Mohon tunggu...
Kundari, S. E. calon anggota DPD Jateng
Kundari, S. E. calon anggota DPD Jateng Mohon Tunggu... -

Kundari, S.E. calon anggota DPD Jateng Mohon didoakan Mohon direstui Mohon didukung Mohon dipilih Mohon dicoblos Pada Pemilu 9 April 2014 Terima Kasih

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemiskinan dan Akses Terhadap Keadilan

8 Desember 2013   02:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:11 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemiskinan dan Akses Terhadap Keadilan

Salah satu parameter kesuksesan pembangunan adalah jika kemajuan yang dicapai berjalan seiring dengan pemerataan. Kemajuan tanpa pemerataan hanya akan melahirkan gap sosial yang tajam, yang justru bisa mengancam hasil ‘pembangunan’ yang telah raih.

Gejolak sosial yang terjadi di berbagai daerah, juga tidak terlepas dari soal itu. Sebab, ketimpangan sosial seperti api dalam sekam yang setiap saat dapat berkobar menjadi bencana kemanusian. Karenanya, menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk punya gambaran yang jelas tentang kemiskinan dan faktor yang terkait dengan itu secara holistik, agar mampu menelorkan kebijakan yang tepat dalam meresponnya. Terlebih lagi, sebagai bagian dari masyarakat dunia, pemerintah kita telah ikut ambil bagian dalam upaya pencapaian Millennium Development Goals (MDGs), --yang ditargetkan akan dicapai pada tahun 2015--, di mana pengentasan kemiskinan menjadi salah satu  dari delapan goal utama MDGs.  Adapun tujuh goals utama yang lain adalah ; Pendidikan untuk semua, Kesetaraan gender, Perlawanan terhadap penyakit, Penurunan angka kematian anak, Peningkatan kesehatan ibu, Pelestarian Lingkungan Hidup dan Kerjasama global.

Kemiskinan Absolute dan Relatif.

Kemiskinan adalah persoalan mulitidimensional yang dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh berbagai kalangan. Ragam perspektif yang tersedia dalam menelaah kemiskinan, seperti ; sosio-kultural, ekonomi, politik atau pun psikologi, dll, memungkinkan setiap orang untuk melakukan penafsiran berdasarkan kepentingan mereka. Sebagai contoh, pendekatan sosio-kultural, seringkali melihat kemiskinan sebagai sesuatu yang lahir dari budaya buruk masyarakat di negara berkembang seperti ; malas, apatis, kurang motivasi dan kurang jiwa kewirausahaan (entrepreneurship).

Namun, cara pandang tersebut sudah banyak dibantah oleh para ahli yang melihat kemiskinan dari sisi ekonomi dan politik. Kaum miskin yang bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang kecil atau buruh misalnya, tentu tidak lebih malas dari kaum kaya yang bekerja sebagai pegawai atau pengusaha. Di sini, kemiskinan dilihat sebagai produk struktural akibat sistem yang korup.  Kemiskinan terjadi karena kaum  miskin tidak punya akses dan kontrol terhadap alat-alat produksi dan sumber daya yang memadai. Sebab, semua itu telah didominasi oleh segelintir orang kaya yang berkolusi dengan pejabat korup. Petani yang tergusur dari tanahnya, nelayan yang kehilangan wilayah tangkapannya, atau buruh yang diupah tidak layak adalah contoh nyata bagaimana  kemiskinan struktural diproduksi secara sistematis. Bahkan, untuk kepentingan tersebut, hukum tidak jarang dimanupulasi sedemikian rupa, sehingga hanya digunakan sebagai alat legitimasi bagi kaum kaya, demi menggerogoti mereka yang lemah. Kondisi ini membenarkan padangan kaum struktural yang melihat negara hanya menjadi  alat bagi kaum pemodal.

Secara simple defenisi kemiskinan dapat dibagi dalam dua kategori, yakni ; kemiskinan absolut (absolute poverty) dan kemiskinan relatif (relative poverty). Masyarakat yang dalam kesehariannya hanya berjuang untuk bertahan hidup (subsistent) dikategorikan sebagai kaum miskin absolut. Di banyak negara, kemiskinan absolute seringkali dikaitkan dengan keadaan di mana terdapat kekurangan nutrisi, tingkat harapan hidup yang sangat rendah dan angka kematian bayi yang tinggi. Di sisi lain, kemiskinan relatif sering diassosiasikan dengan orang yang memiliki pendapatan (income) dan sumberdaya (resources) di bawah rata-rata mayoritas masyarakat di mana dia hidup, yang kemudian menjadi penghalang baginya untuk terlibat secara total dalam rutinitas ekonomi sehari-hari.

Mengukur Kemiskinan

Dari defenisi diatas, ukuran kemiskinan juga menjadi lebih variatif. Salah satu yang paling populer dan sering digunakan oleh World Bank  adalah parameter yang didasarkan pada ‘garis kemiskinan’ (poverty line). Pendekatan ini disandarkan pada kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs). World Bank saat ini menetapkan ukuran $2 per hari atau kurang dari Rp 20.000,00, sebagai batasan poverty line. Sehingga, orang yang pendapatannya kurang dari jumlah tersebut, dikategorikan sebagai kaum miskin absolut. Dengan menggunakan pendekatan ini, maka dapat disimpulkan bahwa di Indonesia saat ini setidaknya terdapat 110 juta jiwa penduduk yang hidup dalam kondisi miskin absolut (INFID, 2007).

Kekuatan dari pendekatan ini adalah metodenya yang sangat sederhana. Namun, yang harus diingat adalah  kebutuhan dasar senantiasa berbeda berdasarkan ruang dan waktu. Di sinilah letak kekuatan yang juga sekaligus menjadi kelemahan pendekatan ini. Sebab, untuk menentukan barang apa yang menjadi kebutuhan dasar seseorang tentu bukan perkara mudah. Dan orang yang berada di atas garis kemiskinan, tidak serta merta dapat dikategorikan sejahterah. Selain itu, parameter ‘poverty line’ juga banyak dikritik karena hanya melihat persoalan kemiskinan dari aspek ekonomi. Padahal, seperti disinggung diatas, kemiskinan tidak disebabkan oleh persoalan ekonomi semata, tapi juga ada aspek politik, sosial, budaya, keamanan, HAM bahkan gender. Karena itu, dibutuhkan pendekatan lain yang memasukan faktor non-ekonomi (composite indicators) sebagai parameter.

Pendekatan yang paling populer saat ini untuk mengukur kemajuan dan kemiskinan secara komprehensip, yang dapat dikatakan sebagai antitesa terhadap ‘poverty line’ adalah HDI (Human Development Index), HPI (Human Poverty Index) dan Gender-Related Development Index (GDI).  Pendekatan ini dikembangkan oleh UNDP (United Nations Development Programme) yang diadopsi dari teori Amartya Sen, salah seorang peraih nobel ekonomi, yang melihat pembangunan sebagai jalan menuju pembebasan (M. Martin, 2006). HDI mengukur seluruh capaian pembangunan, berdasarkan tiga dimensi dasar kemanusiaan yakni ; tingkat harapan hidup, tingkat pendidikan dan pendapatan rata-rata. Kemudian, HPI mengukur kemiskinan dengan menggunakan empat variable kunci, yakni ; prosentase tingkat kematian sebelum usia 40 tahun, prosentase jumlah orang dewasa yang masih buta huruf, prosentase jumlah orang yang tidak punya akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih, serta prosentase anak-anak usia di bawah lima tahun yang kekurangan berat badan. Sementara, GDI mengukur sejauh mana pembangunan berjalan linear dengan pemberdayaan perempuan.

Dengan demikian, meskipun kedua cara di atas memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing, cara yang dikembangkan UNDP dapat dikatakan  sebagai pendekatan yang lebih baik, karena mampu menggambarkan kemiskinan secara lebih tepat dan akurat. Sebagai contoh, dalam laporan UNDP yang terangkum dalam Human development Report (UNDP 2006, hal. v), terlihat jelas bagaimana akses terhadap air bersih memiliki korelasi yang tak dapat dipisahkan dari persoalan kemiskinan dan kesehatan. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa ada sekitar 1.8 juta anak meninggal dunia setiap tahun karena diare dan berbagai penyakit lain akibat ketiadaan akses terhadap air bersih. Contoh yang paling dekat di Sulawesi tengah yang serupa dengan hal tersebut adalah meninggalnya 16 orang warga Dusun Taipa Obal di Kab. Parigi Moutong beberapa waktu yang lalu, akibat kasus yang sama.

Akses terhadap keadilan

Salah satu yang dapat dilakukan di luar program rutin pemerintah adalah dengan meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap keadilan (access to justice). UNDP mendefenisikan access to justice sebagai “Kemampuan masyarakat khususnya kaum miskin dan kelompok marginal untuk mencari dan mendapatkan solusi atas persoalan hukum yang mereka hadapi , melalui peradilan formal maupun informal, yang sejalan dengan prinsip dan standar hak asasi manusia”.

Perluasan access to justice menjadi sangat penting sebab jika dilaksanakan secara konsisten, dipastikan dapat berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat dan penguatan tata kelola pemerintahan yang demokratis (democratic governance). Sebagi contoh, perluasan access to justice di sektor perburuhan, akan meningkatkan job security bagi kaum buruh yang saat ini berada dalam bargaining position yang sangat lemah di hadapan pengusaha. Hal ini disebabkan oleh labour surplus yang sangat ekstrim akibat supply buruh yang tinggi, seiring dengan tingginya angka pengangguran. Sementara, permintaan (demand) atas buruh sangat rendah karena kurangnya investasi. Penguatan akses kaum buruh terhadap keadilan tentu akan meminimalisir resiko pemecatan semena-mena oleh pengusaha yang dimanjakan dengan labour surplus.

Selain itu, perluasan pemenuhan rasa keadilan rakyat secara konsisten akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan aturan hukum yang ada. Sehingga, tindakan anarki dan main hakim sendiri dapat dikurangi, yang tentu saja akan berdampak pada stabilitas sosial politik yang lebih baik.
Fakta menunjukkan bahwa lemahnya akses masyarakat terhadap keadilan, menjadi salah satu penyebab utama tumbuhnya benih konflik di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Sulawesi Tengah. Sebab, masyarakat yang telah hidup termarjinalkan selama bertahun-tahun, cenderung dengan gampang memilih jalan kekerasan --sebagai ‘solusi’ atas problem mereka--, jika mereka dibuat frustasi oleh tersumbatnya saluran keadilan yang disediakan negara melalui lembaga-lembaga formal. Apalagi,  beban hidup yang semakin berat di tengah proses rekoveri ekonomi dan transisi politik yang berjalan stagnan, menjadi ladang bagi tumbuh suburnya prilaku ‘destruktif’.

Persoalan tersebut, juga merupakan imbas dari proses liberalisasi politik yang bergerak liar, di tengah kewibawaan negara yang semakin terpuruk. Munculnya organisasi-organisasi paramiliter (vigilante) dengan label etnik dan agama di berbagai wilayah di Indonesia, adalah fenomena buruk yang mencerminkan trust publik terhadap negara yang semakin rendah. Kondisi ini, dapat ditafsirkan sebagai upaya masyarakat --yang hidup di tengah ketidakpastian—untuk mencari perlindungan alternatif di bawah label suku dan agama, akibat kealfaan negara dalam memenuhi hak-hak mereka.

Di saat yang sama, krisis tersebut diperparah oleh ulah para politisi pragmatis --yang memanfaatkan kegamangan rakyat-- dengan mengembangkan tradisi berpolitik irrasional. Mereka berupaya meraup dukungan rakyat secara instant, tanpa mau dibebani kewajiban untuk memberikan pendidikan politik yang rasional, dengan terus menggunakan label-label ‘tradisional’ sebagai ‘dagangan politik’. Padahal tindakan seperti itu, hanya akan membuahkan konflik horizontal yang sangat mengkuatirkan. Karenanya, akses yang lebih luas terhadap keadilan juga menjadi salah satu jawaban terhadap carut marutnya persoalan sosial politik yang tengah terjadi di negri ini.

Di sisi lain, perluasan akses terhadap keadilan, didukung dengan penegakan hukum yang konsisten, juga secara perlahan akan menciptakan kepastian hukum. Hal ini menjadi sangat penting, karena seperti yang umum dipahami, ketiadaan kepastian hukum adalah salah satu soal krusial yang mengurangi minat investor untuk datang ke Indonesia.  Padahal kehadiran investasi akan sangat membantu mendorong perkembangan sektor riil, sehingga akan memperluas lapangan kerja yang dapat berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Karena itu, penghapusan kemiskinan yang menjadi salah satu sasaran utama MDGs, tidak bisa dilepaskan dari reformasi sektor hukum dan keadilan (Legal and Justice Sector reform), khususnya perluasan akses masyarakat terhadap keadilan. Pemenuhannya dipastikan akan berkontribusi positif pada perkembangan perdamian dan pembangunan. Dalam konteks ini, pemerintah juga harus bertindak tegas dan tanpa kompromi terhadap para koruptor. Karena, korupsi adalah salah satu penyebab utama dari persoalan kemiskinan yang telah berurat akar di negeri ini.

Tanpa keseriusan dan sikap yang tegas dari pemerintah maka dapat dipastikan program pengentasan kemiskinan hanya akan menjadi jargon belaka. Terkait dengan itu saya teringat Jules Feiffer penulis dan kartunis Amerika yang pernah berkomentar tentang persoalan kemiskinan dengan nada sinis dan jenaka, yang lebih kurang berbunyi begini ; Saya dulu berfikir kalau saya miskin (poor). Kemudian mereka mengatakan bahwa saya tidak miskin saya hanya fakir (needy). Tapi mereka kemudian mengatakan bahwa anda merusak diri (self-defeating) jika berfikir bahwa anda fakir, anda hanya serba kekurangan (underprivileged). Tapi mereka mengatakan lagi bahwa kata tersebut terlalu banyak digunakan, saya lebih tepat dikatakan hanya kurang beruntung (disadvantaged). Tapi kumpulan kata-kata tersebut tidak membuat hidup saya menjadi lebih baik. Saya masih juga tetap miskin. Namun tak apalah, saya toh punya kumpulan kata-kata yang ‘sangat indah’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun