Mohon tunggu...
Razak ARK
Razak ARK Mohon Tunggu... -

Ngalap pelajaran dari cerita di Negeri Beton

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Negeri Beton: Hanya Rp 400 Ribu, Seharusnya Negara (Bisa) Subsidi Asuransi TKI

30 Oktober 2014   08:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:12 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kalau bensin untuk orang kaya saja disubsidi Negara, kenapa pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri tidak mau disubsidi?"

Tiba-tiba, saya teringat lontaran kalimat Bapak Hari Budiarto, diplomat yang pernah menjabat Konsul Konsuler di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, itu. Pernyataan menggugat tersebut pernah dimuat di Tabloid Apakabar Plus, media dwimingguan berbahasa Indonesia di Hong Kong, awal Oktober 2013 silam.

Negara menyubsidi biaya pengiriman pekerja migran Indonesia (baca: TKI) ke luar negeri?

Dalam konteks Hong Kong, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 98 Tahun 2012 menetapkan biaya penempatan TKI ke Negeri beton yang harus ditanggung majikan sebesar HK$11,179 (jika TKI dari Jawa) dan HK$13,906 (jika TKI dari luar Jawa). Sedangkan TKI menanggung biaya penempatan sebesar Rp14.780.400.

Dari Permenakertrans itu terlihat jelas, tak ada "campur tangan" Pemerintah atau Negara dalam pembiayaan penempatan TKI ke luar negeri!

Sebetulnya, jika mau, Negara bisa melakukannya. Meskipun tidak membebaskan TKI dari seluruh beban biaya penempatan, setidaknya dapat membantu meringankan beban yang sangat besar tersebut.

Misalnya, Negara menanggung biaya Asuransi Perlindungan TKI yang menjadi salah satu komponen biaya yang harus ditanggung TKI dalam struktur biaya penempatannya ke luar negeri. Toh, angkanya hanya sebesar Rp400.000.

Artinya, Negara hanya membayar Rp400.000 untuk perlindungan seorang warganya yang bekerja di luar negeri, selama dua tahun. Bukan angka yang luar biasa, bukan?

Haruskah Negara melakukan itu?

Jawabnya: ya, harus!

Mengapa harus?

Sebab, bagi kebanyakan warga Indonesia, dari berbagai pelosok desa dan dusun, menjadi TKI ke luar negeri adalah keterpaksaan. Mereka terpaksa menjadi TKI karena Negara tidak mampu menjamin akses kepada pendidikan murah dan layak yang menjadi hak mereka sebagai warga negara. Dengan menyandang pendidikan tak memadai, mereka kesulitan (atau mungkin mustahil) bersaing mendapatkan pekerjaan di Tanah Air.

Mereka juga terpaksa menjadi TKI karena Negara tak mampu menyediakan lapangan kerja dengan upah yang pantas di dalam negeri.

Mereka terpaksa menjadi TKI sebagai ikhtiar untuk memerdekakan diri dan keluarga dari derita kemiskinan yang belum mampu dientaskan Negara.

Maka ketika mereka akhirnya memutuskan menjadi TKI, sudah seharusnya Negara menjamin perlindungan mereka selama di luar negeri, serta berbuat semampunya untuk memfasilitasi dan meringankan beban biaya penempatannya.

Di luar itu, ada sebab lain; Jutaan TKI diakui mampu mendongkrak perekonomian keluarga di kampung halaman. Bukan hanya mampu mengatrol daya beli masyarakat pedesaan, tempat asal mayoritas TKI, namun bahkan mampu membuka lapangan pekerjaan.

Lagian, dengan hanya membayar Rp400.000 per orang per dua tahun, Negara menegaskan kesungguhan melindungi warganya di luar negeri. Dengan menyubsidi biaya Asuransi Perlindungan TKI, Negara sekaligus menepis tudingan: "lagu asuransi sengaja dilantunkan Negara bersama pengusaha untuk memeras TKI."

Jadi, kalau Negara mau menyubsidi bensin untuk orang kaya agar bisa "berkontribusi" membuat macet dan memanjakan diri di jalan, mengapa Negara enggan memberikan subsidi Rp400.000 per dua tahun untuk perlindungan seorang TKI yang ingin berjuang membebaskan diri dan keluarganya dari jerat kemiskinan?

#Ini cerita dari Negeri Beton. Cerita tentang ratusan ribu pekerja migran Indonesia yang sedang berjuang memperbaiki nasib. Merantau, terpaksa berjarak dari orang-orang tercinta dan segala entitas penuh nostalgia di kampung halaman. Cerita tentang bulir-bulir amarah, kecemasan, keputusasaan, kebingungan, kesengsaraan, kegalauan, sekaligus kebanggaan, kepuasan, kebahagiaan, sekaligus harapan yang menjadi satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun