Diam-diam, wajah pengelolaan BUMN berubah drastis. Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, negara memperkenalkan satu struktur baru yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah korporasi milik publik: Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (disingkat Danantara), Holding Investasi, dan Holding Operasional.
Baca juga: Siapa Kini Pengendali Arah BUMN?
Arsitektur baru ini merombak peran Direksi yang selama dua dekade menjadi pusat manajemen perusahaan negara tidak lagi menjadi aktor tunggal. Sebagian kewenangan strategis dan operasional mereka kini beralih ke badan-badan yang dirancang secara hierarkis dan tersistem. Tidak heran jika banyak yang menyebutnya sebagai akhir dari era "direksi tradisional"---yakni struktur manajemen yang relatif otonom, menjunjung kontrak manajemen, dan akuntabel langsung ke RUPS.
Undang-Undang BUMN yang lama, yakni UU No. 19 Tahun 2003, merambu-rambukan cukup rinci soal mekanisme pengangkatan, masa jabatan, hingga larangan rangkap jabatan Direksi. Tapi dalam UU baru, 10 pasal krusial itu dihapus dan digantikan dengan pendekatan yang lebih teknokratik dan tersentralisasi. Kini, struktur holding dan badan pelaksana tidak hanya menjadi operator investasi negara, tetapi juga menjadi pemegang kontrol terhadap strategi, kinerja, bahkan arsitektur remunerasi perusahaan-perusahaan milik negara. Menteri BUMN tetap berperan, tapi tidak lagi berdiri sendiri. Ia bertindak bersama Danantara---sebuah badan raksasa dengan modal dasar Rp1.000 triliun---berkuasa untuk mengelola dividen, aset, dan arah restrukturisasi.
Pertanyaannya, apakah pendekatan ini benar-benar menjanjikan efisiensi dan profesionalisme yang lebih tinggi? Atau justru berpotensi mengaburkan garis akuntabilitas publik karena badan baru ini tidak dikategorikan sebagai penyelenggara negara, tidak tunduk pada mekanisme pailit biasa, dan personelnya tidak bertanggung jawab secara hukum sepanjang mereka dapat membuktikan "itikad baik"?
Bagi sebagian pengamat tata kelola korporasi, ini adalah bentuk baru dari "sentralisasi diam-diam" di balik jargon efisiensi. Tapi bagi sebagian lain, inilah cara agar BUMN bisa berkompetisi secara global dengan struktur yang lebih ramping dan fokus pada nilai tambah.
Yang jelas, pembubaran secara implisit atas model lama manajemen BUMN membawa konsekuensi besar. Peran RUPS dikurangi, mekanisme kontrak manajemen menjadi simbolik, dan fungsi pengawasan berpindah ke struktur yang lebih teknokratis. Maka, pertanyaan mendasarnya: apakah ini pertanda kemajuan? Atau justru kita sedang menyaksikan sebuah eksperimen besar dalam manajemen negara yang hasilnya belum tentu berpihak pada kepentingan publik? Era direksi tradisional mungkin telah berakhir. Tapi pertarungan tafsir tentang siapa yang seharusnya mengendalikan BUMN---negara, publik, atau badan---baru saja dimulai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI