Apakah jabatan publik hari ini masih mencerminkan fungsi dan kompetensi, ataukah ia telah menjelma menjadi sekadar hadiah politik? Pertanyaan ini mengemuka saat kita menyaksikan fenomena penempatan orang-orang yang tidak memiliki keahlian di posisi strategis, hanya karena kedekatannya dengan lingkar kekuasaan. Fenomena ini bukan sekadar masalah teknokratis, melainkan gejala yang jauh lebih dalam, yang dalam kerangka mile Durkheim disebut sebagai anomie---suatu keadaan di mana norma sosial menjadi kabur, tidak terinternalisasi, atau bahkan ditinggalkan.Durkheim, dalam karya monumentalnya The Division of Labour in Society (1893), menyatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh solidaritas organik, yakni keterhubungan sosial yang dibangun atas dasar diferensiasi peran dan keahlian. Dalam masyarakat semacam ini, jabatan memiliki fungsi yang melekat: ia harus diisi oleh orang yang memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan sistem. Namun, ketika jabatan diberikan atas dasar loyalitas politik, kedekatan pribadi, atau imbalan elektoral, maka struktur sosial menjadi disfungsional. Fungsi tidak lagi ditentukan oleh kebutuhan sistem, tetapi oleh kalkulasi kuasa. Di sinilah Durkheim memperingatkan bahaya anomie: ketika sistem sosial kehilangan aturan yang membimbing distribusi peran secara wajar, maka kohesi sosial akan melemah, dan kepercayaan terhadap institusi pun runtuh.
Jabatan dalam birokrasi, khususnya di lembaga-lembaga strategis seperti BUMN, kementerian, atau lembaga negara, seharusnya menjadi instrumen untuk melayani kepentingan publik. Namun dalam praktik politik patronase, jabatan menjadi komoditas yang dipertukarkan. Seorang tokoh publik bisa saja mendadak menjadi komisaris atau pejabat struktural, meskipun tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman di bidang terkait. Ia ditunjuk bukan karena kapabilitasnya, melainkan karena kontribusinya dalam pemenangan politik. Tindakan semacam ini tidak hanya melanggar prinsip meritokrasi, tapi juga menghancurkan semangat reformasi birokrasi yang telah diperjuangkan bertahun-tahun.
Yang lebih mengkhawatirkan, anomie tidak hanya berhenti pada individu yang ditunjuk secara tidak layak. Ia menjalar ke dalam sistem organisasi, menimbulkan demotivasi di kalangan profesional yang merasa usaha dan prestasinya tidak dihargai. Mereka yang bekerja keras dan memenuhi syarat jabatan merasa teralienasi dalam sistem yang lebih menghargai loyalitas daripada kompetensi. Ini menciptakan disonansi moral di dalam organisasi dan memperkuat budaya permisif terhadap pelanggaran etika.
Durkheim percaya bahwa hanya melalui internalisasi norma yang adil dan sistem pembagian kerja yang rasional, masyarakat dapat mempertahankan integrasi sosialnya. Oleh karena itu, penunjukan jabatan berdasarkan kedekatan adalah bentuk regresi sosial, membawa kita mundur dari masyarakat modern yang terorganisir secara fungsional menuju tatanan yang feodalistik dan arbitrer. Dalam kerangka ini, jabatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab publik justru berubah menjadi bentuk dominasi simbolik---ia menjadi penanda status sosial yang dipakai untuk mempertegas siapa yang "berkuasa" dan siapa yang "berutang".
Kita hidup di era anomie ketika jabatan kehilangan makna fungsionalnya, ketika sistem tidak lagi menghargai keahlian, dan ketika kekuasaan berjalan tanpa norma. Reformasi birokrasi tidak akan pernah berhasil jika kita terus menoleransi praktik-praktik semacam ini. Perlu keberanian untuk menegakkan kembali etika jabatan, mendudukkan kembali posisi publik sebagai amanah, bukan ganjaran. Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa yang bertahan bukanlah yang paling kuat, melainkan yang mampu mempertahankan integritas dalam sistemnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI