Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja di Pont Des Arts

21 Juni 2018   23:24 Diperbarui: 21 Juni 2018   23:46 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Apakah cinta abadi?" ucapmu sembari menatap matahari yang tenggelam hampir sempurna.

 "Tentu saja," jawabku singkat.

Kau menoleh ke arahku. Koran lama yang sedari tadi kubaca kini kalah menarik oleh matamu. "Sinar di kedua bola matamu tak pernah meredup, Sayang. Karenanya aku percaya, bahwa cinta memang benar-benar abadi." Senja yang saban hari kaunikmati itu kini gugur di kelopak matamu. Senyum yang terbit dari bibirmu terasa begitu hangat, sehangat nuansa yang dihidangkan hari yang menjelang peristirahatannya, atau barangkali, kematiannya. Kita tentu akan mati pula, Sayang, dan hal itu memang lazim dikhawatirkan semua orang di usia kita saat ini.

 Tetapi, Qays dan Laila, yang menurutku tidak seberuntung kita karena sempat bercinta di dunia ini, tetap akan mengecap nikmatnya hakikat cinta yang abadi itu di mana pun, bahkan di luar kehidupan ini. Bunga kamboja yang dahulu selalu bermekaran, kini benar-benar hilang ditelan masa. Namun, bukankah kita selalu mampu mengingat warnanya ketika ia mekar meski kini telah tiada? 

Tiada yang benar-benar bisa luput dari ingatan, apalagi jika sesuatu itu teramat berharga. Ikan-ikan koi yang senantiasa kauajak berdialog tempo hari, kini mungkin sudah berenang di sungai surga yang mengalir begitu damai. Kolam itu telah lama kering. Pernah beberapa kali aku coba mencari kunci yang tenggelam sekian lama di dasarnya, tentu bukan untuk membuka gembok yang telah berkarat diterpa angin dan hujan itu. Aku hanya ingin memastikan, apakah ia masih ada atau tidak.

 Tetapi yang bisa kutemukan hanyalah kerakal-kerakal dan semak-semak yang kian semerawut memenuhidasar kolam yang mulai retak-retak. Kau barangkali tak tahu bahwa meskipun aku sudah agak pelupa, aku seringkali tiba-tiba mengingatnya ketika hendak tidur di kamar kita yang mulai sepi ini. Kunci itu memang tak pernah kutemukan, tetapi bukan berarti ia tak ada. Ia barangkali telah menyatu dengan tanah, yang artinya, telah melebur dengan kehidupan ini.

Di hari-hari berikutnya, kau seringkali menatap langit dengan pandangan yang kosong. Tak kudengar lagi pertanyaanmu tentang cinta yang abadi itu. Apakah kau sudah bosan bertanya atau apa, aku tak terlalu paham. Namun yang kuyakini, mungkin kau sudah dengan utuh memahaminya setelah jutaan kali kautanyakan padaku. Pandanganku semakin kabur kali ini, Sayang. Kacamata sudah hampir tak bisa membantuku melihat sesuatu dengan jelas. Wajahmu ... tentu saja, selalu mampu kulihat dengan jelas, bahkan lebih jelas dari sebelumnya. Dalam pikiranku, kau selalu tampak selalu cantik seperti kali pertama kita jatuh cinta.

Ketahuilah, Sayang. Gembok itu masih terkunci di tepi pagar rumah kita. Aku bahkan hampir percaya pada apa yang kaututurkan tentang Pont des Arts yang mampu mengabadikan cinta melalui ritus serupa. Sayang sekali aku tak bisa mengajakmu menikmati senja di sana. Aku tak pernah benar-benar yakin alasan apa yang membuatku tak bisa membawamu ke sebuah tempat yang barangkali sudah kaunamai sebagai surga itu selain rumah kita. Cinta ini begitu panjang, namun usia, oh, pendek sekali. 

Kaubilang bahwa keindahan hanya akan hidup sekejap, seperti senja. Namun, kau kembali berusaha untuk yakin bahwa keindahan bisa jadi pula abadi, tidak lepas, seperti gembok yang kehilangan kuncinya. Meski aku sempat menolak untuk percaya pada yang kaukatakan tentang Pont des Arts, tanpa kusadari, ternyata secara diam-diam aku berharap mampu memercayainya.

Pada suatu siang, tiga anak kita telah pulang ke rumah untuk menemui orang tuanya, tepatnya menemuimu. Rindu memang acapkali gemuruh ketika hendak diredam. Kita memang seringkali munafik pada perasaan kita sendiri. Lucu, bukan? Tiga bayi menggemaskan yang sudah mendewasa itu akhirnya bekumpul di rumah ini lagi, seperti dahulu kala. 

Namun yang mengherankan adalah, mereka semua menangis. Aku tak memahami apa yang mereka tangisi, Sayang. Barangkali penyebabnya adalah kapas yang menutup lubang hidung dan telingamu. Mereka bilang kau telah meninggalkan kehidupan ini. Aku sebenarnya ingin tertawa, Sayang. Aku ternyata lupa mengajari mereka sesuatu yang paling sering kita bicarakan. Bukan tentang senja. Aku tak pernah mau menanggapi keyakinanmu yang akhirnya kaukhianati sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun