Mohon tunggu...
Cak Glentong
Cak Glentong Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Imam Nahrawi dan Kisah-kisah yang Tidak Berujung

1 Juli 2020   22:38 Diperbarui: 1 Juli 2020   22:29 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mantan menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan (Kompas.com. Senin 29 Juni 2020). Apa arti berita ini, bagi kehidupan kita?

Tidak mudah menjawabnya, di negeri yang entah sudah berapa banyak pejabat yang tiba-tiba berubah menjadi terdakwa lalu divonis bersalah secara hukum. Imam Nahrawi bukan menteri pertama yang harus berumah di penjara. Dan kelihatannya bukan juga yang terakhir.

Korupsi? Mungkinkah kita tidak tahu bahwa itu "dosa" atau setidak-tidak sesuatu yang merugikan banyak orang. Sehingga mampu menahan diri dan pikiran kita dari kehendak untuk melakukannya. Ada banyak padanan kata korupsi yang entah mengapa sering menjadi jalan untuk melakukan sesuatu yang menyimpan.

Gratifikasi, suatu istilah yang menjelaskan bagaimana sebuah kejahatan bisa muncul dari mana saja. Saat seseorang ingin mengurus proyeknya, lalu datang "sitarurahmi" ke rumah. Terjadi proses "kemanusiaan" saling memahami atau setidaknya-tidaknya seperti permainan "tit for tat" saja. Bisa juga hadiah, bantuan kampanye dan segala selubung lainnya.

Beaya politik yang mahal, menjadi salah satu sebab  yang memperbesar peluang terjadinya korupsi. Saat para pejabat sedang ingin mengembalikan modalnya.

Di saat membutuhkan dana-dana politik lalu ada yang "menawarkan" kerja sama, mungkin seorang pengusaha yang mempunyai kepentingan "investasi politiknya", bisa juga ada anggaran yang mungkin dipermainkan seperti dana hibah, anggaran yang ada dalam kekuasaannya bisa ditenderkan " Anda berani memberi berapa agar dana itu keluar??"

Kisah seperti ini akan seperti sebuah roman picisan yang memuakkan. Yang lebih memuakkan lagi kita akan sering melihatnya, pada puncaknya kita akan mulai bosan dan menganggapnya biasa saja. Sekarang Imam Nahrawi, besok siapa lagi?

Dulu menteri yang tampil mentereng di depan TV dengan semangat anti korupsi, lalu tertangkap korupsi. Mungkin kita masih ingat kasus yang melibatkan Anas Urbaningrum yang  pada waktu itu ketua umum Partai Demokrat atau kasusnya Luthfi Hasan Ishaq (LHI) yang pada waktu itu presiden PKS. Dan ada banyak dereten kasus yang kalau kita tulis cukup untuk menjadi sebuah buku yang bisa setebal bantal.

Justru yang paling menarik dari kasus korupsi di Indonesia, para terdakwa seringkali merasa menjadi "korban".  Merasa kalau korupsinya "berjamaah", tetapi dia harus bertanggung jawab sendiri. Bersama makan nangka, tetapi dia hanya sendiri yang terkena getahnya.

Para terdakwa korupsi itu merasa seperti orang yang tertangkap melanggar marka jalan, saat ditangkap polisi karena melanggar ia menolak, alasannya banyak orang yang melanggar, ia baru bersedia dihukum jika semua yang melanggar juga dihukum.

Korupsi itu uangnya mengalir sampai jauh, akhirnya kita tidak pernah ditebak. Imam Nahrawi, mungkin tidak sendirian, ada banyak aliran yang menerimanya mungkin kecipratan.

Kasus seperti itu seperti kasus yang berulang, dan tidak mungkin semua yang "kecipratan" itu bisa dilacak, sebagaimana tidak semua yang melanggar marka kita bisa ditangkap hanya sekian 0,0001 persen saja yang bisa tertangkap, dan itu orang yang sial saja. Seperti itu pandangan para tersangka koruptor, tertangkap karena"sial " saja.

Kita tidak pernah melihat seseorang yang terdakwa korupsi atau bahkan yang OTT (Operasi Tangkap Tangan ) saja tidak merasa bersalah, perkataan yang biasa terdengar " Saya dijebak" atau "Hanya salah faham, itu bukan suap hanya uang kado pernikahan saja."  Bahkan ada yang main gertak bak jagoan  " Jika diteruskan akan membuka semua yang terlibat dalam kasus tersebut."

Kita belum pernah melihat ada seseorang yang tertangkap OTT KPK  lalu menangis dan meminta maaf. Mungkin tradisi malu itu perlu digalang di para pejabat kita. Tetapi kita selalu bisa memaafkan mereka, sehingga mantan terpidana bisa menjadi pejabat lagi. Kisah para para terdakwa koruptor itu rasanya akan menjadi kisah yang tidak akan berujung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun