Mohon tunggu...
Lila Carmelia
Lila Carmelia Mohon Tunggu... -

berawal senang membaca dan kemudian mencoba untuk menuangkan beragam imajinasi dalam sebuah cerita....semoga slalu menghibur para penikmat cerita pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Soledad

1 April 2018   13:28 Diperbarui: 1 April 2018   13:44 8497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nyaris tanpa suara, saat tante Celine membuka jatidirinya.

"Aku papimu..."katanya setelah beberapa kali kami bertemu.

Saat itu usiaku baru 9 tahun. Usia yang belum bisa dianggap remaja apalagi dewasa. Aku sempat terkejut mendengar pengakuannya. Pikiran kanak-kanakku mencoba mengerti apa yang terjadi sesungguhnya. Mungkin bukan menerima kenyataan seperti yang ada di pikiran orang dewasa tetapi lebih dari sekedar menerima bahwa aku memiliki seorang mami yang mengasuhku sejak bayi. Dan kini, aku juga harus menerima kehadiran seorang papi yang seharusnya berbadan tegap  tapi kenyataannya tidak demikian. Papi yang selama ini bekerja di luar negri seperti yang selalu mami ceritakan ternyata seorang perempuan cantik.

"Kamu mau panggil papi dengan sebutan apa?"tanyanya setelah pengakuannya tadi.

"Tante Celine...tetap tante Celine..."gumamku dengan pikiran dan perasaan yang campur aduk.

****

Papi seorang transgender. Awalnya aku tak pernah tahu cerita yang sesungguhnya. Mami sempat menutupi kenyataan yang sebenarnya. Mungkin bukan karena malu tapi lebih karena hatinya sempat tercabik-cabik dengan garis nasib yang harus diterimanya. Mami mencintai papi dengan tulus, menerima kekurangannya sekalipun papi memang terlihat lebih feminin dari laki-laki kebanyakan.

"Papi kerja di New York."jawab mami saat aku menanyakan mengapa papi tidak tinggal bersama kami.

"Mengapa papi tidak mengajak kita tinggal di New York?"tanyaku lagi.

"Mami kan kerja di Jakarta."

"Tapi mami kan bisa cari kerja di New York?"

Mami hanya tersenyum dan memelukku. Mungkin mami kewalahan menjawab pertanyaanku. Seorang anak kecil yang tidak punya pikiran macam-macam. Hanya berpikir, senangnya bila memiliki keluarga yang utuh.

Bertahun-tahun sesudahnya saat aku mulai dewasa, aku mulai bisa lebih menghargai jalan hidup papi dan mami. Aku mulai terbiasa dengan kehidupan papi yang hingga kini masih kupanggil dengan tante Celine. Aku terbiasa melihat wajahnya yang cantik dan merasakan sentuhannya yang lembut. Aku memang kehilangan figur seorang papi yang berbadan tegap dan penuh wibawa yang tak bisa kurasakan dalam diri tante Celine, walau aku berusaha memaklumi jalan hidupnya. Melimpahi aku dengan materi mungkin salah satu cara papi untuk memenangkan hatiku. Sebagai laki-laki yang mulai beranjak dewasa, aku berusaha mengerti bahwa apa yang terjadi di hidup papi bukan pilihannya tapi nasib yang harus diterimanya.

****

"Soledad..."

Aku jadi terkenal dengan nama itu. Pertunjukan theater di kampus kemarin cukup sukses. Aku berperan sebagai Soledad, seorang wanita berhati lembut yang harus menghadapi hidup yang sangat keras sebagai seorang pekerja seks komersial.

"Bravo..."Anton menghampiri sambil menepuk pundakku.

Anton anak fakultas tehnik itu tak pernah luput mengikuti setiap kegiatan kami. Anton laki-laki tampan berbadan tegap dengan kulit coklat,alis tebal dan senyum yang mempesona. Perempuan-perempuan di kampus tak ada yang tak melirik dia, malah banyak yang membicarakannya.

"Thank you Anton."

"Sekarang jadi ngetop dengan nama itu ya?"

"Semua orang di kampus ini membicarakan Soledad."

"Aktingmu sempurna, riasanmu sempurna, kalau tidak kenal kamu pasti aku tak pernah menduga kalau Soledad yang sebenarnya adalah laki-laki tampan yang terjebak dalam tubuh seorang wanita."Katanya dengan antusias.

Sejak itu, kami mulai bersahabat. Anton memiliki seorang pacar. Perempuan itu berwajah keibuan, sangat lembut dan bersahaja. Persis mami...

Aku memujanya dalam hati. Wanita kedua yang kukagumi selain mami selama aku hidup. Namanya Amelia.   Aku memang menyayangkan hubungan yang terjalin antara Amelia dan Anton. Bukan karena mereka tampak tak serasi tapi lebih karena Amelia  sangat lembut dan rapuh.

Tak seperti mami yang tampak tegar dan kuat, Amelia tampak seperti Kristal yang harus selalu dijaga. Sayangnya Anton sangat tak mengerti perasaan Amelia yang sangat halus. Aku sering melihat Amelia menangis diam-diam. Sampai sering menasehati dia untuk mencari pacar yang lain saja yang mengerti dan menghargai dirinya.

Sampai suatu hari Amelia menghampiriku dengan matanya yang terlihat sembab karena menangis semalaman.

"Ada apa?"Tanyaku dengan cemas.

Amelia diam saja. Mungkin berusaha menjelaskan tapi tak ada sepatah katapun yang bisa dikeluarkannya. Kutuangkan segelas air putih agar dia tenang, menggenggam tangannya dengan kuat, membiarkan dia terisak-isak sampai tertidur di kamar kostku karena kelelahan.

****

Amelia menggeliat bangun. Hari sudah sore sekarang. Amelia tergesa-gesa bangun tapi dia terpaku di depan cermin. Memperhatikan dirinya sendiri dari ujung kepala sampai menghentikan gerakan matanya saat tiba di bagian perutnya dan mengelusnya. Aku mengerti sekarang mengapa dia tak ingin bicara apa-apa.

"Sudah bicara dengan Anton?"Aku menatapnya.

Amelia menganggukkan kepala. Masih dengan wajah sedih dan kepala yang menunduk.

"Apa katanya?"Tanyaku lagi.

Amelia hanya menggelengkan kepala. Dia pulang ke kostnya beberapa menit kemudian dan menolak tawaranku untuk mengantarnya pulang.  Aku baru bisa makan setelah Amelia menghubungi. Mungkin dia tak tega membaca panggilan tak terjawab belasan kali di handphonenya dan itu panggilan dariku.

Berhari-hari aku merasakan perasaan yang sama. Tak ada satu ceritapun yang keluar dari bibir mungilnya.

"Anton dimana?"tanyaku pada Amelia.

Aku memang tak pernah lagi melihat batang hidungnya. Mungkin dia sudah pulang kampung atau malah pindah ke kota lain. Yang penting dia tak harus dipaksa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Tidak mau mencari dan menuntut dia?Aku bisa mengantarmu."Tanyaku saat kulihat Amelia selalu menatap dengan tatapan kosong.

"Tidak usah..."katanya dengan suara lemah.

"Aku tidak ingin menuntut apalagi memaksa."Katanya lagi.

"Kita menikah saja."Kataku spontan.

Aku memang sempat memikirkan semalam. Menimbang-nimbang untuk membantu Amelia meringankan bebannya. Sampai suatu hari Amelia siap untuk menjalani hidup sendiri atau malah menemukan laki-laki yang mau mengerti jalan hidupnya.

"Cuma agar anakmu tak dianggap sebagai anak diluar nikah."

"Bukan suami yang sebenarnya."

Amelia mengangguk cepat. Aku melihat sorot matanya  berubah. Berbinar-binar seperti berharap semua akan baik-baik saja.

"Terimakasih...terimakasih banyak."katanya sambil mendekapku erat.

****

Delapan bulan berlalu dengan cepat. Aku mulai bisa merasakan cinta yang luar biasa saat memandang wajah Sasha dan menggendongnya. Bayi mungil itu memang bukan anak kandungku tapi dia sudah mencuri hatiku. Melihat anak-anak terlantar di televisi saja aku tak sanggup apalagi menelantarkan Sasha.

Malam sudah sangat larut. Aku tak bisa tidur, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Bukan sulit menghafal naskah yang akan kulakoni minggu depan tapi telephon yang diterima Amelia tadi siang. Aku tahu Amelia masih merahasiakan. Mungkin tak sampai hati bercerita atau memang karena tidak ada kejadian apa-apa yang perlu diceritakan. Aku hanya sempat mendengarnya memanggil seseorang di seberang sana dengan nama...Anton.

"Tak ada yang mau kamu bicarakan?"tanyaku saat Amelia datang mengantarkan secangkir teh manis hangat.

"Tentang apa?"

"Tentang seseorang yang meneleponmu tadi siang. Aku sempat mendengar pembicaraan kalian,"jawabku sambil menatap matanya yang bundar.

"Anton..."jawabnya dengan enggan.

"Dia sudah tahu tentang Sasha?"

"Sudah."

"Apa yang kamu pikirkan tentang dia?"aku seperti menghujamnya dengan banyak pertanyaan.

Amelia memang lebih tertutup apalagi sejak kehamilan Sasha dan kepergian Anton. Kami memang serumah, tapi aku sangat tahu diri kalau kami punya kehidupan masing-masing. Amelia tak pernah ikut campur semua urusanku. Dia hanya mengerjakan apa yang menjadi tugasnya di rumah dan bekerja paruh waktu untuk mecukupi kebutuhan kami. Aku sendiri berusaha untuk mencari job kesana kemari. Ikut audisi di beberapa theater untuk menjadi bintang tamu di pertunjukkan mereka sampai  mengajar dibeberapa sanggar. Aku tak ingin membebani mami atau papi selain kewajiban mereka membiayai kuliahku. Amelia dan Sasha butuh uang untuk hidup dan aku bertanggungjawab sebagai  laki-laki yang berstatus suami meskipun aku hanya diakui di atas selembar surat nikah.

"Anton ingin menikahi aku."

"Dan mengakui Sasha adalah putrinya?"tanyaku berharap Amelia menggelengkan kepala.

"Ya."Jawab Amelia singkat.

"Apa jawabmu?"tanyaku penasaran.

"Aku belum menjawab apa-apa."

"Masih ingin mempertimbangkan tawaran Anton."

"Hanya untuk kebaikan Sasha."katanya sambil menatapku.

Aku tak bisa membaca pikirannya. Tapi aku merasa, Amelia pasti tak ingin tindakannya menyakiti hatiku. Amelia memang tidak mencintai aku seperti layaknya seorang istri kepada seorang suami. Tapi Amelia pasti memiliki cinta sebagai ungkapan rasa terimakasihnya.

Amelia berlalu meninggalkanku. Aku hanya menangkap bayangannya di tembok rumah kami dan tangisan Sasha yang membuatku ingin agar Amelia berkata tidak kepada Anton.

****

Setahun berlalu, aku menemukan tiga buah koper yang tersusun rapih di kamar Amelia. Aku tak usah mengira-ngira untuk apa. Pasti Amelia sudah bisa memutuskan untuk meninggalkan rumah kami. Dengan make up yang masih menempel di muka saat aku mencoba riasan untuk lakon berikutnya, aku menghampiri Sasha yang masih tertidur di kamarnya.

Aku sempat memandang kamar mereka. Sejenak membiarkan mataku berkeliling untuk merekam dengan memori di kepala agar tetap tersimpan kenangan yang tak bisa kuhapuskan. Tentang kehadiran Sasha yang membuatku tak ingin mengulang kesalahan lama. Bertahun-tahun aku berjuang sendirian. Tanpa membaginya dengan seseorang yang bisa kupercaya.

Aku tak ingin mengganti jenis kelamin, mengoperasi buah dada atau mengikis tulang-tulang rahangku yang tajam untuk bisa berubah menjadi seorang wanita lembut dan bersahaja. Aku berharap kehadiran Sasha dan Amelia bisa membuatku bertahan dengan tubuh yang Tuhan berikan. Sekalipun saat melakoni seorang wanita dalam sebuah cerita yang kuperankan membuatku merasa bebas untuk berekspresi, untuk mengungkapkan jatidiri. Tapi rasa cinta yang besar kepada mereka yang membuatku tak ingin mengecewakan bahkan mempermalukan, andai suatu hari Sasha besar dan tahu keadaanku yang sebenarnya.

Aku tak ingin menangis untuk perpisahan ini. Mencium Sasha dan menggendongnya adalah kesempatan terakhir yang masih kumiliki saat ini. Amelia menghampiri. Berdiri di pintu kamar dan memandang punggungku. Aku sempat melihatnya lewat kaca yang menempel di dinding kamar ini. Tak ingin Amelia tahu apa yang aku rasakan. Tak ingin mencegah mereka pergi menyambut kebahagiaan yang tertunda sebagai satu keluarga.

"Terimakasih banyak Nardo..."

Untuk pertamakalinya aku mendengarnya memanggilku dengan nama asliku.

"Maafkan..."katanya lagi tapi tak bisa meneruskan kata-kata selanjutnya.

Hanya menangis terisak sambil menutup mukanya dengan saputangan putih. Aku menyerahkan Sasha dalam gendongannya, mencium keningnya sejenak dan menarik koper-koper itu ke depan.

"Jaga Sasha baik-baik..."kataku tak ingin menatap matanya.

"Maaf tak bisa mengantar kalian, aku harus segera berangkat."

Aku bergegas memakai helm,mengambil tas berisi keperluan manggung dan kunci motor agar aku cepat-cepat pergi sebelum Anton datang.

***

"Tante Soledad..."kataku memperkenalkan diri pada anak perempuan itu. Usianya sekarang sudah 7 tahun. Sasha mungkin tak pernah ingat akan sosok seorang laki-laki yang berharap diakui sebagai ayahnya.

"Tante Soledad kakak perempuan mama."

Amelia mencoba membantu menjelaskan. Akhirnya kesempatan itu datang juga. Amelia dan Sasha bisa mengunjungiku di liburan natal tahun ini. Setelah kepergian mereka dan juga mami. Aku memang tak bisa lagi menahan diri. Nasib yang ingin kuubah dengan cinta yang kumiliki dari mami dan Amelia, dua perempuan yang kupuja dalam hidupku dan juga Sasha yang hadir dalam hidupku selanjutnya ternyata tak sekuat kenyataan hidup yang harus kuterima.

Dalam kegamanganku, aku menemui papi di New York dan banyak bertukar pikiran dengannya sampai aku memutuskan untuk mengikuti jejaknya menjadi seorang perempuan seutuhnya. Aku memang bahagia dan lepas dari beban hidup yang menekan karena selalu bersandiwara. Tapi tak bisa selalu merasa begitu saat mengingat mami, Amelia dan Sasha yang sangat kucintai dan ingin selalu kulindungi dalam sosok laki-laki sempurna meskipun dengan fisik yang mungkin tak sempurna.

"Apa kabar?"Amelia mencium pipiku.

Ciuman pertama darinya sejak kami saling mengenal. Amelia mungkin tak mengerti cerita hidupku. Tapi aku tahu perempuan selembut dia pasti tak pernah ingin menghilangkan bagian hidupnya yang sempat terisi oleh cintaku. Amelia mungkin tak pernah mencintai aku seperti rasa cintanya kepada Anton, tapi  pasti tak kalah besar dengan rasa terimakasih yang tak pernah disampaikannya kepada Anton yang pernah mencampakkannya.

"Tante Soledad..."Sasha memanggilku sambil berlari kepelukanku.

Aku baru ingat saat papi mencoba menjelaskan keadaannya kepadaku dulu.

"Menjadi transgender bukan pilihan hidup tapi garis nasib yang harus diterima dengan ikhlas."

Nasib yang ingin kuubah sejak dulu....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun