Mohon tunggu...
Camytha Octa
Camytha Octa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Misteri Warna Kuning

19 Maret 2017   20:23 Diperbarui: 21 Maret 2017   04:02 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Kalau begitu, mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku tadi?”

“Aku kenyang.”

Hanya jawaban singkat yang ia berikan dan pergi meninggalkanku. Ah sudahlah, aku juga tidak mau peduli dia sedang lapar, kenyang, haus, atau apa saja.

Aku melanjutkan pergi ke kelas. Di depan pintu kelas, ada seorang siswa menghadap ke dalam kelas. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku terlihat begitu tampan di mataku. Beberapa detik setelah aku melihatnya, ia berbalik arah ke hadapanku. Oh tidak! Ternyata dia Rangga. Ketika aku ingin memasuki kelas, aku dihalangi dengan tangan panjangnya yang menjulur ke samping. “Apalagi?” kataku malas. Kemudian ia mengeluarkan sebuah hadiah yang dibungkus kertas kuning polos yang cerah dari sakunya. Entah mengapa aku tersenyum pada Rangga dan itu pertama kalinya. “Mengapa kamu tersenyum? Kamu jelek jika seperti itu. Aku lebih suka kamu yang cuek kepadaku” kata Rangga genit. “Apa?” kataku pura-pura tidak mendengarnya. “Hehe tidak, aku bercanda kok.”

Bel pulang sekolah berbunyi, saatnya aku kembali ke asrama. Setelah memasuki kamar, aku mulai membuka hadiah dari Rangga. Wow! Hadiah itu berisi cokelat. Meskipun aku menyukai kuning, tetap saja aku tergila-gila dengan cokelat. Sebelum aku memakannya, aku ingin menyimpan bungkus kertas kuning polos itu. Mungkin dengan aku menyimpannya, keceriaan yang ada pada warna kuning bisa tersalur dalam kehidupanku. Ketika aku ingin memakannya, imajinasiku berkata bahwa cokelat itu memberi kode. Kuhitung ada empat belas irisan dalam cokelat tersebut. Setelah aku mendapat angka 3, 9, sekarang angka 14? Apa maksudnya? Huh! Sekarang bukan waktunya aku bermain-main dengan imajinasiku. Aku hanya ingin bahagia dan memikirkan Rangga, ups! Besok hari libur, aku ingin hari ini cepat berganti. Aku ingin pagi agar bertemu dengan Rangga kembali.

Keesokan harinya, aku bertemu dengannya. “Pagi, Octa!” sapa Rangga.

“Pagi juga, Ngga!” jawabku senang.

Aku dan Rangga berbincang-bincang lama. Lalu, ia mengajakku bermain, makan, foto, dan semua hal yang biasa remaja lakukan. Kami habiskan waktu untuk bercanda tawa bersama. Mulai dari matahari memancarkan sinar kuningnya hingga warna oranyenya. Saat perjalanan pulang, ia mengingatkanku bahwa warna kuning bisa membuat semua orang bahagia terhadapnya.

“Aku tahu itu! Aku menyukai kuning juga dengan alasan yang sama sepertimu. Tapi, semenjak kejadian tiadanya keluargaku di dunia ini lagi, aku mulai tidak menyukai kuning, bahkan membencinya” jelasku.

“Justru dengan kamu membenci warna kuning, kamu hanya akan melihat kegelapan di sana. Kamu akan berpikir negatif seakan-akan tidak ada yang bisa membuatmu bahagia dan ceria kembali.”

“Ya! Memang tidak ada yang bisa membuat kebahagiaanku kembali seperti dulu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun