Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Financial

Kemungkinan Danantara Mendanai Proyek Tiga Juta Rumah

3 April 2025   14:14 Diperbarui: 3 April 2025   09:30 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembangunan peumahan (Ilustrasi)/AI generated

Baru beberapa bulan dilantik, pemerintahan Presiden Prabowo langsung menggebrak dengan program ambisius: membangun tiga juta rumah setiap tahun. Targetnya bukan main: tiga puluh juta rumah dalam sepuluh tahun. Rumah-rumah ini akan dialokasikan untuk petani, nelayan, TNI, POLRI, tenaga kesehatan, migran, bahkan wartawan. Ide besar ini tidak hanya menyentuh dimensi sosial, tetapi juga dianggap sebagai motor penggerak ekonomi nasional. Lalu muncullah nama Danantara, lembaga pengelola investasi negara yang baru dibentuk, untuk ikut membiayai proyek ini. Pertanyaannya, mungkinkah?Sebagai lembaga sejenis sovereign wealth fund (SWF), Danantara sejatinya diharapkan mampu menjadi lengan investasi strategis pemerintah. Ia mengelola potensi dana jumbo dari bank-bank BUMN dan perusahaan besar negara seperti PLN dan Pertamina. Tapi berbeda dengan APBN yang bersifat pengeluaran negara, Danantara didesain untuk berinvestasi---artinya, ia tidak boleh asal gelontor uang tanpa kalkulasi untung-rugi yang terukur. Maka ketika Menteri Perumahan, Maruarar Sirait, mengajukan permohonan kepada Danantara untuk ikut membiayai proyek tiga juta rumah, tantangan sesungguhnya justru dimulai.

Dalam perspektif investor seperti Temasek di Singapura, yang sudah puluhan tahun membiayai proyek sosial-urban lewat model HDB, keterlibatan dalam proyek semacam ini tidak bisa hanya berdasarkan good will politik. Harus ada kepastian: bagaimana pengembaliannya? Apakah ini benar-benar berdampak pada masyarakat bawah? Apakah ada mekanisme untuk mencegah kebocoran subsidi? Dan apakah proyek ini memiliki tata kelola yang cukup kuat agar tidak berubah menjadi proyek mercusuar semata?

Pelajaran dari subsidi LPG 3 kg barangkali patut diingat. Dalam praktiknya, subsidi itu banyak tidak dinikmati oleh masyarakat miskin, justru lebih sering memperkaya pihak perantara. Bayangkan jika itu terjadi pada subsidi rumah: rumah bersubsidi malah diborong oleh pengembang, dijual kembali di pasar sekunder, dan masyarakat miskin tetap gigit jari. Maka bagi Danantara, kunci keberhasilan bukan sekadar berani menyuntik dana, tetapi juga mampu membangun sistem seleksi penerima manfaat yang presisi, transparan, dan antikorupsi.

Yang juga penting adalah model pembangunannya. Dengan target jutaan rumah, pendekatan horizontal alias rumah tapak bisa tidak efisien, terutama di kota besar. Maka pengembangan hunian vertikal terjangkau menjadi pilihan yang logis. Ini meniru pendekatan HDB Singapura yang berhasil membangun jutaan unit flat dengan sistem subsidi silang dan kontrol harga tanah. Jika Danantara serius, mereka perlu menggandeng lembaga seperti Temasek atau Khazanah untuk belajar bagaimana investasi sosial bisa tetap berkelanjutan secara finansial.

Agar tidak terjebak pada euforia angka besar, proyek ini sebaiknya dimulai dari pilot project di tiga atau lima provinsi terlebih dahulu. Uji coba 100 ribu unit rumah dengan sistem pembiayaan campuran---subsidi pemerintah, kredit lunak bank BUMN, dan investasi returnable dari Danantara---bisa jadi laboratorium nyata. Dari sana bisa dinilai apakah model ini efisien, apakah benar rumahnya terbangun, dihuni, dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Keterlibatan Danantara idealnya tidak berhenti sebagai pemberi dana. Justru peran yang lebih penting adalah sebagai penghubung antara berbagai pihak---dari pengembang, bank penyalur KPR, pemerintah daerah, hingga lembaga pengawas. Danantara bisa menjadi semacam "penjaga ekosistem" pembangunan perumahan nasional, bukan hanya tukang setor uang.

Bila dikelola dengan benar, program tiga juta rumah ini memang punya potensi menjadi terobosan sejarah, bukan hanya dalam pembangunan fisik tetapi juga dalam cara negara membiayai kebijakan sosial. Namun kalau asal dijalankan tanpa rancang bangun kelembagaan yang kokoh, bisa saja proyek ini berubah menjadi proyek gagal yang menyedot dana publik tanpa hasil yang berarti. Dan di situlah peran Danantara menjadi krusial: sebagai garda depan inovasi investasi negara, atau sekadar nama baru dalam daftar lembaga yang mengecewakan.

Jadi, mungkinkah Danantara mendanai proyek tiga juta rumah? Jawabannya: mungkin saja. Tapi hanya jika niat baik itu disertai tata kelola yang cermat, keberanian menguji skema baru, dan kesediaan belajar dari mereka yang sudah lebih dahulu berhasil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun