Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Konsep-konsep Viral Sehubungan dengan Tarif Resiprokal Trump

7 April 2025   10:12 Diperbarui: 7 April 2025   10:12 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, ia tidak hanya mengguncang tatanan politik dalam negeri, tetapi juga mendobrak cara dunia memandang perdagangan internasional. Salah satu senjata utamanya dalam diplomasi ekonomi adalah tarif---lebih tepatnya, tarif resiprokal. Dalam narasinya, Trump menyatakan bahwa Amerika harus membalas setiap negara yang mengenakan tarif tinggi terhadap produk Amerika dengan tarif yang sama tingginya. Namun dari kebijakan ini muncul lebih dari sekadar perang dagang. Ia melahirkan serangkaian konsep baru---dan bahkan viral---yang memaksa publik dan akademisi mengkaji ulang makna tarif dalam ekonomi modern.

Konsep pertama yang paling mendasar adalah bahwa tarif adalah pajak. Retorika Trump sering menggambarkan tarif seolah-olah dibayar oleh negara asing, khususnya China, padahal secara nyata, tarif dikenakan kepada importir domestik dan kemudian dibebankan kepada konsumen. Tarif menaikkan harga barang impor di pasar lokal, sehingga menjadi bentuk perpajakan terhadap masyarakat sendiri. Slogan "Tariffs are taxes" menjadi seruan dari banyak ekonom terkemuka yang berupaya meluruskan kekeliruan retorika politik tersebut.

Tarif juga berubah fungsi menjadi alat tawar dalam diplomasi dagang. Dalam kasus renegosiasi NAFTA menjadi USMCA, atau tekanan terhadap China dan Uni Eropa, Trump menggunakan tarif layaknya kartu remi dalam permainan geopolitik. Ia bukan lagi instrumen proteksi pasif, tetapi senjata aktif untuk memaksa negara lain mengubah kebijakannya. Konsep ini mencerminkan perubahan besar dalam logika kebijakan perdagangan: dari proteksionisme konvensional menjadi taktik negosiasi agresif.

Di sisi lain, tarif menjelma menjadi simbol nasionalisme ekonomi. Dalam pidato-pidatonya, Trump menyandingkan tarif dengan semangat "America First", seolah-olah tarif adalah bukti keberpihakan pemerintah kepada buruh dan industri dalam negeri. Efek ekonominya mungkin masih diperdebatkan, tetapi kekuatan simboliknya tak bisa diabaikan. Tarif menjadi lambang perlawanan terhadap globalisasi yang dianggap merugikan rakyat biasa.

Namun di balik simbolisme itu, tarif sesungguhnya menciptakan redistribusi tersembunyi. Ketika negara memberlakukan tarif, konsumen membayar lebih mahal, sementara industri dalam negeri yang dilindungi menikmati keuntungan. Ini serupa dengan pemberian subsidi, tetapi tanpa proses legislatif yang transparan. Akibatnya, tarif menjadi instrumen fiskal tersembunyi yang mengalihkan beban dari industri ke masyarakat umum.

Dalam konteks produksi global, tarif juga menghadirkan tantangan baru. Di era rantai pasok global, barang impor bukan lagi produk akhir, melainkan bagian dari proses manufaktur lintas negara. Menampar tarif kepada China atau Meksiko bisa berarti menaikkan biaya produksi perusahaan Amerika sendiri yang bergantung pada bahan baku dan komponen dari luar negeri. Alih-alih melindungi, tarif justru bisa merusak efisiensi dan daya saing global dari perusahaan-perusahaan dalam negeri.

Lebih jauh lagi, Trump sempat melontarkan gagasan bahwa tarif dapat menggantikan pajak penghasilan. Ini adalah sebuah fantasi fiskal. Data dari Congressional Budget Office menunjukkan bahwa penerimaan dari tarif hanya sekitar 1--2 persen dari total pendapatan federal, sementara pajak penghasilan menyumbang sekitar setengahnya. Selain tidak cukup secara nominal, tarif juga bersifat regresif: mereka lebih membebani masyarakat berpendapatan rendah yang menghabiskan proporsi lebih besar dari pendapatannya untuk konsumsi barang. Menggantikan pajak penghasilan dengan tarif bukan hanya tidak realistis, tetapi juga tidak adil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun