3. Politik Identitas
  Dalam pilkada, calon kepala daerah lebih sering memenangkan suara melalui politik uang, primordialisme, atau pencitraan religius, bukan program kerja. Masyarakat pun cenderung memilih berdasarkan faktor emosional, bukan kapasitas kepemimpinan. sebagai kegagalan sistemik dalam membentuk political literacy yang kritis.
 Survei LSI (2024) membuktikan: 68% pemilih memilih berdasarkan "kedekatan emosional", sementara hanya 19% yang menilai rekam jejak kebijakan. Tetapi terkadang banyak juga masyarakat yang meragukan hasil pooling atau survey oleh lembaga survey sebagai produk pesanan untuk menggiring opini publik.
Menuju Otonomi Daerah yang Benar-Benar Berdaulat
Mengatasi "raja kecil" memerlukan langkah revolusioner, bukan sekadar perbaikan teknis. Berikut usulan strategis dari perspektif penulis, *diperkaya bukti keberhasilan lokal*: Â
1. Membangun Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat.
 Perkuat peran watchdog lokal seperti forum RT/RW dan komunitas digital untuk memantau APBD.
 Contohnya, aplikasi Lapor Bupati di Kabupaten Banyuwangi perlu diadopsi nasional dengan jaminan perlindungan hukum bagi pelapor. Tanpa partisipasi aktif warga, pengawasan hanyalah mimpi di siang bolong.  Model "social accountability" ini sukses di Bojonegoro: partisipasi warga dalam audit APBD mengurangi kebocoran anggaran hingga 40% (World Bank, 2023).
2. Reformasi Pendidikan Politik dari Tingkat Dasar
Integrasi materi demokrasi, anti-korupsi, dan hak asasi manusia ke kurikulum sekolah harus diwajibkan. Makanya ide sekolah Demokrasi yang pernah dirancang, menjadi sangat relevan,  untuk memberikan  asupan krpada masya rakat  agar  melek demokrasi. Â
Selain itu, program village democracy school perlu digencarkan di desa-desa untuk membangun kesadaran kolektif.
 Saya yakin, generasi yang paham hak politiknya tidak akan mudah ditipu oleh janji kosong "raja kecil".