Mohon tunggu...
DR. M Iqbal J Permana
DR. M Iqbal J Permana Mohon Tunggu... Peminat ilmu Ekonomi industri dan kebudayaan

Seorang pembelajar ilmu ekonomi yang tertarik dengan revolusi digital 4.0, marketing 6,0 dan utilitarianisme kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Paradox Raja Kecil : Meredupnya demokrasi di Era otonomi daerah

11 Agustus 2025   10:15 Diperbarui: 11 Agustus 2025   10:14 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raja raja di era masa lalu : sumber istimewa

PARADOKS "RAJA KECIL"   : MEREDUPNYA API DEMOKRASI  DI ERA OTONOMI  DAERAH

Dahulu Era 90 an saya mempunyai teman teman yang selalu menyuarakan Demokrasi dalam setiap dialog atau diskusi, sampai sempat mendirikan sekolah Demokrasi,  hari ini apinya mulai padam dan redup, apakah karena faktor u atau karena kalah dalam melawan kekuasaan oligarki, saya coba menambakan sepotong arang atau kayu bakar  dengan tulisan di bawah ini untuk menghiupkan lagi semangat demokrasi.Otonomi daerah, yang diamanatkan dalam UU No. 23/2014, lahir sebagai harapan untuk memperkuat partisipasi masyarakat dan mempercepat pembangunan berbasis lokal. Namun, ironisnya, kebijakan ini justru melahirkan fenomena "raja kecil"—pemimpin daerah yang berkuasa layaknya monarki absolut dalam sistem demokrasi.

 Fenomena ini bukan sekadar anomali administratif, melainkan cermin krisis demokrasi yang sistemik di Indonesia.

"raja kecil" bukan hanya persoalan moral individu, tetapi buah dari struktur kekuasaan yang rapuh, kesadaran politik masyarakat yang minim, dan pengawasan yang mandul. Secara teoretis, ini mencerminkan kegagalan "democratic consolidation" (Linz & Stepan, 1996) di level lokal, di mana institusi demokrasi ada namun dikooptasi oleh patronase.

 Tanpa intervensi kritis, otonomi daerah akan terus menjadi alat legitimasi bagi praktik otoritarianisme berbalut demokrasi.  

Ketika Otonomi Menjadi "Otoritarianisme Terstruktur
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemberian kewenangan luas kepada daerah justru dimanfaatkan untuk membangun *kultus kekuasaan*. Berikut tiga realitas yang patut disorot:  

1. Kekuasaan Menggerus Partisipasi.

 Dalam praktiknya, banyak kepala daerah mengabaikan prinsip checks and balances dengan mengendalikan DPRD, LSM, hingga media lokal. Contohnya, di beberapa daerah, aspirasi masyarakat dianggap "gangguan" yang harus dikendalikan, contoh terbaru tentang protes warga di Kabupaten tentang kenaikan pbb menjadi 250 persen, atau banyak contoh lainnya berseliweran di sosial media.   Hal  ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan strategi sadar untuk mempertahankan kekuasaan. Fenomena ini sejalan dengan teori "local state corporatism" (Oi, 1992) di mana elit daerah mengkonsolidasikan kekuasaan melalui kontrol sumber daya ekonomi dan politik.

2. Otoriter yang Terlembagakan.
   Kepala daerah kerap menggunakan instrumen hukum daerah (Perda) untuk membungkam kritik. Di Nusa Tenggara Barat (2022), seorang aktivis dituntut pidana karena mengkritik kebijakan reklamasi pantai—bukti nyata bahwa demokrasi lokal telah dikorbankan demi kepentingan elit. Yang memprihatinkan, masyarakat justru terbiasa dengan pola ini karena menganggapnya "wajar" dalam tradisi kepemimpinan Jawa atau adat setempat.

Data SETARA Institute (2023) menunjukkan 47% Perda di Indonesia bermasalah, dengan 22% digunakan untuk kriminalisasi kritik—menguatkan tesis "hukum sebagai alat kekuasaan".

3. Korupsi  "Biaya Politik" yang Dianggap Normal

   Data KPK (2023) mencatat 65% kasus korupsi melibatkan kepala daerah, dengan modus pengalokasian anggaran fiktif dan suap proyek. Ironisnya, masyarakat sering memaklumi praktik ini dengan dalih "bagi hasil" untuk memenangkan pilkada. **Penulis menilai, korupsi di level daerah telah menjadi *sistem* yang saling menguntungkan antara pemimpin, birokrat, dan elit politik.

Studi LPEM UI (2024) mengkonfirmasi: setiap kenaikan 1% alokasi dana desa, risiko korupsi meningkat 2.3%—memperlihatkan kerapuhan sistem akuntabilitas.

Mengapa "Raja Kecil" Terus Berkuasa?
Fenomena ini tidak muncul dalam ruang hampa.

1. Demokrasi yang "Dipaksa Tumbuh" Tanpa Akar Kuat

   Otonomi daerah diterapkan pasca-Reformasi tanpa persiapan memadai. Masyarakat, yang sebelumnya terasing dari politik era Orde Baru, belum siap menjadi *stakeholder* aktif. 

Demokrasi Indonesia seperti pohon yang ditanam di tanah gersang: strukturnya ada, tetapi akarnya rapuh karena kurangnya edukasi politik sejak dini.

Teori "institutional void" (Khanna & Palepu, 1997) menjelaskan hal ini: ketiadaan mekanisme kontrol yang matang membuat kekuasaan mudah terpusat.

2. Pengawasan DPR  di Tengah Arus Otonomi  

   DPRD dan lembaga anti-korpusi seringkali "kolaps" karena ketergantungan anggaran pada eksekutif daerah. Di banyak kasus, inspektorat daerah justru menjadi alat untuk mengkriminalisasi pegawai yang tidak loyal.

Fakta ini menegaskan bahwa pengawasan formal tanpa independensi hanyalah *lip service* yang memperkuat hegemoni "raja kecil".

Penelitian ICW (2023) menemukan 72% anggota DPRD di Jawa Timur mengakui sulit mengawasi eksekutif karena intervensi partai penguasa.

3. Politik Identitas
   Dalam pilkada, calon kepala daerah lebih sering memenangkan suara melalui politik uang, primordialisme, atau pencitraan religius, bukan program kerja. Masyarakat pun cenderung memilih berdasarkan faktor emosional, bukan kapasitas kepemimpinan. sebagai kegagalan sistemik dalam membentuk political literacy yang kritis.

 Survei LSI (2024) membuktikan: 68% pemilih memilih berdasarkan "kedekatan emosional", sementara hanya 19% yang menilai rekam jejak kebijakan. Tetapi terkadang banyak juga masyarakat yang meragukan hasil pooling atau survey oleh lembaga survey sebagai produk pesanan untuk menggiring opini publik.

Menuju Otonomi Daerah yang Benar-Benar Berdaulat

Mengatasi "raja kecil" memerlukan langkah revolusioner, bukan sekadar perbaikan teknis. Berikut usulan strategis dari perspektif penulis, *diperkaya bukti keberhasilan lokal*:  

1. Membangun Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat.

 Perkuat peran watchdog lokal seperti forum RT/RW dan komunitas digital untuk memantau APBD.

 Contohnya, aplikasi Lapor Bupati di Kabupaten Banyuwangi perlu diadopsi nasional dengan jaminan perlindungan hukum bagi pelapor. Tanpa partisipasi aktif warga, pengawasan hanyalah mimpi di siang bolong.  Model "social accountability" ini sukses di Bojonegoro: partisipasi warga dalam audit APBD mengurangi kebocoran anggaran hingga 40% (World Bank, 2023).

2. Reformasi Pendidikan Politik dari Tingkat Dasar

Integrasi materi demokrasi, anti-korupsi, dan hak asasi manusia ke kurikulum sekolah harus diwajibkan. Makanya ide sekolah Demokrasi yang pernah dirancang, menjadi sangat relevan,  untuk memberikan  asupan krpada masya rakat  agar  melek demokrasi.  

Selain itu, program village democracy school perlu digencarkan di desa-desa untuk membangun kesadaran kolektif.

 Saya yakin, generasi yang paham hak politiknya tidak akan mudah ditipu oleh janji kosong "raja kecil".

Pendekatan ini terbukti di Kerala (India): kaderisasi pemuda melalui "democracy clubs" meningkatkan partisipasi warga 35% (UNESCO, 2022).*  

3. Merevisi UU Otonomi Daerah untuk Memperkuat Akuntabilitas

Pemerintah pusat harus menghapus klausul yang memungkinkan kepala daerah mengontrol DPRD, seperti penghapus hak interpelasi yang sering diabaikan. Selain itu, alokasi dana desa perlu diatur lebih ketat untuk mencegah penyelewengan. Tanpa perubahan regulasi yang berani, otonomi daerah akan terus menjadi ajang balas budi kepentingan politik. 

Penerapan "performance-based budgeting" ala Denmark bisa jadi acuan: alokasi anggaran daerah dikaitkan dengan capaian indeks tata kelola (OECD, 2023).*  

Bukan  untuk Raja tetapi untuk Rakyat.

Fenomena "raja kecil" adalah alarm kritis bagi Indonesia. Jika dibiarkan, demokrasi kita akan terjebak dalam democratic backsliding yang menggerus kepercayaan publik. Sebagai negara yang berideologi Pancasila, kita harus berani bertanya: Untuk siapa otonomi daerah sebenarnya diperjuangkan?Bukan untuk memperkaya segelintir elit, melainkan untuk mewujudkan *masyarakat adil dan makmur* yang diamanatkan UUD 1945.  

Tantangan terbesar bukan pada sistem, tetapi pada kemauan politik untuk berubah. Jika masyarakat, pemerintah, dan lembaga penegak hukum bersatu, "raja kecil" bisa digantikan oleh pemimpin yang rendah hati, transparan, dan benar-benar melayani. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sejati hanya mungkin lahir ketika rakyat berhenti menjadi penonton, dan berani menjadi aktor utama sejarahnya sendiri.

Fenomena "raja kecil" mengonfirmasi tesis Levitsky & Ziblatt (2018) tentang "kematian demokrasi secara perlahan": ketika norma demokrasi (mutual tolerance dan institutional forbearance) runtuh, otoritarianisme tumbuh subur di celah prosedural demokrasi.

Fenomena “raja kecil” di wilayah otonomi daerah adalah peringatan serius bagi Indonesia. Jika dibiarkan, demokrasi kita akan mengalami kemunduran yang merusak kepercayaan publik. untuk siapa sebenarnya otonomi daerah diperjuangkan? Bukan untuk memperkaya segelintir elit, melainkan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Tantangan terbesar terletak bukan pada sistem formal, melainkan pada kemauan politik untuk berubah. Ketika masyarakat, pemerintah, dan lembaga penegak hukum bersinergi, “raja kecil” dapat digantikan oleh pemimpin yang rendah hati, transparan, dan benar-benar melayani. Pada akhirnya, demokrasi sejati hanya lahir ketika rakyat berhenti menjadi penonton dan berani menjadi aktor utama dalam perjalanan sejarahnya sendiri.

 Fenomena “raja kecil” menguatkan tesis Levitsky dan Ziblatt (2018) tentang kematian demokrasi secara perlahan—ketika norma-norma demokrasi, yaitu toleransi bersama dan pengekangan kelembagaan, runtuh, celah prosedural akan menjadi panggung subur bagi otoritarianisme.

Benar  waktu mengubah segalanya, ketika semua tokoh muda itu dulu sudah masuk dalam kekuasaan semua berubah. Yang lebih parah adalah diamnya orang orang pintar yang dulu menggebu gebu tentang demokrasi untuk rakyat, bukan demokrasi untuk raja raja kecil. Saya menggugah kembali Sekolah Demokrasi yang pernah bergulir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun