Penerapan model holding di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejatinya dirancang untuk memperkuat efisiensi, konsolidasi aset, serta meningkatkan daya saing perusahaan negara. Melalui pembentukan holding, negara menyalurkan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada entitas induk yang kemudian mengelola pengembangan berbagai anak perusahaan di bawah struktur holding tersebut. Secara teoritis, langkah ini diharapkan mampu mempercepat transformasi korporasi BUMN menuju tata kelola yang lebih modern dan berdaya saing. Namun, praktiknya, struktur holding ini justru menyimpan potensi moral hazard yang serius dan menciptakan fenomena gimmick governance yang dapat membahayakan akuntabilitas keuangan negara.
Moral hazard muncul karena holding menerima dana dari negara dan, di atas kertas, menunjukkan kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Holding menciptakan citra bahwa pengelolaan dana negara dilakukan secara prudent dan transparan, terutama dalam penyusunan laporan konsolidasi. Namun, dalam realitas operasional, modal yang disalurkan kepada anak perusahaan sering kali tidak diikuti oleh pengawasan yang memadai. Anak perusahaan, yang secara formal beroperasi sebagai entitas terpisah dan tidak selalu langsung terikat pada mekanisme pengawasan negara, mengambil risiko berlebihan dalam kegiatan bisnis mereka. Mereka berani bertindak agresif, bahkan terlibat dalam praktik fraud, dengan asumsi bahwa dampak buruknya akan ditanggung oleh induk holding atau bahkan terserap ke dalam postur keuangan negara secara lebih luas. Kondisi ini diperparah dengan adanya keterbatasan mandat pemeriksaan oleh Auditor Negara terhadap anak perusahaan yang tidak secara langsung mengelola keuangan negara.
Baca juga:Â
- Apa perbedaan Holding Investasi dan Holding Operasional dalam Pengelolaan Risiko?
- Saham Seri A Dwiwarna, Menggoda Kita ke Taman Surga
- Demokrasi Ekonomi dalam Pengelolaan Aset Negara
- Optimalisasi Kolaborasi Menteri BUMN dan Holding Operasional untuk Efisiensi BUMN?
Fenomena ini menciptakan apa yang oleh literatur tata kelola korporasi disebut sebagai The illusion of good governance, yakni tampilan tata kelola yang seolah-olah akuntabel, namun sesungguhnya rapuh di tingkat operasional. Mungkin artikel-artikel klasik ini mengajak kita menengok pada aspek historis atas ilusi ini. Â Konflik kepentingan antara pengelola dan pemilik akan semakin tinggi jika mekanisme kontrol melemah, apalagi dalam struktur multilevel seperti holding (Shleifer dan Vishny,1997). Holding ditengarai menjadi sibuk merapikan tampilan konsolidasi keuangan tanpa secara serius membangun sistem risk management yang mengikat sampai ke anak perusahaan. Akibatnya, fraud di anak perusahaan berpotensi terjadi secara sistemik namun tetap tersembunyi dari radar publik dan otoritas pengawas keuangan negara.
Selain itu, masalah asimetri informasi antara principal (negara) dan agent (holding) akan semakin parah ketika monitoring tidak berjalan efektif, membuka peluang bagi agent untuk bertindak oportunistik (Eisenhardt, 1989). Hal inilah yang terjadi dalam banyak kasus fraud di lingkungan holding BUMN risiko dan kegagalan tersembunyi di bawah lapisan administrasi yang tampak rapi. Tanpa perbaikan struktur pengawasan, penyusunan klausul pertanggungjawaban langsung ke holding, serta pemberian kewenangan pengawasan luas kepada lembaga negara, model holding BUMN justru berpotensi memperlemah akuntabilitas, bukan memperkuatnya.
Pemahaman atas dinamika ini, bahwa ada sesuatu yang harus dikerjakan ke depan. Kita yakin, perlu ada kesadaran bahwa membangun holding BUMN tidak cukup hanya dengan restrukturisasi organisasi dan penyuntikan modal, melainkan harus disertai dengan penguatan prinsip auditability, risk governance, dan keterbukaan informasi hingga ke anak perusahaan. Tanpa itu, holding BUMN hanya akan menjadi ilustrasi nyata dari gimmick governance. Penampilan akuntabilitas di permukaan, namun menyembunyikan kerentanan di dalamnya.
Referensi:
Eisenhardt, K. M. (1989). Agency theory: An assessment and review. Academy of Management Review, 14(1), 57--74.Â
Shleifer, A., & Vishny, R. W. (1997). A survey of corporate governance. The Journal of Finance, 52(2), 737--783.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI