Mohon tunggu...
Triboy Mustika
Triboy Mustika Mohon Tunggu... Penulis - Rahasia

Enggak ada yang spesial. Biasa aja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapak Hanya Butuh Teman Bicara

13 Februari 2023   16:50 Diperbarui: 13 Februari 2023   16:57 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan ke Pasaman siang ini terasa berbeda. Mungkin bisa dikatakan istimewa.

Di depan bangku yang saya duduki, seorang Bapak tua terlihat resah. Berkali-kali saya mendapati dia menoleh ke sekeliling.

Sesekali, mata kami bersirobok. Dia melempar senyum yang saya balas dengan anggukan sopan.

Tidak berapa lama dia menerima panggilan telepon. Sebuah ponsel android berukuran 5 inci yang bisa saya pastikan dia gunakan hanya untuk sekadar menerima telepon dan video call.

Saya tidak tahu apa yang sedang dia perbincangkan di telepon. Bahasanya tidak saya mengerti dan mungkin bahasa daerah lain. Sangat asing di telinga saya.

Lagian, saya tersadar ketika hati kecil saya protes, apa hak saya mencuri dengar pembicaraan orang lain? Benar-benar tidak sopan.


Saya memutuskan untuk tidak memedulikan bapak tua di depan saya.

Tidak berapa lama dia selesai menerima panggilan telepon. Saya kembali melihatnya menatap sekeliling. Seakan-akan dia sedang mencari atau menunggu seseorang.

Bus yang saya tumpangi masih belum melaju, walau sudah setengah jam saya berada di dalamnya.

"Ke mana, Dek?"

Saya yang sedang melamun, sesaat tersentak mendengar sapaan si bapak tua. Dia sengaja menoleh ke belakang hanya untuk bertanya.

"Mau ke Pasaman, Pak,." Saya menjawab sopan dan tersenyum.

Bukankah dalam setiap pertemuan dengan orang baru sopan dan senyum adalah senjata untuk bisa akrab.

"Oh, sama. Bapak juga mau ke Pasaman."

Mata bapak itu menghilang ketika dia tertawa kecil. Wajahnya terlihat tulus. Namun, matanya tidak bisa berdusta kalau dia sedang gelisah.

"Apa bapak bisa duduk sebangku denganmu?" Dia bertanya dengan suara tertahan dan nada meragu.

"Ih, tentu saja bisa, Pak. Bapak bebas mau duduk dengan siapa saja."

"Bapak hanya butuh teman ngobrol. Enam jam yang akan kita tempuh. Bapak tidak mau mati dalam kebosanan. Apakah ananda tidak keberatan?"

Saya tergelak di dalam hati. Bapak ini sungguh sopan. Dia tentu tidak ingin membuat saya merasa tidak nyaman.

"Kebanyakan anak muda enggan duduk dekat orang tua. Apalagi kalau sampai ditanya-tanya." Dia mengempaskan pantatnya di kursi di samping saya.

Bau khas orang tua. Kalian tentu tahu seperti apa, bukan? Setelan batik yang dia gunakan seperti sudah lama tidak dia kenakan. Masih tersisa bau lemari kayu di mana baju tersebut tersimpan. Kopiah tua yang mungkin enggan beranjak dari kepalanya.

"Mungkin anak muda seperti itu yang masih belum laku, Pak. Berharap bisa menemukan pasangan yang asyik di dalam bus. Bapak waktu muda pasti juga pernah merasakannya, bukan?"

Dia terbahak. Giginya sudah tidak utuh lagi.

"Apakah itu berarti ananda sudah punya pasangan hidup?" Mata tuanya terlihat kelabu. Entah sudah berapa banyak hal buruk dan hal baik yang dia lihat. Namun, saya yakin, hidup laiknya manusia lain,  tentu banyak hikmah yang kadang tidak perlu ditulis, tetapi bisa dipelajari dari mata yang memendam sejuta pengalaman.

"Alhamdulillah, Pak. Saya sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Kebetulan saya harus berpisah jarak dengan mereka. Saya di Padang dan anak istri saya di Pasaman."

Lancar sekali lidah saya menyampaikan hal itu. Padahal saya seharusnya menahan diri agar kehidupan pribadi saya tidak terekspos.

Dia menatap saya. Dahinya mengernyit. Saya tahu dia pasti penasaran dan akan bertanya kenapa saya sampai berjauhan dengan anak dan istri saya.

Nyatanya, dia bungkam sesaat. Menghela napas berat. Dia memegang bahu saya. "Ananda sangat hebat. Berpisah demi memenuhi kebutuhan anak dan istri tentu tidaklah mudah. Namun, kalau belum ada terlihat jalan yang lebih baik dan hanya ini satu-satunya jalan, maka jalanilah dengan ikhlas. Insha Allah, ada keberkahan yang menanti. Tetaplah semangat dan jauhi kesedihan hati."

Saya sangat terharu mendengarnya. Kesedihan hati. Dia sangat tahu kalau saya merasakan ini saban hari. Saya mengucapkan terima kasih atas nasehatnya.

"Yang harus ananda ketahui, kesedihan adalah sumber penyakit. Kesedihan akan mematikan akal dan pikiran. Jadi, kontrollah hati dan pikiran ananda ketika kesedihan datang menjelang."

Akh, kenapa dia bisa masuk jauh ke dalam hati saya? Bukankah kesedihan yang selama ini memenuhi ruang jiwa saya? Sampai saya terkadang tidak bisa berpikir dengan jernih. Saya selalu tenggelam dengan masa lalu, dan pusing dengan masa depan.

"Hidupmu adalah hari ini, Nak. Hari kemarin sudah mati. Ananda tidak perlu lagi memikirkan sesuatu yang tidak mungkin diubah. Besok adalah misteri. Kenapa harus tegang memikirkannya? Hadapi hari sekarang. Satu per satu. Selesaikan masalahmu, pekerjaanmu, satu per satu, dan hiduplah dalam waktu yang terbatas. Dengan begitu, ananda akan hidup lebih baik ke depannya."

Mahsya Allah, Subhanallah. Saya tidak tahu harus berkata apa dan menanggapi bagaimana. Yang keluar dari mulut lelaki tua itu adalah kebenaran. Kebenaran yang selama ini saya cari.

Bagaimana saya bisa berkata kalau dia resah dan gelisah. Padahal sayalah yang resah. Sayalah yang gelisah. Sayalah yang mengharapkan  dia untuk duduk di dekat saya. Sayalah yang mengharapkan dia untuk membagi ilmunya tentang menghadapi hidup. Tentang menata hati dan perasaan yang hancur.

Dia tersenyum sebelum akhirnya memutuskan untuk menutup mata. Wajah tuanya terlihat tanpa beban. Bahkan, begitu bercahaya dan bersih. Kenapa tadi saya melihat wajahnya muram dan matanya resah?

Saya juga tertidur ketika kendaraan yang saya tumpangi kian melaju membelah jalanan yang sunyi. Angin berembus merayu-rayu memberatkan mata.

Ketika saya terjaga, sosok tua itu sudah tidak ada lagi. Saya sampai heran. Karena ke Pasaman masih jauh. Kenapa sosoknya menghilang begitu saja. Saya mencoba mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada terlihat sosok tuanya.

Saya merasa kehilangan. Ada kesedihan yang menyelinap di relung hati saya.

Pantulan kaca jendela membuat saya sontak terkejut. Di kaca itu saya melihat sosok pria tua itu tersenyum manis. Dari yang awalnya jelas, bayangannya lalu memudar kemudian kembali membentuk seraut wajah.

Dan wajah itu wajah saya.

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun