Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis

Historia Magistra Vitae (Sejarah adalah guru bagi kehidupan)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Vonis Mati yang Menyentuh Relung Hati

20 Februari 2023   19:27 Diperbarui: 21 Februari 2023   23:21 1784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hukuman mati. (Sumber foto: Pixabay)

Suatu hari di tahun 1962, Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat Mayjen S Parman datang menghadap Presiden Soekarno membawa berkas dan surat keputusan hukuman mati yang harus ditandatangani oleh Soekarno selaku presiden RI.Namun ketika berkas dan surat itu diserahkan, Bung Karno tidak langsung menandatangani namun meminta Parman untuk kembali datang setelah Maghrib.

Bung Karno seolah meminta waktu untuk merenungi surat keputusan hukuman mati yang disodorkan kepadanya oleh Mayjen S Parman. Karena nama terdakwa yang harus ditandatangani SK hukuman matinya itu adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Nama itu bukanlah nama yang asing bagi Soekarno. Mereka berdua adalah murid dari guru yang sama, HOS Tjokroaminoto. Bung Karno dan Kartosoewirjo bahkan pernah tinggal dalam satu atap saat indekos di rumah Tjokroaminoto di Surabaya dan di rumah Haji Sanusi---suami Inggit Garnasih sebelum menikah dengan Soekarno---di Bandung.

Setelah Indonesia merdeka, dua murid Tjokroaminoto yang sama-sama berkarakter keras kepala ini, memilih jalan ideologisnya masing-masing dalam bernegara. Kartosoewirjo yang kecewa terhadap pemerintah, berupaya mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Namun upaya tersebut justru membawa pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 ini menjadi tokoh yang paling dicari oleh TNI di Jawa Barat.

Riwayat pemberontakan Kartosoewirjo pun berakhir dengan penangkapannya oleh Kompi C Batalyon 328 Kujang II Kodam Siliwangi. Saat ditangkap, Kartosoewirjo sudah dalam kondisi lemah akibat terserang komplikasi penyakit. Pengadilan Mahkamah Militer pun menyatakan Kartosoewirjo bersalah dan menjatuhkan hukuman mati padanya.

Namun eksekusi hukuman mati Kartosoewirjo sempat tertunda selama tiga bulan karena Presiden Soekarno enggan menandatangani surat keputusan hukuman mati. Dan tanpa tanda tangan Sukarno, hukuman mati terhadap Kartosoewirjo takkan pernah dilakukan.

Penulis Solichin Salam dalam bukunya, Soekarno-Hatta, seperti dikutip Sejarawan Alwi Shahab, pernah bertanya kepada Bung Karno, "Apakah Bapak pernah menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang?" Bung Karno menjawab, "Pernah. Itu pun hanya sekali dan dengan hati yang berat."

Ya, satu-satunya vonis mati yang ditolak grasinya oleh Bung Karno itu, adalah vonis mati terhadap Kartosoewirjo. Presiden pertama itu bahkan kembali  deep thinking usai disodori surat keputusan hukuman mati Kartosoewirjo oleh S Parman. Usai shalat dan berdoa, akhirnya Bung Karno memantapkan hati untuk menandatangani surat penolakan grasi Kartosuwirjo. Pahlawan proklamator itu pun menandatangani surat sambil menitikkan air mata.

27 tahun kemudian, pada Februari 1989 Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis mati pada seorang mantan muncikari di kawasan Lokalisasi Gang Dolly Surabaya, Sumiarsih dan suaminya Djais Adi Prayitno, serta putra mereka, Sugeng. Tak hanya mereka, menantu Sumiarsih yakni Serda (Pol) Adi Saputro juga dijatuhi  vonis mati oleh Mahkamah Militer III-12 Surabaya.

Keempatnya dinyatakan bersalah terlibat dalam pembunuhan berencana keluarga Purwanto di Surabaya yang dilakukan pada 13 Agustus 1988.

Dalam buku Mami Rose: Jual Diri, ke Mucikari, sampai Eksekusi Mati yang ditulis Ita Siti Nasi'ah, diceritakan bahwa Purwanto yang saat itu merupakan anggota aktif Korps Marinir TNI AL, kerap melakukan kekerasan pada Sumiarsih, rekan bisnisnya dalam mengelola sebuah wisma di Kawasan Lokalisasi Gang Dolly, terutama saat menagih utang setoran yang wajib diberikan pada Purwanto dari penghasilan tiap bulan wisma yang mereka kelola bersama. Tak peduli bisnis sedang tak lancar, Purwanto tetap menagih uang bagi hasil sesuai kesepakatan. Jika terlambat setor akan ditambah bunga per harinya. 

Sumiarsih pun akhirnya tak tahan lagi dengan tindak-tanduk Purwanto yang kian kelewat batas, dan terang-terangan menginginkan anak Sumiarsih, Waty, menjadi miliknya meski Purwanto sudah berkeluarga.

Sumiarsih menjadi gelap mata hingga akhirnya merencanakan pembunuhan kepada Purwanto pada 12 Agustus 1988, sebelum eksekusi pada Purwanto dan keluarga dilakukan keesokan harinya.

Dan pada hari naas itu, Purwanto serta anggota keluarga yang ada di rumah saat kejadian, yakni istrinya Sunarsih, kedua anaknya Haryo Bismoko dan Haryo Budi Prasetyo,serta kerabatnya Sumaryatun, seluruhnya meregang nyawa di tangan Sumiarsih dan keluarga yang menjadi eksekutor.

Untuk menghilangkan jejak, jenazah para korban dimasukkan ke dalam sebuah mobil dan dijatuhkan ke sebuah jurang di Kawasan Songgoriti, Batu, agar seolah-olah mereka adalah korban kecelakaan lalu lintas. Namun polisi berhasil mengungkap peristiwa sebenarnya.

Akibatnya, Sumiarsih, Djais, Sugeng, serta Adi mendapatkan ganjaran hukuman mati atas peristiwa pembunuhan berantai yang paling menghebohkan Indonesia saat itu.

Eksekusi hukuman mati terhadap Adi dilakukan pada 2 Desember 1992. Adapun Djais belum sempat dieksekusi sudah meninggal dunia pada 2001 akibat penyakit jantung.

Akan halnya dua terdakwa yang tersisa yakni Sumiarsih dan Sugeng, baru dieksekusi pada 19 Juli 2008 lepas tengah malam. Dengan demikian, Sumiarsih dan Sugeng menghabiskan waktu 20 tahun sejak pertama kali ditahan hingga eksekusi matinya dilaksanakan.

Di hari-hari akhir jelang eksekusi, Sumiarsih mengatakan langsung kepada penulis buku biografinya Ita Siti Nasi'ah  "Maafkan perbuatan saya. Kalaulah eksekusi itu memang satu-satunya jalan pintu maaf, saya terima. Saya pasrah. Saya ingin tidur dalam keabadian."

Sebenarnya, keluarga Mendiang Purwanto menyatakan telah memaafkan tindakan keji Sumiarsih. Haryo Abrianto, satu-satunya anak Purwanto yang selamat dari pembunuhan karena sedang menempuh pendidikan di AAL saat kejadian, menyatakan keluarganya  sudah memaafkan dalam kaitan hubungan antar manusia. Namun Haryo mengatakan hukuman pada Sumiarsih dan para terdakwa lainnya tetap diserahkan sepenuhnya pada hukum yang berlaku.

Saat itu, banyak pihak yang menyayangkan begitu lamanya jarak antara vonis mati dengan pelaksanaan eksekusi mati, khusunya untuk Sugeng dan Sumiarsih. Seperti Sastrawan dan Jurnalis Senior Goenawan Muhammad, dalam buku Catatan Pinggir menulis Sumiarsih sudah membayar kesalahannya selama 20 tahun di penjara dengan tulus, tanpa kejumawaan. Namun jika pengampunan itu ujungnya mati, bukankah penjara 20 tahun dan eksekusi mati berarti hukuman ganda untuknya?

Salah satu kelemahan dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati di Indonesia, adalah belum adanya aturan teknis yang jelas dan tegas mengikat soal tenggat waktu kapan pelaksanaan pidana mati harus dilakukan usai keluarnya putusan hukum berkekuatan tetap. 

Adapun Undang-undang Nomor 2/PNPS/1964 hanya mengatur pemberitahuan kepada terpidana bahwa eksekusi akan dilaksanakan paling lama 3 x 24 jam sejak pemberitahuan tersebut.Namun itu baru sebatas aturan pemberitahuan menjelang eksekusi mati.

Artinya, undang-undang ini tidak mengatur secara pasti interval atau batas waktu maksimal hari pelaksanaan eksekusi mati dilakukan sejak adanya putusan berkekuatan hukum tetap bagi terpidana mati. Itulah yang menjadikan jangka waktu antara jatuhnya vonis dan pelaksanaan eksekusi hukuman mati antara satu terpidana dengan terpidana lain bisa berbeda.

Contohnya dalam kasus pembunuhan berencana oleh Sumiarsih, yang menjadikan Sumiarsih serta Sugeng harus mendekam di penjara selama 20 tahun lamanya. Ini berbeda dengan Trio Bom Bali---Amrozi, Ali Gufron, serta Imam Samudra yang ditembak mati pada 9 November 2008, alias "hanya" 6 tahun dari sejak mereka meledakkan bom di Bali pada September 2002. 

Ketidakpastian pengaturan tenggat waktu ini, tentu akan berdampak pada psikologis bagi terpidana. Karena dalam tenggat waktu hingga hari pemberitahuan pelaksanaan hukuman mati, sang terpidana akan terus menerus merasakan ketidakpastian.

Dan jika terpidana mati tersebut menunggu dalam waktu lama, bahkan hingga 20 tahun lamanya seperti Sumiarsih, maka sisi humanis masyarakat pun bukan tak mungkin berfikir sama seperti Goenawan Muhammad seperti yang saya kutip di atas, yakni sang terpidana menjalani hukuman ganda dalam hidupnya, mendekam dalam kurun waktu lama di penjara tetapi tetap harus menjalani hukuman matinya juga.

Hukuman mati pada akhirnya memang menggugah sisi kemanusiaaan, termasuk di Indonesia. Sekelas Presiden Soekarno pun pernah tak tega ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus menghukum mati kawan seperjuangannya, Kartosoewirjo, sebelum akhirnya disadarkan oleh Megawati Soekarnoputri bahwa sebagai presiden, ayahnya tidak boleh mencampuradukkan antara kenangan persahabatan dengan hakikat persahabatan dengan tugasnya sebagai kepala negara.

"Saya tidak mengira, ibu tega berbuat itu (membunuh Letkol Purwanto sekeluarga). Sebab yang saya tahu, ibu berhati lembut," ujar  Wati, anak Sumiarsih seperti dituturkannya dalam buku Mami Rose: Jual Diri, ke Mucikari, sampai Eksekusi Mati.

Ita Siti Nasi'ah, sang penulis buku tersebut seperti dikutip jpnn.com juga pernah menuturkan, saat pertama kali bertemu Sumiarsih yang ditahan di LP Kalisosok Surabaya, ia melihat sorot mata dan sikap Sumiarsih tidak menunjukkan tanda-tanda orang jahat. Ita mengatakan, sorot matanya melas, sikapnya santun, dan bersifat keibuan.

Nah, dalam kasus vonis mati Ferdy Sambo, drama-drama yang menyentuh sisi kemanusiaan belum dimulai. Mungkin drama seperti ini akan muncul ketika nanti putusan hukuman mati untuknya sudah berkekuatan hukum tetap, dan suami Putri Candrawathi ini menjalani kehidupan di penjara sambil menanti waktu eksekusinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun