"Visit, Papa!" jawab Dirga dengan nada tegas namun berusaha tetap tenang. "Ini masih jam kerjaku. Kinan sudah stabil, ada perawat juga di depan pintu kamarnya."
Lelaki yang dipanggil "Papa" itu tampak kehilangan tenaga. Amarahnya perlahan mereda, tergantikan rasa lelah yang jelas terlihat dari gerak tubuhnya. Ia berjalan perlahan ke arah ranjang Anna dan duduk di ujungnya. Wajahnya tidak lagi menunjukkan amarah, hanya kekhawatiran yang dalam.
Anna memperhatikan interaksi mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Nama itu lagi---Kinan. Tapi kenapa mereka terus memanggilnya begitu? Dan kenapa lelaki berbaju batik itu terlihat begitu khawatir, seolah ia adalah bagian penting dari hidupnya?
"Papa, tolong tenang. Kondisi Kinan sudah jauh lebih baik," ujar Dirga sambil mendekati ranjang. Ia memeriksa alat-alat yang terhubung pada tubuh Anna, memastikan semuanya berfungsi normal.
Anna mencoba membuka mulutnya, ingin sekali bertanya, Siapa kalian? Apa yang terjadi? Tapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Ia merasa seperti orang asing di tengah-tengah kehidupan ini---kehidupan yang tampaknya bukan miliknya.
"Kenapa dia belum bicara?" tanya lelaki yang dipanggil Papa, suaranya melemah, hampir seperti bisikan.
"Masih syok, Pa. Kinan hanya butuh waktu untuk pulih. Semua fungsi tubuhnya normal, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jawab Dirga dengan nada meyakinkan.
Namun, jawaban itu tidak cukup bagi Anna. Di dalam hatinya, ribuan pertanyaan mengalir deras, memenuhi pikirannya yang lelah. Siapa sebenarnya KINAN? Dan kenapa mereka memanggil Anna dengan sebutan "Kinan"?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI