Di tengah dinamika transformasi kelembagaan BUMN dan pembentukan superholding, satu isu penting yang sering terlewat dari pembahasan publik adalah soal tata kelola. Pengelolaan holding, apalagi yang berperan strategis bagi perekonomian negara, membutuhkan fondasi tata kelola yang tidak hanya kuat secara struktur, tetapi juga otonom secara operasional dan profesional dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip tata kelola perusahaan dari OECD tahun 2023 dapat menjadi referensi global yang relevan.
OECD menekankan bahwa tata kelola perusahaan yang efektif membutuhkan kerangka hukum, regulasi, dan kelembagaan yang dapat diandalkan, serta memfasilitasi pengawasan yang transparan, akuntabel, dan adil. Dengan begitu, pengelolaan korporasi, termasuk entitas holding milik negara, dapat berfungsi secara efisien dalam mendukung efektivitas pasar, efisiensi ekonomi, serta pertumbuhan berkelanjutan.
Baca juga:Â
- Optimalisasi Kolaborasi Menteri BUMN dan Holding Operasional untuk Efisiensi BUMN?
- Moral Hazard dan Gimmick Governance di Holding BUMN
- Apa perbedaan Holding Investasi dan Holding Operasional dalam Pengelolaan Risiko?
- Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KNyD), Legenda Keuangan Negara (Bag.1)
Salah satu prinsip krusial adalah kemandirian lembaga pengawas dan regulator. OECD menyatakan bahwa otoritas pengawasan harus memiliki otoritas, otonomi, integritas, serta sumber daya yang cukup untuk menjalankan tugas secara profesional dan objektif. Putusan-putusan mereka pun perlu bersifat transparan, tepat waktu, dan dapat dijelaskan kepada publik. Dalam konteks holding BUMN, prinsip ini mengisyaratkan bahwa pengelolaan dan pengawasan internal harus dilepaskan dari pengaruh politik jangka pendek yang dapat mengaburkan fokus korporasi terhadap efisiensi dan penciptaan nilai jangka panjang.
OECD juga memberi perhatian khusus terhadap pentingnya independensi dewan direksi. Direksi yang otonom dari pengaruh pemilik mayoritas---dalam hal ini negara---merupakan prasyarat bagi pengambilan keputusan strategis yang objektif dan berbasis kepentingan korporasi, bukan kepentingan sektoral atau personal. Kemandirian anggota dewan juga penting dalam membentuk komite-komite khusus seperti audit, nominasi, dan remunerasi yang berfungsi sebagai mekanisme pengawasan internal yang andal.
Lebih lanjut, prinsip transparansi dan keterbukaan informasi menjadi tulang punggung tata kelola yang akuntabel. Holding perlu menjamin bahwa laporan keuangan dan pengungkapan lainnya dilakukan secara tepat waktu, andal, dan dapat diakses oleh para pemangku kepentingan. Hal ini tidak hanya mencerminkan kepatuhan terhadap peraturan, tetapi juga membangun kepercayaan investor dan publik terhadap integritas manajemen holding.
OECD juga memperkenalkan bab baru mengenai keberlanjutan dan resiliensi, yang menekankan pentingnya tata kelola perusahaan dalam merespons risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social and Governance-ESG). Dalam konteks superholding, ini menjadi panggilan untuk tidak sekadar mengejar keuntungan, tetapi juga membangun ketangguhan perusahaan dalam menghadapi perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan tantangan geopolitik.
Jika Indonesia ingin menjadikan superholding BUMN sebagai lokomotif kemandirian ekonomi nasional, maka rambu-rambu tata kelola seperti yang ditawarkan OECD tidak boleh dianggap sebagai formalitas administratif. Ia adalah fondasi strategis agar holding dapat beroperasi secara otonom, efisien, dan profesional, sekaligus mempertanggungjawabkan perannya kepada publik sebagai pemilik utama korporasi negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI