Pendekatan ini terbukti di Kerala (India): kaderisasi pemuda melalui "democracy clubs" meningkatkan partisipasi warga 35% (UNESCO, 2022).*
3. Merevisi UU Otonomi Daerah untuk Memperkuat Akuntabilitas
Pemerintah pusat harus menghapus klausul yang memungkinkan kepala daerah mengontrol DPRD, seperti penghapus hak interpelasi yang sering diabaikan. Selain itu, alokasi dana desa perlu diatur lebih ketat untuk mencegah penyelewengan. Tanpa perubahan regulasi yang berani, otonomi daerah akan terus menjadi ajang balas budi kepentingan politik.
Penerapan "performance-based budgeting" ala Denmark bisa jadi acuan: alokasi anggaran daerah dikaitkan dengan capaian indeks tata kelola (OECD, 2023).*
Bukan untuk Raja tetapi untuk Rakyat.
Fenomena "raja kecil" adalah alarm kritis bagi Indonesia. Jika dibiarkan, demokrasi kita akan terjebak dalam democratic backsliding yang menggerus kepercayaan publik. Sebagai negara yang berideologi Pancasila, kita harus berani bertanya: Untuk siapa otonomi daerah sebenarnya diperjuangkan?Bukan untuk memperkaya segelintir elit, melainkan untuk mewujudkan *masyarakat adil dan makmur* yang diamanatkan UUD 1945.
Tantangan terbesar bukan pada sistem, tetapi pada kemauan politik untuk berubah. Jika masyarakat, pemerintah, dan lembaga penegak hukum bersatu, "raja kecil" bisa digantikan oleh pemimpin yang rendah hati, transparan, dan benar-benar melayani. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sejati hanya mungkin lahir ketika rakyat berhenti menjadi penonton, dan berani menjadi aktor utama sejarahnya sendiri.
Fenomena "raja kecil" mengonfirmasi tesis Levitsky & Ziblatt (2018) tentang "kematian demokrasi secara perlahan": ketika norma demokrasi (mutual tolerance dan institutional forbearance) runtuh, otoritarianisme tumbuh subur di celah prosedural demokrasi.
Fenomena “raja kecil” di wilayah otonomi daerah adalah peringatan serius bagi Indonesia. Jika dibiarkan, demokrasi kita akan mengalami kemunduran yang merusak kepercayaan publik. untuk siapa sebenarnya otonomi daerah diperjuangkan? Bukan untuk memperkaya segelintir elit, melainkan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Tantangan terbesar terletak bukan pada sistem formal, melainkan pada kemauan politik untuk berubah. Ketika masyarakat, pemerintah, dan lembaga penegak hukum bersinergi, “raja kecil” dapat digantikan oleh pemimpin yang rendah hati, transparan, dan benar-benar melayani. Pada akhirnya, demokrasi sejati hanya lahir ketika rakyat berhenti menjadi penonton dan berani menjadi aktor utama dalam perjalanan sejarahnya sendiri.
Fenomena “raja kecil” menguatkan tesis Levitsky dan Ziblatt (2018) tentang kematian demokrasi secara perlahan—ketika norma-norma demokrasi, yaitu toleransi bersama dan pengekangan kelembagaan, runtuh, celah prosedural akan menjadi panggung subur bagi otoritarianisme.