"Had, elu tau kan, kalau kawan kawan jurnalis liputan ke acaranya pak menteri A (seorang menteri di era Kabinet Indonesia Maju), yang ditunggu bukan hasil acaranya, tapi celetukan dari pak menteri. Biasanya itu yang lebih punya 'nilai' berita, dan engagement-nya tinggi lhoo saat diberitakan,"
Demikian ujar kawan saya, seorang redaktur di media daring. Dan benar saja. Beberapa kali media daring pada saat itu lebih kerap menyajikan berita yang berasal dari celetukan dan ucapan spontan sang menteri. Adapun kabar-kabar terkait acara yang diselenggarakan, juga tetap disajikan, namun pemberitaannya tak sebesar berita soal celetukan itu.
Situasi tersebut menjadi tak terhindarkan, sejaan kian berkembangnya era jurnalisme digital, yang menjadikan 'klik' sebanyak mungkin sebagai arah pemberitaan. Istilah klik di sini mengacu pada suara yang timbul saat seseorang mengetuk gawai untuk membaca berita.
Dalam buku Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital, dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta, Agus Sudibyo, menyebutkan, ketika trafik telah menjadi paradigma pemberitaan, tren jurnalisme click bait pun mengemuka. Media-media siber terdorong untuk lebih mengejar kuantitas berita daripada kualitas.
"Media massa sering memproduksi berita dengan orientasi menghasilkan sebanyak mungkin klik, share, komentar, dan interaksi pembaca di sekitar konten. Upaya mengejar trafik lebih dominan dibandingkan upaya mendiskusikan solusi untuk mengatasi masalah," tulisnya.
Beberapa waktu lalu, sebuah pemberitaan melintas di lini masa media sosial saya. Judulnya:
Menko PMK Mengaku Ngantuk Saat Ditanya soal Kasus Balita Meninggal akibat Cacingan
Inti dari isi berita itu, adalah saat ditanya oleh awak media terkait kasus meninggalnya RY (4) di Sukabumi setelah infeksi cacing di tubuhnya, Menko Bidang PMK Pratikno enggan menanggapi lebih lanjut. Ia malah nyeletuk dirinya mengantuk usai melaksanakan Rapat Tingkat Menteri Percepatan Penanganan Pascabencana Erupsi Gunung Api Lewotobi.
"Detailnya nanti di Kemenkes ya, kamu enggak tahu saya ini agak ngantuk dikit ya," jawab Pratikno sembari menunjuk dirinya dan tertawa.
Tentu saja judul berita Pratikno Mengantuk akan lebih menarik dan eye catching. Daripada misalnya Pratikno Pelajari Kasus Meninggalnya Bocah Akibat Cacing.
Pembaca akan lebih penasaran dengan 'Mengapa Pratikno mengantuk?'. Karena jika 'Pratikno meminta kasus anak meninggal karena infeksi cacing ditanyakan kepada Kemenkes' tentu sudah menjadi hal yang biasa, karena tugas Pratikno mengorkestrasi tugas kementerian di bawahnya, termasuk Kemenkes, sehingga bukan sesuatu yang membuat pembaca menjadi penasaran.
Dalam jagad pemberitaan masa kini, upaya memaksimalkan jumlah keterbacaan tiap artikel berita, menjadi situasi yang dihadapi. Termasuk oleh media mainstream yang berbasis digital.
Semakin banyak yang membaca sebuah artikel, semakin menggelembung pula pageview sebuah media.
Kondisi ini pun kerap diasosiasikan dengan peluang untuk mendapatkan pengiklan. Apalagi sistem iklan yang berkembang saat ini sudah merambah pada layanan AdSense, dimana penerbit berita bisa memperoleh pendapatan dari setiap pembaca yang melihat iklan di berita.
Tak jarang pula, demi mendapatkan jumlah pembaca yang signifikan, media mainstream maupun non-mainstream mengutip pernyataan pejabat secara tak utuh.
Celakanya, pemotongan pernyataan tersebut, justru berpotensi memicu polemik di kalangan pembaca berita digital. Apalagi, sekat antara media mainstream dan non-mainstream kini kian bias, karena situs berita mainstream pun turut memanfaatkan jumlah keterbacaan berita sebagai basis pendapatan.
10 September 2025. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Fraksi Gerindra Rahayu Saraswati mengunggah video pernyataan pengunduran dirinya sebagai anggota DPR RI, melalui akun media sosialnya.
Perempuan yang akrab disapa Saras ini mengatakan, pengunduran dirinya sebagai anggota DPR berkaitan dengan pernyataan yang pernah ia lontarkan di siniar Antara TV pada Februari 2025 soal penyediaan lapangan pekerjaan. Dia menyebut pernyataannya itu dipotong oleh orang tak dikenal, dan menjadi viral di media sosial pada pertengahan Agustus lalu.
Video yang dimaksud Saras, aslinya merupakan siniar di Antara TV dengan judul "Rahayu Saraswati Kupas Isu Perempuan hingga Kolaborasi Ekonomi Kreatif" yang tayang pada 28 Februari 2025.
Video itu aslinya berdurasi 42 menit. Namun ada yang memotong video tersebut di menit ke-25 hingga ke-27, yang menimbulkan mulittafsir.
Dalam potongan video itu, intinya, Saras meminta agar anak-anak muda tidak bergantung ke pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Sebab, katanya, berharap ke pemerintah untuk memberikan pekerjaan hanya boleh terjadi di zaman kolonial.
"Karena dengan kemajuan teknologi yang ada di dunia saat ini, jangan bersandar kepada sektor-sektor yang sebenarnya sudah melalui masa-masa automasi,"Â ujar perempuan yang juga aktris film ini.
Saras pun menyatakan bertanggung jawab penuh atas pernyataan tersebut, meski hanya berupa potongan yang tak utuh karena sudah dipotong sedemikan rupa. Saras pun meminta maaf karena pernyataannya telah menyakiti masyarakat.
"Saya paham bahwa kata-kata saya telah menyakiti banyak pihak, terutama yang saat ini masih berjuang untuk menghidupi keluarganya" ujar keponakan Presiden Prabowo Subianto itu.
"Persaingan antar media online sekarang keras, Hadi. Sekarang grup media ini lagi ngejar posisi media online yang paling banyak dibaca, yang posisinya sekarang diduduki grup media sebelah,"Â ujar salah seorang kawan saya yang menjabat sebagai redaktur pelaksana di sebuah media online.
Ya, jawaban seperti yang dikemukakan oleh kawan saya itu, mungkin wajar Anda dapatkan jika bertanya pada awak jurnalis media online di Tanah Air saat ini.
Apalagi di era monetisasi informasi yang disebarkan melalui internet dewasa ini, media digital tak ketinggalan ingin memanfaatkan cara menebalkan 'pundi-pundi' melalui pageview. Pundi-pundi inilah yang isinya digunakan untuk mendanai operasional agar media tersebut tetap eksis, termasuk untuk menggaji jurnalis yang bernaung di dalamnya.
Akan tetapi, di era berita berbasis pageview saat ini, yang paling mungkin dirugikan adalah pembaca berita. Itu karena berita clickbait bisa jadi malah 'menipu' curiosity gap pembaca.
Terlebih ketika media sosial dan mesin peramban bekerja dengan algoritma dalam personalisasi hasil pencarian berita. Warganet bisa jadi akan semakin terkungkung dalam misinformasi, alih-alih mendapat informasi yang berkualitas malah dihujani berita-berita yang bersifat clickbait.
Ah tiba-tiba saya teringat sebuah video peringatan Hari Anak Nasional Tahun 1994, yang seingat saya mulai beredar luas sejak sekitar tahun 2016. Dalam bagian video itu, seorang bocah berusia 10 tahun asal Banggai, Sulawesi Tengah, bernama Hamli Ngidani, bertanya pada Presiden Soeharto.
"Saya mau tanya, mengapa presiden di Indonesia cuma satu padahal Indonesia sangat luas?"
Presiden ke-2 RI itu pun menjawab panjang lebar diiringi gelak tawa hadirin.
"Ya, terang itu. Nanti kalau...presiden itu hanya satu, untuk mimpin bangsa dan negara. Kalau sampai dua-tiga, itu nanti lantas tidak bisa berjalan dengan baik. Banyak pemimpin, banyak kapten, kemudian lantas ya negara menjadi rusak, gitu. Tapi terang bahwasanya presiden yang satu ini hanya melaksanaken yang jadi diputuskan oleh rakyat, melewati MPR, menentukan Garis Besar Haluan Negara."
"Walaupun satu tapi sebenernya terikat kepada Garis Besar Haluan Negara. Terikat kepada pancasila. Terikat kepada Undang-Undang Dasar 1945. Jadi memang ndak boleh (presiden lebih dari satu). Menurut undang-undangnya hanya satu, tidak boleh lebih. Satu saja hanya untuk lima tahun, setelah lima tahun boleh dipilih lagi, untuk berapa? Lima tahun. Setelah lima tahun, kemudian atas pertanggungjawaban, bisa juga dipilih lagi, untuk berapa? Untuk lima tahun. Dan seterusnya."
"Kenapa kamu tanya begitu? Heh? Kenapa? Siapa yang suruh, siapa? Hahahaha. Karena hanya ingin tahu saja? Kalau di rumah kan juga begitu, kan tidak ada bapak dua-tiga, ya tho? Bapak itu hanya satu tho. Ha iya, yang memimpin rumah tangga itu bapakmu, hanya satu juga."
Mungkin jika saat itu sudah berkembang era jurnalisme berbasis clickbait, maka akan muncul berita dengan tajuk:
Ditanya Mengapa Presiden Hanya Satu, Soeharto: Siapa Suruh Tanya Begitu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI