Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan perdagangan global kembali dipenuhi ketegangan, terutama sejak Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump memberlakukan tarif resiprokal (Reciprocal tariffs) sebagai bagian dari strategi proteksionis.Â
Kebijakan ini bertumpu pada logika sederhana namun kuat secara politis: jika negara lain mengenakan tarif 25% atas barang Amerika, maka Amerika akan membalas dengan tarif yang sama.Â
Sekilas, pendekatan ini tampak adil---perlakuan yang setara sebagai bentuk timbal balik. Namun, dari sudut pandang ekonomi politik internasional, keadilan semacam ini justru mengandung kontradiksi yang dalam, khususnya bagi negara berkembang.
Tarif resiprokal menekankan keadilan formal: semua negara diperlakukan sama, tanpa membedakan kapasitas ekonomi, tingkat pembangunan, atau kebutuhan struktural domestik.Â
Padahal, dalam sistem perdagangan internasional, tidak semua negara memulai dari titik yang sama. Negara berkembang---seperti Indonesia---masih bergulat dengan tantangan industrialisasi, ketergantungan pada ekspor primer, dan defisit neraca perdagangan teknologi.Â
Dalam konteks ini, perlakuan tarif yang sama dapat berujung pada hasil yang sangat tidak setara. Inilah alasan mengapa WTO memberikan ruang bagi perlakuan khusus dan diferensiasi (special and differential treatment) bagi negara berkembang.
Tarif yang tinggi di negara berkembang bukanlah bentuk "kecurangan dagang", melainkan strategi pembangunan yang telah diakui secara historis.Â
Banyak negara yang kini maju dulunya juga mempraktikkan proteksionisme, dari tarif industri baja Inggris di abad ke-19 hingga kebijakan substitusi impor di Korea Selatan dan Jepang pasca perang. Bahkan ekonom seperti Chang (2003) dan  Gallagher (2020) berpendapat bahwa negara maju saat ini "menendang tangga" yang dulu mereka pakai untuk naik---mereka mendesak liberalisasi di negara berkembang setelah sebelumnya membangun industrinya lewat proteksi.Â
Maka ketika AS menuntut tarif simetris dari negara seperti Indonesia, sesungguhnya terjadi erosi terhadap hak historis negara berkembang untuk membangun dengan cara yang sama.
Dari sisi Amerika Serikat, tuntutan resiprositas berangkat dari persepsi bahwa sistem perdagangan global tidak adil karena membiarkan negara-negara lain mengenakan tarif tinggi sementara AS membuka pasarnya. Namun, argumen ini sering kali mengabaikan manfaat jangka panjang yang diterima negara maju dari pertumbuhan negara berkembang.Â
Pasar baru, stabilitas global, dan ekspansi korporasi multinasional adalah hasil langsung dari keterlibatan dalam pembangunan ekonomi global. Dengan mendorong tarif simetris tanpa memperhitungkan perbedaan kapasitas, AS justru berisiko melemahkan tatanan ekonomi yang selama ini menopang dominasinya sendiri.