Bagi sebagian orang luar, penampilan fisik suku Mentawai kuno sering dianggap "primitif" hanya karena mereka bertelanjang dada, bertato, dan hidup dekat dengan alam.Â
Tapi pandangan semacam itu sesungguhnya terlalu dangkal. Ketelanjangan dalam budaya Mentawai bukanlah bentuk kemunduran, melainkan pernyataan filosofis yang dalam.
 Dalam kepercayaan tradisional mereka, tubuh adalah bagian tak terpisahkan dari semesta bukan hanya sebagai wadah jasmani, tetapi juga sebagai simbol keterhubungan antara manusia, alam, dan roh leluhur.
Dalam sistem kepercayaan Arat Sabulungan, manusia adalah bagian dari alam. Oleh karena itu, tubuh yang terbuka mencerminkan keterbukaan jiwa terhadap alam dan kehidupan.Â
Tidak ada batas artifisial antara manusia dan lingkungan. Pakaian, dalam pandangan mereka, adalah sesuatu yang justru dapat mengganggu harmoni ini.Â
Maka bertelanjang bukan berarti tak tahu malu, tetapi justru bentuk penghormatan terhadap kodrat manusia sebagai makhluk alamiah. Ketelanjangan menjadi simbol kejujuran tak ada yang disembunyikan, tak ada kepalsuan.
Lebih dari itu, tubuh juga menjadi media ekspresi budaya melalui tato. Tato Mentawai bukan sekadar hiasan, tapi narasi hidup yang tertulis di kulit.Â
Setiap motif mencerminkan sesuatu kedewasaan, kemampuan berburu, hubungan spiritual, atau status dalam masyarakat.Â
Proses pembuatannya pun tidak sembarangan; dilakukan secara tradisional dengan alat-alat alami, melalui upacara yang penuh makna.Â
Dalam arti tertentu, setiap tubuh adalah sebuah buku terbuka yang menyimpan sejarah hidup pemiliknya.
Di tengah budaya modern yang kerap menindas tubuh dengan standar kecantikan, kosmetik, dan citra media sosial, filosofi tubuh orang Mentawai justru terasa membebaskan.Â