Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Game of Chicken, Trump vs Xi Jinping

10 April 2025   11:32 Diperbarui: 10 April 2025   11:32 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photorealistic-view-rooster-with-beak-feathers (Ilustrasi)/Image by freepik

Dalam dunia teori permainan, game of chicken adalah salah satu metafora strategis yang paling dramatis dan berisiko tinggi. Istilah ini pertama kali dikembangkan oleh ekonom dan ahli strategi nuklir Thomas C. Schelling dalam bukunya The Strategy of Conflict (1960). Schelling mengilustrasikan:

bagaimana dua aktor rasional dapat terjebak dalam situasi di mana masing-masing berupaya mempertahankan posisi keras dengan harapan pihak lawan menyerah lebih dulu, namun jika keduanya bersikeras, konsekuensinya bisa sangat destruktif bagi keduanya.

 Salah satu penerapan awal yang paling terkenal dari logika ini terjadi pada Krisis Rudal Kuba (1962), ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet saling berhadapan dalam konfrontasi nuklir yang hanya bisa dihindari karena salah satu pihak akhirnya memilih untuk mundur secara terhormat.

Dalam konteks kontemporer, pola yang sama tampak nyata dalam konflik dagang antara Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping, terutama dalam periode eskalasi tarif yang kembali mengemuka pada masa jabatan kedua Trump. Dengan memberlakukan tarif sebesar 104 persen terhadap barang-barang asal Tiongkok, Trump melemparkan tantangan terbuka yang segera direspons Beijing dengan tarif balasan sebesar 84 persen terhadap produk Amerika Serikat. Tidak hanya itu, kedua negara juga menempuh langkah-langkah non-tarif: Tiongkok menetapkan kontrol ekspor terhadap perusahaan AS, sementara Amerika mendorong relokasi manufaktur dari Asia ke wilayah domestik sebagai bentuk strategi reshoring.

Karakteristik utama dari game of chicken terlihat jelas di sini. Trump menggunakan taktik ancaman terbuka dan peningkatan ketegangan untuk memaksa pihak lain bernegosiasi dalam posisi lemah. Namun, Xi Jinping juga terikat pada imperatif politik domestik yang menuntut kekuatan dan ketegasan dalam menghadapi tekanan asing. Seperti dalam skenario mobil yang melaju saling berhadapan tanpa mau mengalah, keduanya justru mempersempit ruang kompromi. Dalam analisis hubungan internasional, situasi ini dikenal sebagai brinkmanship---suatu seni membawa konflik ke tepi jurang untuk memperoleh konsesi, namun dengan risiko bahwa ketidakmampuan untuk mundur akan memicu bencana sistemik.

Konflik dagang ini tidak semata-mata tentang neraca perdagangan, melainkan juga menyangkut klaim atas dominasi global dalam bidang teknologi, logistik, dan geopolitik kawasan. Menurut analisis Scott Kennedy dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), bagi Tiongkok, eskalasi ini menyentuh urat nadi legitimasi Partai Komunis dalam mempertahankan kedaulatan dan kontrol ekonomi. Sementara bagi Trump, konfrontasi ini merupakan bagian dari narasi domestik tentang membela pekerja Amerika dan menantang ketergantungan terhadap globalisasi.

Akan tetapi, seperti halnya dalam game of chicken klasik, jika tidak ada pihak yang mengalah, semua pihak bisa kalah. Dampak ekonomi global dari eskalasi ini sangat luas: pasar saham jatuh, harga minyak merosot, rantai pasok terganggu, dan negara-negara kecil seperti Lesotho pun terkena imbas tarif tinggi. Ketegangan ini bahkan meluas ke aspek keamanan, seperti potensi friksi terkait Taiwan dan pembatasan teknologi strategis seperti semikonduktor.

Sebagai kerangka analisis, game of chicken menawarkan pemahaman penting bahwa rasionalitas dalam politik global sering kali dibentuk oleh persepsi risiko dan ketidaksediaan untuk tampak lemah. Dalam situasi seperti ini, bukan solusi win-win yang dicari, melainkan kemenangan simbolik atas lawan. Dan dalam dunia di mana harga dari kegagalan kompromi adalah disintegrasi sistem perdagangan internasional, kita semua menjadi penumpang dalam mobil yang melaju tanpa rem.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun