Donald Trump kembali menciptakan gelombang di pentas politik dan ekonomi global. Melalui kebijakan tarif yang agresif dan pernyataan kontroversial soal wilayah asing, ia menunjukkan bahwa ambisinya jauh melampaui sekadar kampanye elektoral biasa. Dunia, sekali lagi, dipaksa menghadapi pola pikir pemimpin yang memperlakukan ekonomi, diplomasi, bahkan geografi, sebagai alat tawar-menawar dalam agenda personalnya.
Langkah terbaru Trump dalam memberlakukan tarif 25% atas mobil yang diimpor ke Amerika Serikat dan ancaman tarif 25% bagi negara-negara yang membeli minyak dari Venezuela menunjukkan pola lama yang kembali dihidupkan: nasionalisme ekonomi sebagai instrumen kekuasaan. Kebijakan ini bukan hanya menaikkan harga mobil dan minyak di pasar domestik, tetapi juga mengganggu stabilitas rantai pasok global yang selama ini menopang industri otomotif Amerika. Beberapa model kendaraan buatan Meksiko, Kanada, bahkan negara-negara Eropa, langsung terancam ditarik dari pasar AS.
Namun, ekonomi hanya permukaan dari ambisi Trump. Dalam beberapa pidatonya, ia menyiratkan keinginan untuk menguasai kembali Terusan Panama, yang telah berada di bawah kendali penuh Panama sejak tahun 1999. Trump menyebut terusan itu sebagai "aset strategis yang dilepaskan secara sembrono" dan menyampaikan kekhawatiran tentang meningkatnya investasi Tiongkok di sekitarnya. Retorika ini menghidupkan kembali ketegangan geopolitik klasik: dominasi atas jalur laut global sebagai instrumen pengaruh imperial.
Tidak berhenti di situ, Trump juga menyinggung Kanada sebagai wilayah yang "secara historis selalu dekat dengan Amerika." Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan bahwa "kanada membutuhkan struktur pemerintahan yang lebih sinkron dengan nilai-nilai rakyat Amerika." Walau tidak secara eksplisit menyatakan ambisi mencaplok, retorika semacam ini memberi isyarat pada pembentukan kembali batas-batas simbolik, dan bahkan literal, Amerika Utara. Dalam wacana geopolitik, ini dikenal sebagai narasi revisionist, di mana negara besar merumuskan ulang tata wilayah berdasarkan kepentingan strategisnya sendiri.
Praktik balas dendam dagang pun tak bisa dihindari. Saat Trump menaikkan tarif baja dan aluminium pada periode pertamanya, Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa langsung membalas dengan tarif terhadap produk-produk unggulan AS seperti bourbon, kedelai, dan motor Harley-Davidson. Kini, dengan kebijakan tarif mobil dan minyak yang baru, negara-negara tersebut bersiap melakukan hal serupa. Perang dagang tidak lagi menjadi kemungkinan, melainkan pola yang berulang.
Di tengah semua ini, Trump membentuk DOGE---Department of Government Efficiency---dipimpin oleh Elon Musk. DOGE disebut sebagai mesin pemangkasan birokrasi, tetapi dalam praktiknya menjadi instrumen politik untuk menyingkirkan lembaga dan kebijakan yang tidak sejalan dengan agenda Trump. Termasuk di dalamnya adalah pemangkasan USAID, pembatalan kontrak keberagaman (DEI), dan upaya pengambilalihan lembaga perlindungan konsumen. Pemerintahan yang digambarkan Trump bukan lagi negara hukum, tetapi negara manajerial dengan efisiensi korporat sebagai justifikasi untuk memusatkan kekuasaan.
Dunia kini berada dalam posisi bertahan. Investor menahan napas, mitra dagang menghitung ulang eksposurnya terhadap risiko politik AS, dan negara-negara tetangga seperti Kanada serta Panama mulai menyusun langkah-langkah diplomatik untuk merespons retorika ekspansif Trump. Bagi Trump, tidak ada kebijakan luar negeri; yang ada hanyalah transaksi. Dunia bukan mitra, tetapi papan catur.
Jika selama ini kebijakan luar negeri AS didasarkan pada stabilitas dan keterikatan pada tatanan internasional, maka Trump menawarkan hal sebaliknya: dunia sebagai zona bebas aturan, di mana yang kuat boleh mendikte. Tarif bukan sekadar alat fiskal, melainkan peluru dalam senjata politiknya. Terusan bukan sekadar jalur pelayaran, melainkan simbol kendali. Dan peta bukan sekadar representasi wilayah, melainkan naskah yang bisa digambar ulang sesuai keinginan sang produser.
Di bawah Trump, dunia kembali menjadi panggung ketidakpastian. Bukan karena kekacauan yang tak disengaja, melainkan karena kekacauan itu dirancang, dipelihara, dan diposisikan sebagai kekuatan tawar. Dari tarif mobil hingga peta ulang Amerika Utara, dunia memang benar-benar dalam bidikan Trump.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI