Mohon tunggu...
Sinthia Nur Rahmawati
Sinthia Nur Rahmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Writer | SEO Learner | Mahasiswi Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta

Seorang mahasiswi Sosiologi yang memiliki ketertarikan untuk menganalisis berbagai isu sosial menggunakan teori Sosiologi. Ini merupakan cara saya untuk memahami materi yang telah dipelajari sekaligus mengasah kemampuan saya menjadi seorang Content Writer yang berkompeten.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

KIP-Kuliah: Program Kesetaraan Akses Pendidikan bagi Masyarakat yang Terjebak dalam Kemiskinan untuk Mencapai Kesejahteraan

2 April 2024   12:01 Diperbarui: 2 April 2024   12:39 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Apa yang terlintas pada benak Anda ketika mendengar kata "perguruan tinggi?" Tentu, mayoritas masyarakat akan berpendapat tentang biaya pendidikan yang mahal. 

Perguruan Tinggi, sebuah jenjang pendidikan yang tidak bisa dinikmati oleh seluruh anak bangsa. Mahalnya biaya pendidikan untuk menempuh jenjang ini menciptakan ketimpangan yang semakin tinggi antara si kaya dan si miskin. Ironis, bagi masyarakat yang terjebak dalam jurang kemiskinan, pendidikan tinggi dianggap sebagai "barang mewah" yang tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan sehari-hari. Bahkan, begitu banyak anak bangsa yang harus merelakan impian mereka untuk bisa mendapat gelar sarjana akibat terhalang oleh mahalnya biaya.

Akar dari ketimpangan akses pendidikan ini adalah kondisi kemiskinan, khususnya kemiskinan absolut yang dialami oleh kelompok masyarakat berpenghasilan sangat rendah di bawah garis kemiskinan. Dapat dibayangkan, kelompok masyarakat yang terjebak dalam jurang kemiskinan absolut sangat sulit memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari (makanan, pakaian, dan tempat tinggal). Kemudian, kelompok yang tak berdaya ini juga memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kondisi ketimpangan akses pendidikan sangatlah memprihatinkan yang jika tidak segera dibenahi, maka tidak akan bisa memutus rantai kemiskinan yang seperti lingkaran setan. Terlebih, persyaratan untuk mendapatkan pekerjaan saat ini pun membutuhkan pendidikan yang tinggi. Namun, nyatanya untuk mendapatkan akses ke jenjang perguruan tinggi saja tidak bisa dilakukan oleh seluruh masyarakat. Lantas, bagaimana caranya seseorang yang terlahir di tengah keluarga yang terjebak dalam jurang kemiskinan bisa keluar dari jurang tersebut untuk memperbaiki kesejahteraanya, sementara akses untuk keluar dari jurang kemiskinan tersebut tidak bisa ia dapatkan.

Bagaimana kondisi pendidikan tinggi di Indonesia?

Berdasarkan data tamatan jenjang pendidikan yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 didapatkan bahwa; tamatan pendidikan terbanyak berasal dari SMA/sederajat dengan persentase 30,22%; selanjutnya, tamatan SD/sederajat dengan persentase 24,62%; lalu, tamatan SMP/sederajat sebanyak 22,74%; terakhir, tamatan perguruan tinggi dengan persentase hanya 10,15%. 

Persentase tersebut tentu menunjukan angka yang sangat rendah, hanya 10,15% masyarakat yang mendapat kesempatan untuk menempuh jenjang perguruan tinggi. Kondisi ini dapat dijadikan sebagai indikator permasalahan bahwa tingkat pendidikan di Indonesia masih rendah dan ketimpangan akses pendidikan antara kaum atas dan kaum bawah masih sangat tinggi.

Padahal, dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa pendidikan merupakan hak seluruh masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya yang harus dipenuhi oleh negara. Kemudian, pada Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, serta setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Permasalahan akses pendidikan harus segera dibenahi karena pendidikan merupakan kunci utama untuk membangun sumber daya manusia yang mumpuni, sehingga kondisi masyarakat yang sejahtera dapat segera terwujudkan. Permasalahan ini dapat dibenahi dengan menciptakan suatu program pendidikan yang memberikan bantuan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik, tetapi tidak mampu secara ekonomi. Salah satu bentuk dari program penyetaraan akses pendidikan adalah terciptanya Kartu Indonesia Pintar - Kuliah (KIP-K).

KIP-K terwujud berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan akses dan kesempatan pendidikan di perguruan tinggi serta menyiapkan warga negara menjadi cerdas dan kompetitif. Oleh karena itu, pemerintah akan terus memastikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin/rentan miskin, terutama yang berprestasi, dapat melanjutkan pendidikan hingga jenjang kuliah melalui Program Indonesia Pintar (PIP).

Apakah KIP-K sudah sesuai dengan strategi pengembangan masyarakat?

Dalam pelaksanaannya, Kartu Indonesia Pintar - Kuliah (KIP-K) akan memberi bantuan biaya pendidikan dan biaya hidup yang diberikan sekali per semester dari awal hingga akhir masa perkuliahan. Biaya pendidikan merupakan biaya yang dibayarkan langsung oleh pemerintah kepada pihak perguruan tinggi. Sementara itu, bantuan biaya hidup diberikan secara langsung oleh pemerintah menggunakan sistem transfer ke masing-masing rekening mahasiswa. Terkait besaran bantuan biaya hidup per semester, setiap daerah memiliki besaran yang berbeda. Namun, jika berkaca pada Jakarta, biaya hidup yang didapatkan dari Kartu Indonesia Pintar - Kuliah (KIP-K) sebesar Rp 8.400.000 per semester.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun