Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Time Square Langit Jakarta

7 April 2017   23:58 Diperbarui: 8 April 2017   07:30 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata Bapak, "di langit sana ada suatu negri, Abie!" Mataku terarah ke pemandangan jendela, dekat Bapak terbaring lesu, dipasangi alat buat orang sakit katanya. Di luar hujan, angin menebuk ranting-ranting pepohonan, bergoyang meliuk.

Kadang orang dewasa sulit dipahami. Bagian yang kuingat perkataan Bu Guru di sekolah ketika aku terpaku memperhatikan bibir Bapak bersusah payah mengatakan, "Di langit sana ada suatu negri, Abie!"

Sesudahnya Bapak berusaha terlihat gagah menaikan telunjuk pada posisi tangan terhubung selang dan jarum dengan gemetar ke arah jendela. "Suatu saat setiap orang yang terlahir di bumi ini akan menempuh perjalanan ke sana."

"Negri seperti apa itu, Pak?" Apakah mirip Time Square Jkt, persimpangan jalan kota, seperti biasa Bapak mengajak Abie jalan-jalan ke sana. Ke Teater nonton Transformer mobil yang berubah menjadi robot-robot super, dan membeli es kream sepulangnya menonton. Pada senja Abie digendong sepanjang jalan Time Square.

"Suatu saat setiap orang yang terlahir di bumi ini akan menempuh perjalanan ke sana." Aku tidak menjawab apapun saat jemari Bapak semakin kuat menggenggam.

Aku menaikan tangan satunya seolah menguatkan sesaat Bapak dengan susah payah menarik nafas dalam. Entah apa yang ingin Bapak katakan, jika Bapak menanyakan apa yang kuinginkan saat ini, aku hanya ingin mengatakan, "Abie janji tidak akan nakal lagi, tidak jajan permen lagi, akan rajin belajar. Abie ingin Bapak pulang ke rumah sekarang."


"Jangkauan jarak tempuhnya tak terhingga." Bapak berusaha terus bicara, seolah ingin mempertahankan waktu agar kami tetap terhubung, sedapat yang Bapak mampu.  "Suatu saat setiap orang yang terlahir di bumi ini, akan menempuh perjalanan ke sana."

Abie bertanya hal yang sama lagi, "Negri seperti apa itu, Pak?" Apakah mirip Time Square Jkt.

Ragu Bapak menjawab, "suatu negri yang tidak terdapat rasa sakit di dalamnya." Lalu nafasnya terasa semakin berat, tatapannya layu, seperti kembang bakung tak bertemu hujan.

Padahal tidak usah sok menghibur, jika sekedar ingin bilang selamat tinggal. Abie tahu Bapak akan meninggal, rasa-rasanya bosan mendengar tiap mulut yang mencoba untuk menjelaskan bahwa, "semua akan baik-baik saja, setelah Bapak selesai dirawat di rumah sakit, Abie."

Semua tidak baik-baik saja, ketika di suatu sore kemudian, aku adalah Abie. Bocah yang berdiri di antara para pelayat berbusana hitam, di tepi pusara Bapak, tepat berselang kami berbincang di ruang ICU lalu.

Dan tidak ada suara lagi.
Hening!
Abie takut pak!
Hiks, ....

Dan gelap kadang tak bersahabat, bersama gurat kilat mencakar langit malam dari balik jendela kamar. Tangan Abie mengkerut takut Pak, memeluk tas gendong Transformer, ingin rasanya memasukan semua rasa takut ke dalamnya. Kalau bisa.

Kata-kata terputus dari anak kalimat, koma, lalu titik-titik kosong. Senyap, tak ada lagi Bapak akan masuk ke kamar, dan bilang; "Semua baik-baik saja, Abie."

Petir lenyap, angin mengatup bisu bersama malam yang dingin, dan abie lalu terbangun sendiri. Memulai semuanya sendiri, seperti ketika Ibu pergi sebelumnya.

Mbok Darmi bilang, "Ibu cari uang buat biaya Abie." Selalu ada si Mbok, memeluk dan mengurus keperluan semuanya. Abie sayang Mbok, "Mbok sayang Abie."

Begitu damai dalam pelukan mbok Darmi, seperti dalam kertas ulangan seorang wanita memeluk anak kecil. Dalam essay bertanya, gambar ini menunjukan kasih sayang seorang?

Abie jawab saja, "Seorang Pembantu!"

***

Dalam perjalanan pulang sekolah, Abie lamat-lamat mendengar lantunan piano berdentang di ujung kafetaria, ketika melintas ke dekat etalase panel-panel kaca di Time Square.

Musik selesai bermain, pengunjung kafe bertepuk tangan. Semua sudah selesai, drama musikal tuntas dimainkan. Lalu hening menghadap senjakala.

Abie sih sudah tidak ingin menangis lagi. Kepala ini tengadah ke atas langit, lalu ngomong, "Iya, Bapak tidak di atas sana, tapi ada di bawah kaki berpijak, menopang dengan doa-doa, supaya kelak ke sana, semua bakal baik-baik saja."

Abie lebih baik pulang segera, melangkah menelusuri trotoar Time Square, sore itu. Sendirian berseragam putih-merah, tas gendong Transformers, sambil mengunyah permen karet dan bermain yoyo.

Senjakala menguning jelaga, mirip bingkai figura di ruang tengah rumah, gambar Ibu dan Bapak. Jika saatnya tiba, katanya kami akan berkumpul lagi bersama, seperti gambar crayon yang Abie sekarang buat setiba di rumah, mencoret kertas pakai warna oranye, memulas senjakala di atas Time Square Jkt.

#AbyKahfi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun