Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hakikat Kekisruhan Royalti Musik Indonesia

21 Agustus 2025   22:59 Diperbarui: 21 Agustus 2025   21:55 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kasus Mie Gacoan, persoalan royalti langsung dibawa ke ranah pidana, yang berujung pada penetapan tersangka. Ini menunjukkan bahwa alih-alih menyelesaikan sengketa secara mediasi atau administratif melalui LMKN, pihak LMK memilih jalur hukum pidana sebagai "jalan pintas" untuk menekan pengguna musik. Pilihan ini sering kali terjadi karena jalur mediasi atau penagihan yang seharusnya difasilitasi oleh LMKN tidak berjalan efektif. Ini adalah indikasi bahwa sistem perdata dan administratif yang seharusnya menjadi solusi utama belum berfungsi dengan baik.

3. Masalah Transparansi dan Kepastian Hukum

Sistem penegakan hukum yang baik seharusnya memberikan kepastian bagi semua pihak. Namun, dalam kasus royalti musik, ada ketidakpastian yang besar. Pengguna musik tidak tahu berapa yang harus mereka bayar dan kepada siapa, sehingga mereka merasa rentan terhadap tuntutan hukum. Di sisi lain, LMK dan pencipta lagu merasa tidak ada kepastian bahwa hak mereka akan dibayar secara adil, sehingga mereka merasa terpaksa menempuh jalur hukum. Ketidakjelasan ini menciptakan lingkungan yang penuh konflik, di mana solusi hukum menjadi pilihan utama daripada mediasi.

4. Kurangnya Sinergi Antar Lembaga

Kekisruhan ini juga menunjukkan kurangnya sinergi antara lembaga-lembaga yang seharusnya bekerja sama, yaitu LMKN sebagai regulator, LMK sebagai perwakilan, dan aparat penegak hukum. Seharusnya, LMKN berkoordinasi erat dengan aparat untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan sebagai upaya terakhir, setelah proses mediasi dan penagihan telah dicoba. Namun, dalam banyak kasus, terlihat bahwa koordinasi ini belum optimal, walhasil masalah royalti menjadi isu kriminal, bukan isu perdata.

5. Pengetahuan dan Kapasitas Aparat Penegak Hukum

Penegakan hukum dalam kasus hak cipta membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang undang-undang, royalti, dan industri kreatif. Namun, sering kali aparat penegak hukum di tingkat daerah tidak memiliki pelatihan khusus tentang isu-isu ini. Akibatnya, mereka bisa jadi kesulitan membedakan antara sengketa bisnis biasa dengan pelanggaran hak cipta yang serius, yang berpotensi menyebabkan penanganan kasus yang tidak adil atau bahkan salah.

Secara keseluruhan, kekisruhan royalti musik ini bukan hanya masalah internal industri, tetapi juga cerminan dari tantangan yang lebih besar dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Sampai sistem ini diperkuat dengan regulasi yang jelas, transparansi, dan kapasitas aparat yang memadai, masalah serupa akan terus terjadi.[ ]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun