Kunjungan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, ke Vietnam, Malaysia, dan Kamboja pekan ini menyita perhatian banyak pihak. Di tengah perang dagang yang kembali memanas antara Tiongkok dan Amerika Serikat pasca kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, lawatan Xi ini jelas bukan sekadar kunjungan persahabatan. Ada strategi besar yang sedang dijalankan, dan setiap negara yang dikunjungi memiliki signifikansi geopolitik dan ekonomi yang khas. Namun dari daftar tersebut, salah satu negara absen, Indonesia.
Pertanyaan pun mencuat. Mengapa Xi tidak menyambangi Indonesia, negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan mitra strategis Tiongkok dalam berbagai proyek infrastruktur, termasuk kereta cepat Jakarta--Bandung? Apakah ini bentuk pengabaian, sinyal ketegangan tersembunyi, atau justru bentuk kepercayaan bahwa relasi kedua negara sudah cukup stabil?
Jawabannya tidak sesederhana urusan diplomasi biasa. Salah satu alasan utama adalah posisi Indonesia dalam rantai pasok dan rantai nilai global. Berbeda dengan Vietnam dan Malaysia yang telah menjadi simpul penting dalam perakitan barang-barang manufaktur dan elektronik untuk pasar Amerika, Indonesia masih lebih banyak berperan sebagai pemasok bahan mentah. Dalam konteks perang dagang, Tiongkok lebih berkepentingan mengamankan jalur-jalur logistik dan manufaktur yang rawan terganggu akibat tarif Trump. Vietnam dan Kamboja, misalnya, kerap menjadi jalur transshipment barang-barang Tiongkok untuk menghindari beban tarif masuk ke pasar AS. Indonesia, yang tidak terlalu terlibat dalam jalur ini, tidak menjadi prioritas dalam konteks tersebut.
Di sisi lain, Indonesia selama ini menerapkan politik luar negeri bebas dan aktif yang menjauhi keberpihakan terbuka dalam konflik global. Pemerintah Indonesia berhati-hati menjaga keseimbangan relasi dengan Washington dan Beijing, sehingga kunjungan Xi justru bisa memberi kesan yang terlalu condong ke satu kutub. Dengan tidak menyambangi Indonesia, Tiongkok justru memberi ruang bagi Jakarta untuk mempertahankan posisi netralnya, sembari menjaga hubungan bilateral tetap berjalan lancar di belakang layar.
Tak kalah penting, kondisi politik domestik Indonesia pasca pemilu juga turut memengaruhi konteks diplomasi. Tiongkok mungkin menilai bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk kunjungan tingkat tinggi, ketika transisi pemerintahan masih dalam proses dan perhatian publik tersita oleh dinamika internal.
Akhirnya, ketidakhadiran Indonesia dalam daftar negara yang dikunjungi Xi Jinping bukanlah sinyal negatif, melainkan cerminan dari pertimbangan geopolitik yang lebih kompleks. Justru, dalam dunia yang semakin multipolar dan penuh ketegangan, ketidakhadiran bisa menjadi bentuk penghormatan terhadap otonomi diplomatik Indonesia. Dalam senyap, hubungan tetap dijaga. Dalam diam, strategi tetap dimainkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI