Mohon tunggu...
Khadijah Buyoyok
Khadijah Buyoyok Mohon Tunggu... -

Sekretariat Medical Journal of Indonesia FKUI dan Mahasiswa Program Pasca Sarjana di Universitas Muhammadiyah Cirendeu Konsentrasi Komunikasi Bisnis 2010

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sebuah Karya Sastra Hamka Terasa ‘Cetek’ Karena Kurang Riset

12 September 2011   06:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:02 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jenis Film : Drama/religi

Produser : Dhamoo Punjabi, Manoj Punjabi

Produksi : Md Pictures

Pemain :Herjunot Ali, Laudya Cynthia Bella, Niken Anjani, Tara Budiman, Hj. Jenny Rachman
Widyawati, Didi Petet, Leroy Osmani

Sutradara : Hanny R Saputra

Penulis : Titien Wattimena & Armantono

Film ini diangkat dari karya sastra buya Hamka sesuai judul aslinyanya “Di Bawah Naungan Ka’bah” adalah sebuah film yang ditayangkan pada bulan Syawal 1432 H. Lebih tepat lagi jika penayangannya ditayangkan pada bulan haji, awal November 2011 nanti. Untuk menggugah muslim usia muda segera menunaikan ibadah haji selama fisik masih kuat.

Hamid yang diperankan oleh Herjunot Ali
dan Zainab (Laudya Cynthia Bella) membuka dialog mereka dengan candaan-candaan muda mudi pada masa itu (1920) dengan ketawa-ketawa yang dipaksakan dan kurang dimengerti apa maksudnya.

Latar belakang dua keluarga dengan tingkat sosial yang berbeda. Hamid yang berasal dari keluarga miskin dan Zainab yang berasal dari keluarga kaya, adalah issue yang erat dan kerapkali diangkat dalam film drama.

Ciri khas pertama bahwa film ini kurang riset adalah penampakkan latar belakang peta Indonesia pada tahun 1920, di kelas Hamid belajar tidak seperti peta Indonesia jaman sekarang yang utuh. Pada masa itu peta Indonesia masih hitam putih dan nama-nama pulaunya juga masih ejaan lama. Seperti Sulewasi, harusnya masih bernama Selebes, pulau Jawa masih bernama Java. Satu hal yang perlu dicatat adalah, sutradara kurang jeli dan kurang hati-hati dalam penyediaan properti film. Pemunculan tokoh seperti H.Agus Salim pun tidak mirip.

Ciri kedua bahwa film ini kurang riset adalah, penantian keluarga Zainab untuk dilamar oleh Arifin. Pada masyarakat Sumatera Barat, tidak ada laki-laki datang meminang perempuan. Apalagi sampai keluarga perempuan (Widiawati) menunggu kedatangan Arifin untuk lamaran. Ini masalah adat, dan tidak bisa dikondisikan dengan keadaan sekarang. Jika kita ingin konsisten dengan karya sastra, kita juga harus konsisten dengan adat istiadat yang berlaku pada masa itu.

Ciri ketiga adalah, pada tahun 1920, tidak ada perempuan pergi ke surau shalat Tarawih. Yang pergi ke surau setelah maghrib hanyalah kaum pria, sementara perempuan tetap dirumah untuk shalat dirumah, dan menyiapkan makan malam untuk para bapak/anak setelah pulang tarawih. Jadi penampakkan pada film ini terkesan berlebihan jika tua muda, laki perempuan, anak kecil dan orang dewasa pergi bersama-sama menuju surau pada waktu shalat Tarawih.

Ciri keempat bahwa sutradara pada film ini kurang riset adalah pagar ratap tempat pertemuan Hamid dan Zainab yang terbuat dari kayu. Perlu diketahui bahwa rumah adat suku minang tidak dibatasi oleh pagar tinggi. Rumah-rumah mereka sampai saat ini, hanya dibatasi oleh patok tanah dan pagar rendah sekedar melindungi dari masuknya binatang lain ke halaman mereka, bukan pagar yang lebih tinggi dari orang dewasa.

Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga Zainab, bukan ciri khas rumah adat Minang dengan strata sosial yang tinggi. Rumah batu pada tahun 1920 bukanlah representasi dari keluarga Zainab, tetapi seperti rumah di daerah Bandung. Seharusnya semakin tinggi strata sosial keluarga Ja’far (ayah Zainab), semakin tinggi rumahnya. Rumah khas Minangkabau (dengan atap Bagonjong= kepala kerbau) lah yang harus ditampilkan pada film ini.

Puncak konflik terpenting yang disuguhkan oleh sutradara adalah cara Hamid menolong ketika Zainabhampir meninggal dengan CPR (Cardiopulmonary resuscitation/ pertolongan nafas buatan dari mulut ke mulut). Metode CPR ini adalah konsep baru dalam dunia kesehatan. Baru dicetak pada hand book Pramuka tahun 1911 di Amerika Serikat. Pada tahun 1920, konsep ini belum masuk ke Indonesia,apalagi dipakai oleh masyarakat Sumatera Barat. Jadi rasanya aneh jika Hamid menolong Zainab dengan menggunakan CPR dan peristiwa ini menjadi awal konflik dalam film ini yang menyebabkan Hamid diusir dari kampungnya, dan apakah ini ada di dalam novel aslinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun