abdullah.

Karena rasa kekagumannya kepada sosok Teuku Umar, pelukis Basoeki Abdullah lantas membuat lukisan Teuku Umar. Ihwal pembuatan lukisan Teuku Umar dan pahlawan-pahlawan nasional lainnya, tidak hanya karena faktor nasionalisme seorang Basoeki Abdullah saja. Tetapi juga karena adanya dorongan dari pelukis lain ketika mempertanyakan rasa nasionalisme Basoeki Abdullah terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Sebab, selama ini Basoeki Abdullah dinilai hanya seorang pelukis yang melukis Indonesia dari sisi yang indah-indah saja, dan tidak menyuarakan (melukis) realita perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu.

Basoeki Abdullah menjawab keraguan dari beberapa pelukis tersebut dengan mengatakan bahwa perjuangannya bukanlah dengan cara mengangkat senjata untuk kemudian berjuang di medan pertempuran. Namun ia berjuang melalui jalur yang lain: melalui jalur budaya dengan cara melukis sehingga Indonesia dikenal sebaga negara yang memiliki budaya dan seni yang tinggi. Sejak saat itu, meskipun tengah belajar di Belanda, Basoeki Abdullah tetap mengikuti berita dan perkembangan perjuangan di tanah air, dan tetap berkarya sehingga nama Indonesia semakin dikenal di daratan Eropa, seiring dengan semakin harumnya nama beliau di ranah pelukis benua Eropa.

Untuk menjawab keraguan diantara beberapa pelukis tersebut, Basoeki Abdullah menjawab dengan cara melukis lukisan para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, dan salah satu yang dilukis adalah Teuku Umar. Melukis sosok Teuku Umar merupakan salah satu bentuk tingginya rasa nasionalisme dalam diri Basoeki Abdullah, yang diwujudkannya melalui karya seni (lukisan) yang bernilai tinggi pula.

Melalui lukisan Teuku Umar dan para pahlawan nasional lainnya, Basoeki Abdullah seolah ingin menyampaikan bahwa ia bukanlah pelukis komersil yang hanya bisa melukis Indonesia yang indah-indah saja, tetapi juga sebagai bentuk rasa cintanya kepada tanah air dan tokoh perjuangan bangsa Indonesia. Kini, kita pun dapat mengetahui wajah-wajah pahlawan nasional melalui luksan karya Basoek Abdullah tersebut, meskipun karya itu di lukis melalui imajinasinya (bukan dalam bentuk wajah asli).

Dan, lukisan-lukisan tersebut pun telah menjadi citra atau daya tarik dalam sampul dan isi buku-buku sejarah, diberbagai tempat lainnya, termasuk bertebaran banyak di dunia maya (internet). Sadar bahwa lukisan tersebut telah mendunia, ia pun turut mewariskan semangat perjuangan bangsa milik para pahlawan kepada kita sebagai generasi penerus (tongkat estafet), untuk senantiasa mengisi dan menghargai kemerdekaan yang telah diraih dengan penuh perjuangan dan segenap tumpah darah. Di samping itu, hadirnya lukisan pahlawan karya Basoeki Abdullah mengajarkan kepada kita bahwa, melalui lukisan para pahlawan, ternyata dapat mengisahkan ulang cerita sejarahnya.

Untuk melihat lukisan-lukisan karya dari Basoeki Abdullah, ada baiknya Anda berkunjung ke Museum Basoeki Abdullah di Jakarta Selatan, atau juga Anda dapat melihat karya lukisan Basoeki Abdullah dengan mengkases website resminya di internet.

Mega Musibah Aceh Bernama Gempa dan Tsunami (26 Desember 2004)

Datanglah ke Aceh atau lebih tepatnya ke Banda Aceh suatu hari nanti. Disanalah kenang-kenangan akan mega musibah gempa dan tsunami Aceh diabadikan. Museum Tsunami Aceh sudah lama berdiri megah. Setiap harinya selalu melibatkan orang yang berkunjung ke sana, termasuk para pelancong dari berbagai penjuru.

Bagi Anda yang beruntung yang sudah pernah mengunjungi Museum Tsunami Aceh di kota Banda Aceh, ada salah satu sudut dan ruangan di museum diarah timur dan selatan bertemu. Pada bagian itu, ada sebuah jam dengan tanggal yang dipermanen yang selalu menunjukkan angka 26 Desember 2004.

Mengutip dari beberapa sumber, itu adalah hari ketika waktu tiba-tiba berhenti seketika untuk Aceh. Meninggalnya lebih dari ratusan ribu orang dan hancurnya sebagian besar bangunan di hari terjadinya mega musibah gempa dan tsunami Aceh itu, digambarkan sebagai hari paling kelam sepanjang sejarah Aceh oleh surat kabar lokal, nasional dan internasional. Hari yang kelam tersebut datang dalam waktu yang sangat singkat disaat Aceh masih dilanda konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia, tapi konflik itu begitu mengerikan.

26 Desember 2004 adalah salah satu hari paling kelam dalam catatan sejarah Aceh. Betapa tidak, tepat di hari Minggu itu, gempa yang berkekuatan 9.2 SR mengguncang bumi Serambi Mekkah dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur dibeberapa daerah di Aceh. Tak lama setelah goncangan gempa yang sangat dasyat itu, laut ikut bergolak dan menumpahkan ribuan meter kubik airnya ke daratan. Konon tinggi gelombang sampai mencapai 10 meter atau setinggi pohon kelapa. Lebih dari ribuan korban jiwa melayang, ribuan rumah rusak parah, jalan terpotong, infrastruktur rusak parah, dan Nanggroe Aceh Darussalam luruh dalam duka yang begitu dalam.

Mega musibah itu diingat oleh kebanyakan orang sebagai gempa dan tsunami Aceh (orang Aceh menyebut bencana tsunami sebagai ie beuna), adalah sebuah bencana terbesar yang pernah melanda Aceh. Perhatian dunia tercurahkan pada peristwa itu. Aceh yang sebelumnya indah dipandang oleh mata akan alamnya, meskipun masih dalam keadaan perang, hari itu tiba-tiba dibanjiri oleh ribuan relawan, pekerja sosial dan belakangan para pekerja lembaga donor dan lembaga non pemerintah. Mereka semua berasal dari dalam maupun luar negeri.

Lalu bagaimana wartawan menceritakan ulang mega musibah Aceh lewat lensa miliknya? Jawabannya akan berurai air mata. Jangankan wartawan, orang Aceh sendiri saja (terutama para korban) sulit sekali untuk menjelaskan jalannya peristiwa tersebut.

Media dan jurnalis Indonesia juga sama, tergagap ketika bencana itu datang. Ketika tsunami melanda Aceh, media lokal benar-benar tidak punya gambaran seberapa besar bencana dan dampak yang terjadi di Aceh. Media lokal butuh waktu sebelum benar-benar sadar betapa dahsyatnya bencana yang terjadi di Aceh. Media asing pun awalnya tak terlalu sadar, mereka bahkan lebih fokus kepada tsunami di Thailand dan Sri Lanka.

Barulah ketika beberapa media lokal dan asing berhasil masuk ke Aceh, dunia terperanjat melihat seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Dalam waktu yang relatif singkat, Aceh menjadi pusat pemberitaan dunia. Bahkan sempat menjadi berita utama (headline) dibeberapa media cetak lokal, nasional dan internasional.

Gagapnya warga dan media menghadapi mega bencana gempa dan tsunami Aceh, turut diceritakan oleh Bedu Saini, wartawan Serambi Indonesia (koran harian terbitan Aceh). Bedu Saini adalah wartawan Serambi Indonesia yang selamat dari bencana tersebut, dan bahkan sempat memotret sebuah adegan yang sungguh dramatis. Adegan dua orang pria menolong seorang bocah ketika gelombang tsunami mulai merangsek ke daratan. Secara profesional Bedu Saini mengaku puas dengan tangkapan lensanya, tapi secara pribadi dia sedih. Ibu dan dua anaknya ditelan oleh gelombang tsunami, hilang entah ke mana.

Hal serupa juga turut diceritakan oleh Ahmad Arif, seorang wartawan Harian Kompas yang sempat menghabiskan waktunya di Aceh beberapa hari setelah tsunami. Ahmad Arif menceritakan kisahnya saat terjun langsung ke pusat bencana hanya berselang sehari setelah bencana menghantam Bumi Serambi Mekkah. Bagaimana mayat-mayat bergelimpangan, puing-puing berserakan, bau anyir menusuk hidung, tangisan orang yang amat memilukan, dan depresi di mana-mana. Sebuah perjuangan berat untuk seorang wartawan yang harus bertarung dengan profesionalisme dan hati nuraninya.

Kisah itu kemudian perlahan-lahan bergulir ke kisah dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun setelah bencana itu terjadi. Rekonsiliasi antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) seperti berkah selepas bencana, membawa damai setelah 30 tahun lebih perang antara kedua kubu dengan warga sebagai korban di tengah-tengah konflik yang membara Aceh saat itu. Rekonsiliasi itu juga yang ternyata membawa masalah dalam proses pemulihan selepas bencana.

Ketika mega musibah gempa dan tsunami terjadi, saat itu Aceh bahkan masih dalam keadaan berperang. Setelah itu Aceh berubah total dan hanyalah sebagai puing-puing yang berserakan akibat amukan dari gelombang tsunami. Hampir tiga belas tahun lebih pasca bencana, Aceh menjalani perjalanan yang sangat panjang hingga bisa sampai seperti sekarang ini: Aceh Lon Sayang (Aceh Aku Sayang) seloah lahir kembali.

Aceh yang hancur lebur, akhirnya terlahir kembali pasca mega musibah gempa dan tsunami itu berlalu. 26 Desember 2004, pukul 07.30 (gempa) dan 08:10 WIB (tsunami), waktu itu memang terasa sangat hening dan berhenti seketika itu juga untuk Aceh. Tapi di saat yang bersamaan, cerita sesungguhnya baru saja dimulai. Sebuah cerita yang selamanya akan menggetarkan setiap jiwa yang berhubungan langsung dengan Aceh: GAM vs RI berdamai, dan Aceh bisa menata masa depan yang lebih cerah.

Bantul di Penghujung Mei Tahun 2006

Sebelas tahun lalu menjadi hari yang tragis bagi warga Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Betapa tidak, gempa berkekuatan 5.9 SR telah meluluhlantakan sebagian besar bangunan yang ada di daerah tersebut.

27 Mei 2006 waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB. Pagi itu, saat sebagian masyarakat masih bersiap untuk beraktivitas sehari-hari, tanah di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya tiba-tiba bergetar karena terjadi gempa 5,9 Skala Richter yang berpusat di Bantul. Getaran gempa yang terjadi selama kurang lebih satu menit tersebut, telah membuat luluh lantak di beberapa wilayah Yogjakarta.

Kabupaten Bantul menjadi daerah yang terkena dampak paling parah. Banyaknya bangunan yang berdiri saat itu, telah rata dengan tanah akibat digoncang gempa teknonik tersebt. Ribuan korban meninggal dunia. Di perkirakan korban jiwa saat itu lebih dari 6.000 orang.

Dahsyatnya gempa sebelas tahun silam itu sempat diabadikan dalam beberapa foto oleh pengguna Facebook bernama Anton Asmonodento. Karenanya, lewat foto unggah tersebut saya mencoba mengisahkan ulang peristiwa gempa itu melalui tulisan singkat ini. Untuk lebih jelasnya, ada baiknya juga Anda melihat langusng foto yang diunggah tersebut atau dari sumber lainnya untuk menceritakan ulang peristiwa gempa Yogyakarta 27 Mei 2006.

Desa Mandor di Kalimantan Barat (Makam Juang Mandor, Pontianak)

Pada masa penjajahan Jepang dari tahun 1942-1945, salah satu daerah yang paling ditakuti adalah Kalimantan Barat. Penduduk disana tidak mau menerima kedatangan Jepang begitu saja setelah Belanda mundur dari Indonesia. Jepang mengambil paksa harta benda dan memperkosa anak gadis disana. Sultan dan para cendikiawan di Kalimantan Barat berkumpul pun dan membuat strategi untuk mengusir Jepang dari tanah mereka.

Namun rencana ini dibocorkan oleh kelurga yang berkhianat. Jepang mengetahui rencana tersebut dan menangkap semua cendikiawan yang berkumpul, termasuk Sultan Pontianak. Mereka dibawa oleh Jepang ke Desa Mandor Kabupaten Landak Kalimantan Barat untuk dibantai.

Desa Mandor dipilih, karena waktu itu belum banyak penduduk yang tinggal disana dan area hutan juga masih luas. Diperkirakan para bangsawan dan cendikiawan ini dibunuh dengan pedang samuarai, namun ada juga yang mengatakan bahwa mulut mereka dimasukkan selang dan diisi air hingga meninggal.

Setelah membantai orang-orang tertinggi ini, kebiadaban Jepang tidak berhenti sampai disini. Jepang mencari keluarga dari korban dan membunuhnya di lokasi yang sama pula. Diperkirakan ada 21.000 orang yang tewas dalam pembantaian ini. Peristiwa genosida ini telah membuat Kalimantan Barat kehilangan kaum intelektualnya selama 3 dekade lebih.

Ketika Jepang menyerah dan meninggalkan Indonesia, Sultan Hamid II yang selamat dari pembantaian ini menemukan tulang belulang korban pembantaian. Sultan ini selamat karena ketika Jepang menduduki Indonesia, ia hijrah ke Belanda bersama istrinya yang juga berkebangsaan Belanda. Ia pun mengumpulkan tulang belulang ini yang dibantu oleh tim ahli dari Australia dan penduduk setempat. Selama 3 bulan lebih, tulang belulang yang berserakan tersebut akhirnya dimakamkan di sepuluh makam masal yang sengaja dibangun oleh Sultan.

Namun, setelah itu makam ini kemudian sedikit terabaikan. Setelah puluhan tahun, akhirnya Pemerintah Daerah melakukan perbaikan terhadap makam ini. Tepat pada tanggal 22 Juni 1977, Gubernur Kalimantan Barat meresmikan tempat ini sebagai Makam Juang Mandor. Tanggal 22 Juni merupakan tanggal dimana peristiwa berdarah itu terjadi dan hingga sekarang ditetapkan sebagai hari berkabung di Kalimantan Barat.

Gerbong Maut di Madiun

Tidak kalah kejam dengan Jepang, pasukan Belanda juga melakukan pembantaian diberbagai tempat. Salah satu tempat pembataian masal terjadi di sebuah kereta pengangkutan tahanan rakyat Indonesia. Meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekannya pada 17 Agustus 1945, Belanda tidak mau begitu saja menyerahkan kekuasaannya dan melancarkan serangan berbagai dareah. Pada 22 Februari 1947, Belanda berhasil menduduki Bondowoso dan berkuasa disana. Pada pejuang tidak mau tinggal diam dan melakukan perlawanan. Beberapa pejuang ini ditangkap oleh Belanda. Ada sekelompok pejuang yang tiba-tiba ditangkap oleh Belanda ketika mereka sedang bergerilya. Mereka ditahan di penjara Bondowoso.

Pada tanggal 23 November 1947 pasukan Belanda berencana memindahkan seratus orang tahanan tersebut ke penjara Bubutan di Surabaya. Mereka dimasukan ke dalam gerbong kereta api yang seharusnya untuk mengangkut barang dan muatan lainnya. Ada tiga gerbong pada kereta api tersebut. 24 orang masuk ke gerbong pertama yang bernomor GR7569. Kemudian 30 orang masuk gerbong kedua yang bernomor GR4416. Sisanya masuk ke gerbong ketiga yang bernomor GR10152.

Selama 16 jam para tahanan ini harus berjuang untuk mempertankan hidup tanpa diberi makanan dan minuman ataupun udara yang cukup. Rakyat yang ada diluar kereta saat melintas pun dilarang mendekati gerbong. Beberapa kali tahanan tersebut berteriak minta minum dan udara tapi tidak digubris. Akhirnya ketika tiba di stasiun Wonokromo kereta api berhenti dan setelah di data, ada 46 orang tahanan meninggal dunia karena kekurangan minum dan makanan. Sisianya sakit parah dan lemas. Salah satu tahanan yang selamat mengaku bahwa mereka terpaksa minum air seni dan keringat sendiri untuk bertahan hidup. Gerbong ini sekarang berada di Museum Brawijaya, sedangkan di Bondowoso dibangun monumen gerbong maut untuk memperingati insiden berdarah ini.

Tragedi Reformasi 1998

James Nachtwey adalah seorang yang bekerja sebagai fotogrer perang. Profesinya telah mengantarkan James ke berbagai tempat paling berbahaya di dunia (walau tidak seluruhnya). Tempat-tempat berbahaya dimana nyali, nyawa dan alam barzah seolah menjadi komoditi jual beli. Desing peluru, anyir darah, teriakan kesakitan sampai kepedihan direkam dengan begitu berani dan sangat jujur oleh James. Kendati demkian, mau tak mau hasil karya James akan selalu dipenuhi kontroversi dan perdebatan. Tetapi, itu nanti saja kita diskusikan. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Apa yang ingin saya sampaikan?

Saya akhirnya paham, James ingin menyampaikan pesan. Bahwa sepahit apapun peristiwa, sejarah harus dituliskan dan disampaikan kepada khalayak ramai. Tidak mungkin rasanya seorang fotografer melewatkan begitu saja momen-momen yang penting, apalagi peristiwa itu layak untuk diketahui oleh umum. Seorang sejarawan juga demikian. Ia tidak boleh untuk tidak mendokumentasikan sejarah, apalagi yang sudah ia ketahui. Historiografi (penulisan sejarah) yang digarap oleh sejarawan juga tidak boleh menghasilkan historiografi yang penuh dengan simpati dan empati. Karena simpati dan empati menjadi persoalan lain dalam menulis sejarah. Kita boleh-boleh saja merasa simpati dan empati terhadap sebuah peristiwa yang menguncangkan hati, seperti perang, pembunuhan, dan perbuatan keji lainnya. Tetapi saat menulis sejarah, kita harus memisahkan hal itu sementara waktu, seperti yang dilakukan oleh James lewat foto jepretannya.

James mungkin sudah mengunjungi hampir semua tempat-tempat yang rawan di dunia ini, termasuk di Indonesia. Salah satunya ketika Indonesia sedang diliput tragedi yang memilukan (Reformasi 1998). James ikut mengabadikan Indonesia lewat lensa miliknya ketika peristiwa reformasi 1988 itu meletus. Kala itu Indonesia penuh dengan huru-hara. Kekacauan terjadi di mana-mana, tidak hanya di Jakarta saja. Tahun itu adalah tahun kekerasan dimana senjata aparat menjadi tuan pembunuh antara sesama rakyat Indonesia. Sementara kelembutan adalah mimpi di siang bolong. Setiap hari adalah mimpi buruk, bahkan setiap hirupan nafas berasal dari bau yang terbakar (entah itu mayat, mobil, sepeda motor dan bangunan).

Durasi kunjungan James ke Indonesia sangat spesial. Tahun itu James mengabadikan detik-detik pergantian kepemimpinan (presiden), kegetiran huru-hara tahun 1998 sampai memotret kemiskinan di negeri ini. Dalam koleksi fotonya terdapat kesedihan, kegembiraan, sekaligus kengerian yang luar biasa menyentuh hati.

Tragedi tahun 1998 memang sangat mengerikan bagi Indonesia, tapi meskipun demikian James tetap memotret peristiwa itu. Inilah yang ingin saya sampaikan kepada Anda. Bagi saya, foto-foto milik James adalah pegangan agar bangsa ini tidak melupakan sejarah begitu saja, tidak melupakan kejadian buruk di masa lalu. Tetapi juga harus pandai mengambil pelajarannya. Karena itu, foto-foto yang dihasilkan oleh James pun menggambarkan betapa mengerikannya tahun itu. Dan tentu sja, hal itu dapat dijadikan sebagai pegangan.

Dalam sebuah wawancara, James menyebutkan bahwa pengalamannya di Indonesia tahun 1998 itu telah demikian menyentuh dirinya. Sebagai seorang wartawan perang, James mungkin sering terjebak antara dilema dan terkadang cukup mengguncang hatinya. Hal itu juga dialami oleh James saat ia menceritakan kejadian tragedi 1998 dengan penuh kepiluan dan dilematis.

Suasana dilematis itulah yang mungkin selalu menghantui pikiran James. Dokumentasi fragmen kejadian yang begitu cepat tersebut, akhirnya menjadi sangat terkenal. Foto-foto kejadian di bulan Mei 1998 itu kemudian mendapatkan penghargaan.

James memang hanya sebentar berada di Indonesia. Namun kumpulan foto-fotonya sangat menghentak dan menyentuh hati orang melihatnya, tak kecuali bagi saya sendiri. Rekaman-rekaman foto James memberikan gambaran beragam emosi manusia kala itu. Ada ketakutan, kesedihan, kepasrahan, kebiadaban, dan ada juga kegembiraan. Silahkan saja Anda melihat karya foto James di google. Di sanalah Anda akan menemukan jawabannya.

Salah satu yang cukup menggugah hati adalah foto dimana pekikan reformasi tahun 1998 dikumandangkan, adalah petanda tumbangnya sebuah rezim Orde Baru Soeharto menuju era baru yang terang benderang. Foto James sederhana saja, ia memotret kumpulan mahasiswa yang bersorak atas beralihnya pucuk kekuasan. Tapi foto itu kemudian bercerita lebih, ada tangis haru kebebasan dari sebuah rezim, ada ledak kebahagiaan atas kemenangan dari sebuah perjuangan, dan ada tawa lepas bahagia atas sebuah pembaruan.

Bagi James sendiri, sebuah kebenaran tak perlu dihiasi secara berlebihan, biarlah apa adanya. Ketakutan yang terekam adalah wujud emosi manusia dan itu sulit dijelaskan lewat kata. Tapi mungkin dengan foto James bisa menjelaskan ketakutan-ketakutan itu. Pada intinya James ingin berpesan lewat fotonya untuk menyadarkan realitas yang sesungguhnya sedang terjadi.

Pada akhirnya kumpulan foto-foto James di pada saat terjadinya Reformasi 1998, cukup menggambarkan gejolak Indonesia kala itu. Dokumentasi ini sangat berharga, fragmen foto James adalah karya sejarah bagi bangsa Indonesia. Setidaknya James mengingatkan kita agar tidak menjadi bangsa yang ahistoris, agar kita tidak mengulang tragedi getir 1998. Foto-foto James setidaknya menjadi hal pengingat kita untuk menolak lupa.

***

Kebesaran dan agungnya sebuah negara tidak lepas dari kontribusi para sejarawan, itu jelas titik. Bagaimana seorang sejarawan dari awal hingga mampu mengungkapkan peradaban di masa lalu, adalah menjadi bukti kongkritnya. Dan bagi mereka yang mengamini sejarah sebagai pelajaran atau terinspirasi dan menginspirasikan yang tak lekang oleh waktu, menghormati warisan dan perbuatan foto-foto koleksi sejarah, menjadi sebuah keharusan. Tentu saja, ini sangat penting. Tetapi bukan untuk dijadikan sebagai barang sembahan atau menghambakan diri dalam hal kemusyrikan terhadap foto dan patung sejarah tersebut.

Anda tahu, sejarah tidak hanya dan harus termaktub dalam bundelan-bundelan dokumen yang tertata rapi di museum, ruang arsip dan perpustakaan. Banyak cara agar sejarah terus hidup, tetap dikenang dan dikenalkan kepada generasi terbaru yang masih muda dan anak-anak. Tujuannya jelas: agar generasi baru mesti mengenal betul seluk-beluk sejarah bangsa ini yang panjang dan para leluhurnya berikut cerita jatuh-bangunnya.

Pembuatan foto-foto bersejarah, entah itu yang dipotret langsung oleh fotografer, foto yang dilukiskan melalui imajnasi pelukis, atau bahkan lukisan masa kerajaan, bisa dijadikan alternatif untuk mengabadikan suatu momen dari peristiwa sejarah itu sendiri. Dan dengan cara seperti itulah, ingatan dan kenangan terhadap sejarah akan terjamin keberlangsungannya hingga sampai ke generasi-generasi berikutnya.

Di berbagai daerah-daerah di Indonesia, yang katanya juga negeri nenek moyangnya sejarah Indonesia, sudah barang tentu sangat banyak momen-momen yang punya cerita luar biasa terkait para leluhur yang berjasa dalam sejarah Indonesia. Tak ada yang menyanggah bahwa terbentuknya negara Indonesia berkat perjuangan tokoh-tokoh dan pemuka agama yang ada diberbagai daerah sebelum Indonesia terbentuk. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia memang dibalut penuh oleh sejarah dari berbagai daerah, tidak dapat dibantah lagi. Tentu saja.

Berdirinya bangsa Indonesia tidak terlepas dari perjuangan dan sumbangsih besar para tokoh dan masyarakat Indonesia diberbagai daerah, hingga para tokoh tersebut diabadikan lewat pahatan-pahatan foto sejarah yang bernilai tinggi yang dipajangkan disetiap dinding sekolah, di museum-museum atau diberbagai tempat lainnya.

Pada akhirnya, kita semua setuju (suka atau tidak suka) bahwa, sejarah dan seni dapat direpresentasikan dalam bentuk foto kenangan masa lalu yang bernilai historis. Jika tak percaya, datanglah ke museum-museum, tempat-tempat bersejarah, atau cagar budaya yang memanjangkan foto-foto tentang ingatan masa lampau, lalu silahkan Anda merenungkannya, mengapa mereka melakukan hal itu?

Image result for Chaerol Riezal
Image result for Chaerol Riezal

Foto bukanlah deretan peristiwa yang pernah terjadi di muka bumi ini. Ia hanyalah satu cuplikan dari sepersekian detik peristiwa dengan tampak yang besar. Tetapi, foto adalah salah satu bukti untuk mengungkapkan sebuah peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu. Tanpa foto, baik yang berada di museum atau ditempat koleksi lainnya, kisah dan peristiwa sejarah yang telah diungkapkan sedemikian banyak itu lambat laun akan menjadi dongeng belaka. Itulah sebabnya mengapa muncul sebuah pernyataan dikalangan sejarawan; No Document, No History(tidak ada dokumen, tidak ada sejarah).

Foto adalah cukilan dari sebuah kisah, yang membuat narasi sejarah menjadi semakin indah dan nyata. Tak perlu ada seseorang untuk mengubah dan merekayasanya, karena cerita sudah terlanjur dituliskan. Semoga !

Selesai.

Minggu, 12 Maret 2017.

= = = = = = =

**Chaerol Riezal (penulis), merupakan Mahasiswa Pendidikan Sejarah, dan pernah dikejutkan oleh foto-foto sejarah di sebuah museum dan foto-foto yang di potret langsung oleh sang fotografer. Kejutan-kejutan tersebut menyadarkan sekaligus mengilhami penulis untuk mengatakan betapa berharganya akan sebuah foto sejarah, karena ia dapat mengisahkan ulang sejarah lewat foto tersebut. Di samping itu, penulis juga sudah sejak lama meyakini betapa pentingnya menjaga keberlangsungan hidup sebuah sejarah, sebab jika sejarah tidak dijaga maka akan menjadi dongeng belaka sebelum tidur. Email: chaerolriezal@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun