Mohon tunggu...
DR. M Iqbal J Permana
DR. M Iqbal J Permana Mohon Tunggu... Peminat ilmu Ekonomi industri dan kebudayaan

Seorang pembelajar ilmu ekonomi yang tertarik dengan revolusi digital 4.0, marketing 6,0 dan utilitarianisme kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Budaya menjilat dalam Pandangan Utilitarianisme Kebudayaan

14 Mei 2025   07:53 Diperbarui: 14 Mei 2025   09:23 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UTILITARIANISME KEBUDAYAAN: Budaya menjilat, memuja dan mengagumiDalam konteks utilitarianisme kebudayaan, yaitu pandangan bahwa budaya seharusnya memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat, bukan sebaliknya, lalu apakah  ketiga perilaku budaya yang berkembang terutama dalam budaya politik di Indonesia saat ini,  "menjilat, mengagumi, dan memuja"
memiliki dampak yang berbeda dalam pengembangan budaya bangsa.  

1. Menjilat:
Berpotensi Merusak Meritokrasi Budaya, biasanya Menjilat lebih sering dikaitkan dengan kepentingan pribadi agar mendapat benefit pribadi,  di mana seseorang memberikan pujian berlebihan untuk mendapatkan keuntungan, apakah posisi atau jabatan, yang seringkali melompati meritokrasi Dalam budaya, perilaku ini berbahaya karena:  

Menghambat inovasi budaya, sebab pujian tidak diberikan berdasarkan nilai objektif dari kinerja objektif seorang pemimpin.

Melahirkan budaya feodalisme, di mana orang yang berkuasa hanya dikelilingi oleh mereka yang setuju tanpa kritik.  

Merusak meritokrasi,
karena prestasi budaya sering dikalahkan oleh hubungan patronase.  

Jika dilihat dari sudut pandang utilitarianisme, menjilat tidak memberikan manfaat besar bagi perkembangan budaya, tetapi justru menghambat kreativitas dan objektivitas, tetapi inilah fakta yang harus kita terima menyuburkannya, atau menghentikannya.

2. Mengagumi:
Mendorong Apresiasi dan Kemajuan Budaya
Mengagumi adalah ekspresi memberikam apresiasi terhadap nilai dan pencapaian budaya dalam masyarakat tanpa motivasi tersembunyi. Dalam utilitarianisme kebudayaan, mengagumi memiliki dampak positif karena:  
Mendorong inovasi budaya, sebab penghormatan terhadap karya dan tokoh besar dapat menginspirasi generasi baru.  

Menguatkan identitas budaya, karena masyarakat menghargai dan terus mengembangkan warisan budaya.  

Meningkatkan akses terhadap budaya, karena pengaguman memicu pelestarian dan edukasi budaya bagi lebih banyak orang, dikagumi karena berjuang mengusir penjajah, dikagumi sebagai pemimpin jujur  sepuluh betul dari soal sepuluh,  bukan pemimpin yang  sepuluh betul dari soal seratus,

Dari perspektif utilitarianisme, mengagumi adalah bentuk penghormatan yang paling berguna bagi pengembangan budaya bangsa, karena meningkatkan nilai objektif tanpa kehilangan kritik konstruktif.  

3. Memuja: Berisiko Menciptakan Fanatisme yang Menghambat Kemajuan, Memuja memiliki intensitas lebih tinggi dibandingkan mengagumi dan sering kali bersifat dogmatis. Apalagi jika memuja itu dibayar, sebagai buzzer untuk mengamplifikasi dukungan dan persespsi posirif.   Dampaknya terhadap budaya bisa sangat negatif karena:  
Menghambat pemikiran kritis, karena pemujaan sering kali menyebabkan seseorang tidak menerima perbedaan pandangan.  
Berpotensi menciptakan eksklusivitas budaya, di mana hanya satu bentuk budaya yang dianggap benar dan yang lain dianggap kurang pantas.  

Menutup ruang inovasi, sebab budaya yang terlalu dipuja bisa menjadi stagnan karena takut terhadap perubahan.  

Dalam utilitarianisme kebudayaan, pemujaan lebih destruktif dibandingkan pengaguman apalagi berlebihan dan menjadi cultus individu, sebab ia berpotensi mempersempit ruang kreatif dan diskusi budaya.  

Mengagumi boleh terutama  
bagi pengembangan budaya bangsa, karena memberikan apresiasi yang sehat dan mendorong inovasi.  
Menjilat tidak berguna dan bahkan merusak perkembangan budaya, sebab ia tidak berlandaskan objektivitas.  
Memuja berlebihan cenderung berpotensi membatasi ruang budaya, karena bisa menciptakan dogma dan menghambat pemikiran kritis.  

Untuk membangun budaya yang maju dan inklusif, masyarakat harus mendorong apresiasi yang sehat, menghindari fanatisme, cultus individu,  serta membuka ruang bagi kritik dan inovasi budaya.

Saran 

Penguatan Meritokrasi Budaya
Promosi Apresiasi Berbasis Prestasi dengan menghindari budaya menjilat dengan menilai karya,  berdasarkan nilai objektif, bukan hubungan atau kepentingan.  


Pendidikan Berbasis Evaluasi Kritis Mengajarkan cara menghargai budaya tanpa fanatisme, dengan membuka ruang diskusi dan refleksi historis.  


Penguatan Literasi Budaya. Membantu masyarakat memahami akar sejarah, filosofi, dan dampak budaya agar penghormatan tidak sekadar emosional.  

Mendorong Apresiasi Sehat 


Kurikulum Berbasis Studi Budaya – Mengintegrasikan studi antropologi, sejarah, dan semiotika dalam pendidikan agar pemahaman terhadap budaya lebih mendalam.  


Penyediaan Ruang Kreatif– Membangun pusat budaya, festival seni, dan komunitas literasi untuk melestarikan nilai-nilai budaya secara aktif.  


Pemanfaatan Teknologi Memanfaatkan AI dan digitalisasi untuk pelestarian budaya melalui arsip digital, platform interaktif, dan dokumentasi terbuka.  

3. Menghindari Fanatisme dan Dogmatisasi Budaya
Penanaman Sikap Kritis terhadap Pemujaan Berlebihan. Mengembangkan pendekatan analitis terhadap figur dan ideologi agar masyarakat tetap mampu berpikir objektif.  

Penguatan Diskusi Terbuka Membudayakan forum ilmiah, seminar kebudayaan, dan debat publik, sehingga masyarakat dapat mempertimbangkan berbagai perspektif.  


Regulasi terhadap Kultus Individu Menghindari penyebaran dogma yang menghambat perkembangan budaya, dengan memastikan informasi yang beredar berbasis fakta dan akademik.  

Melalui pendekatan ini, budaya bangsa bisa berkembang secara inklusif, progresif, dan rasional, tanpa kehilangan identitasnya.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun