Peninggalan purbakala menjadi gambaran betapa sejarah masa lalu perlu dipahami oleh generasi sekarang. Namun, koleksi sejarah purbakala yang kerap disimpan di museum mayoritas enggan untuk dikunjungi banyak orang. Padahal, dengan menyambanginya maka rasa "kepedulian" dan "memilki" tentang sejarah akan muncul kembali.
Kita juga miris ketika museum di Indonesia bak rumah hantu tanpa aktifitas pengunjung. Tidak seperti di luar negeri di mana museum begitu intensdisambangi oleh pengunjung. Padahal, sejatinya koleksi yang disimpan di museum kita lebih "menggigit" untuk dipelajari. Permasalahannya terletak pada kemauan dan keinginan masyarakat untuk memahami masa lalu.
Museum yang menyimpan koleksi sejarah purbakala  masih bisa dihitung dengan jari di Indonesia. Sepertinya, ada 2 museum yang menjadi rujukan berbagai kalangan ilmuwan dan akademisi untuk mengetahui sejarah purbakala Indonesia, yaitu: Museum Sangiran yang terletak di Kabupaten Sragen Jawa Tengah dan Museum Trinil yang terletak di Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Museum tersebut mempunyai koleksi sejarah yang dikenal dunia.

Banyak hal yang menarik ketika saya baru menginjak pelataran Museum Trinil. Tidak dikenakan biaya masuk atau gratis membuat saya bertanya dalam hati. Padahal, dengan memungut tiket masuk yang besarannya bersahabat bisa digunakan pihak museum untuk dana perbaikan sarana gedung dan sebagainya. Menurut beberapa pengurus atau petugas museum yang saya ajak berdiskusi, permasalahan krusial terletak masalah dana yang tidak pernah masuk ke kas museum untuk perbaikan museum ke arah yang lebih baik.
"Buat apa ditarik karcis mas, kalo tak sepeser pun masuk ke kas museum" jawab salah satu karyawan.
"Selama ini, kepedulian Pemda Kabupaten  Ngawi tidak bisa diharapkan setelah kepengurusan museum berpindah dari Provinsi Jatim ke Kabupaten Ngawi" karyawan yang lain menimpali.
Jujur, saat itu saya seperti mau menangis saja. Loh, kemajuan Museum pakai dana siapa? Meskipun, saya menyadari bukanlah  ahli kepurbakalaan. Tetapi, memandang pentingnya sejarah purbakala buat generasi masa depan sangatlah penting, kesinambungan operasional Museum Trinil harus tetap berlanjut. Saya sendiri sempat melihat kondisi salah satu atap atau langit-langit museum yang perlu mengalami perbaikan.
Bahkan, jika tidak terurus untuk 5 tahun ke depan maka kondisi Museum Ngawi seperti hidup segan mati tak mau. Lantas, ke mana generasi penerus khususnya masyarakat Ngawi akan mencari data kepurbakalaan. Haruskah ke kota tetangga Sragen yang telah mengantongi predikat pengakuan dari UNESCO?. Padahal, tepian Sungai Bengawan Solo di mana Museum Trinil berada adalah sebuah kawasan situs yang tidak bisa dibeli dengan uang. Sungguh, tiada ternilai harganya! Â
Sebagai informasi, keberadaan Museum Trinil adalah buah dari kepedulian anak bangsa tentang peninggalan masa lalu. Museum Trinil menempati areal kurang lebih 2,5 Ha. Untuk menjangkau ke lokasi, anda bisa menempuh perjalanan dari Kota Ngawi yang berjarak kurang lebih 15 km. Dari jalan raya Ngawi -- Solo, anda menuju ke arah utara kurang lebih 3 km. Dan, Museum Trinil terletak tepatnya di Dsn. Pilang Ds. Kawu Kecamatan Kedunggalar Ngawi Jawa Timur.
Perlu diketahui bahwa nama Trinil merupakan kawasan yang banyak ditemukan fosil dan menjadi objek penelitian Eugene Dubois meliputi  3 desa yaitu: Kawu, Gemarang dan Ngancar. Penelitian yang dilaksanakan di kawasan ini meliputi 3 tahap yaitu:
- Tahun 1889-1909, hasil temuan disimpan di Belanda.
- Tahun 1931-1941, hasil temuan disimpan di Frankfurt Jerman.
- Tahun 1952-1976, hasil temuan disimpan di Museum Palaeoantropology Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Menurut sejarah menyatakan bahwa berdirinya Museum Trinil tidak terlepas dari jasa seorang Wirodiharjo (Wirobalung) sejak tahun 1967 yang mempunyai gagasan untuk mengumpulkan fosil yang sering dijumpai di tepian Sungai Bengawan Solo dan disimpan di rumahnya. Selanjutnya, pada tahun 1980/1981, Pemda memfasilitasi dengan membangun Museum Mini untuk menyimpan fosil-fosil yang disimpan oleh Wiradiharjo (almarhum) tersebut. Tahun 1981, Pemerintah Provinsi membangun museum Trinil yang bertepatan dengan 100 tahun penemuan Phitecanthropus Erectus dan diresmikannya oleh Gubernur Jatim Soelarso pada tanggal  20 November 1991.



"Mas, kalo ada dana dan pemerintah daerah serius untuk mngadakan penggalian lagi di sungai bengawan Solo, bisa ditemukan lagi berbagai macam fosil" terangnya.Â
Oh, ya? Saya benar-benar kaget. Sungguh, lokasi situs yang harus tetap terjaga. Â Tentunya, membutuhkan kepedulian, pengawasan, perawatan dan dana yang berasal dari berbagai pihak.Â




Museum Trinil bukan hanya sebuah rumah yang berteman sepi yang makin lama mengalami kerusakan atau kemunduran. Tetapi, Museum Trinil hendaknya menjadi lading ilmu bagi generasi bangsa. Apalagi, perkembangan museum yang modern akan menjadi objek wisata yang menarik bagi siapapun. Siapapun bisa mengakses kondisi museum yang layak dikunjungi dari manapun melalui ranah digital. Â Lebih asyik lagi jika menggunakan Teknologi 4,5G provider XL yang mempunyai kecepatan tinggi maka informasi Museum Trinil bisa menjadi objek wisata yang mengagumkan dari manapun. Save Museum Trinil!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI