Data KPK (2023) mencatat 65% kasus korupsi melibatkan kepala daerah, dengan modus pengalokasian anggaran fiktif dan suap proyek. Ironisnya, masyarakat sering memaklumi praktik ini dengan dalih "bagi hasil" untuk memenangkan pilkada. **Penulis menilai, korupsi di level daerah telah menjadi *sistem* yang saling menguntungkan antara pemimpin, birokrat, dan elit politik.
Studi LPEM UI (2024) mengkonfirmasi: setiap kenaikan 1% alokasi dana desa, risiko korupsi meningkat 2.3%—memperlihatkan kerapuhan sistem akuntabilitas.
Mengapa "Raja Kecil" Terus Berkuasa?
Fenomena ini tidak muncul dalam ruang hampa.
1. Demokrasi yang "Dipaksa Tumbuh" Tanpa Akar Kuat
  Otonomi daerah diterapkan pasca-Reformasi tanpa persiapan memadai. Masyarakat, yang sebelumnya terasing dari politik era Orde Baru, belum siap menjadi *stakeholder* aktif.Â
Demokrasi Indonesia seperti pohon yang ditanam di tanah gersang: strukturnya ada, tetapi akarnya rapuh karena kurangnya edukasi politik sejak dini.
Teori "institutional void" (Khanna & Palepu, 1997) menjelaskan hal ini: ketiadaan mekanisme kontrol yang matang membuat kekuasaan mudah terpusat.
2. Pengawasan DPR Â di Tengah Arus Otonomi Â
  DPRD dan lembaga anti-korpusi seringkali "kolaps" karena ketergantungan anggaran pada eksekutif daerah. Di banyak kasus, inspektorat daerah justru menjadi alat untuk mengkriminalisasi pegawai yang tidak loyal.
Fakta ini menegaskan bahwa pengawasan formal tanpa independensi hanyalah *lip service* yang memperkuat hegemoni "raja kecil".
Penelitian ICW (2023) menemukan 72% anggota DPRD di Jawa Timur mengakui sulit mengawasi eksekutif karena intervensi partai penguasa.