Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hakikat Kekisruhan Royalti Musik Indonesia

21 Agustus 2025   22:59 Diperbarui: 21 Agustus 2025   21:55 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat akan menulis ihwal kisruh royalti musik Indonesia ini, saya melihat satu foto Ariel Noah dan Piyu Padi sedang memasang wajah serius. Mereka tengah berbincang. Baju keduanya tampak bukan baju kasual, tapi batik bernuansa hijau. Mereka jelas tidak sedang berduet. Besar kemungkinan keduanya sedang berada di gedung DPR. Keduanya duduk di kursinya membahas persoalan nan tak kunjung terang, royalti musik Indonesia.  

Masih hangat kasus sengketa hak cipta yang menimpa Mie Gacoan di Bali baru-baru ini. Kasus tersebut menambah deretan panjang betapa persoalan royalti musik Indonesia sungguhlah ruwet. Sistem yang digadang-gadang sebagai solusi yang melibatkan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) masih jauh asap dari panggang.

Lalu, apa sebenarnya LMK dan LMKN? Dan mengapa sistem yang seharusnya melindungi hak pencipta ini justru menimbulkan masalah baru?

Memahami LMK dan LMKN

Dalam ekosistem musik, ada dua entitas yang sering disebut-sebut: LMK dan LMKN. LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) adalah badan hukum nirlaba yang mewakili para pencipta lagu, musisi, dan pemilik hak cipta. Tugas utamanya adalah menarik dan mendistribusikan royalti dari pengguna komersial, seperti kafe, restoran, stasiun radio, atau penyedia layanan streaming. Di Indonesia, ada banyak LMK, salah satunya yang paling terkenal adalah Wahana Musik Indonesia (WAMI). WAMI, yang didirikan pada 15 September 2006, adalah contoh nyata bagaimana sebuah LMK berupaya mengelola hak cipta anggotanya.

Adapun LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) adalah koordinator yang dibentuk oleh pemerintah, diresmikan pada 20 Januari 2015. LMKN berfungsi sebagai "satu pintu" untuk penarikan royalti dari pengguna komersial. Ide dasarnya adalah menyederhanakan proses: pengguna hanya perlu membayar ke satu tempat (LMKN), yang kemudian mendistribusikan dana ke LMK-LMK yang berbeda, yang pada akhirnya menyalurkan dana tersebut ke para pencipta lagu.

Mengapa Sistem Ini Gagal Bekerja dengan Baik?

Meskipun sistem LMKN dirancang untuk mengatasi masalah dualisme dan tumpang tindih kewenangan antar-LMK, kasus seperti Mie Gacoan menunjukkan bahwa implementasinya di lapangan masih kacau. Ada beberapa alasan mendasar mengapa transparansi dan efektivitas pengelolaan royalti di Indonesia masih dipertanyakan.

Pertama, Kurangnya Data yang Terpadu dan Akurat. Masalah terbesar terletak pada tidak adanya basis data nasional yang komprehensif. LMKN dan LMK kesulitan melacak siapa pemilik hak cipta yang sah dan berapa kali lagu diputar di tempat publik. Tanpa data yang akurat, pembagian royalti hanya bisa didasarkan pada perkiraan, bukan pada fakta yang jelas.

Kedua, Mekanisme Pembagian yang Tidak Transparan. Banyak musisi mengaku tidak mengerti bagaimana LMK menghitung royalti yang mereka terima. Uang yang terkumpul dari berbagai sumber sering kali dicampur menjadi satu, lalu dibagi dengan model yang rumit. Ditambah lagi, porsi besar dari dana tersebut habis untuk biaya operasional, membuat musisi merasa mereka tidak mendapat bagian yang adil.

Ketiga, Sistem yang Terpusat vs. Kompetitif. Berbeda dengan AS, di mana lembaga seperti ASCAP dan BMI bersaing secara sehat untuk menarik anggota dan menawarkan lisensi, Indonesia mengadopsi sistem terpusat melalui LMKN. Walaupun bertujuan baik, model ini tidak sepenuhnya menghilangkan ketegangan antar-LMK dan sering kali menciptakan kebingungan, terutama bagi para pengguna musik.

Keempat, Minimnya Sosialisasi dan Edukasi. Publik, khususnya para pelaku usaha, tidak teredukasi dengan baik mengenai kewajiban membayar royalti. Mereka sering kali tidak tahu harus membayar ke siapa, berapa biayanya, atau apa manfaatnya. Alhasil, ketika ditagih, yang terjadi bukanlah kerja sama, melainkan sengketa yang berujung ke jalur hukum---seperti yang dialami Mie Gacoan.

Solusi di Tengah Kekisruhan

Melihat masalah yang ada, jelas bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang tidak kecil. Tapi, bisa ditegaskan bahwa transparansi adalah kunci. LMKN perlu membangun sistem database yang akurat dan dapat diakses, baik oleh musisi maupun pengguna musik. Model pembagian royalti harus dijelaskan secara rinci.

Selain itu, edukasi publik harus menjadi prioritas. LMKN harus secara proaktif menjalin komunikasi dengan para pelaku usaha, menjelaskan pentingnya royalti dan memfasilitasi pembayaran secara mudah dan damai.

Kasus Mie Gacoan adalah alarm keras bagi industri musik Indonesia. Sudah saatnya semua pihak---pencipta lagu, LMK, LMKN, dan pemerintah---duduk bersama untuk menciptakan sistem yang tidak hanya melindungi hak cipta di atas kertas, tetapi juga berjalan efektif, transparan, dan adil di lapangan.

Esensi Persoalan

Ada korelasi yang sangat kuat dan esensial antara kekisruhan dunia royalti hak cipta musik dengan persoalan penegakan hukum di Indonesia. Kasus-kasus seperti Mie Gacoan adalah cerminan langsung dari bagaimana sistem hukum dan penegakan hukum gagal beradaptasi dengan dinamika industri kreatif.

Berikut adalah beberapa korelasi utama yang menjelaskan persoalan ini:

1. Lemahnya Implementasi Undang-Undang

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 yang secara jelas mengatur kewajiban pembayaran royalti. Namun, implementasinya di lapangan masih sangat lemah. Hal ini menunjukkan bahwa memiliki peraturan yang baik saja tidak cukup tanpa penegakan yang efektif. Pihak berwenang, termasuk polisi dan kejaksaan, sering kali tidak memiliki pemahaman yang mendalam mengenai kompleksitas hak cipta musik, yang bisa berujung pada penanganan kasus yang tidak tepat.

2. Jalur Hukum sebagai Jalan Pintas

Dalam kasus Mie Gacoan, persoalan royalti langsung dibawa ke ranah pidana, yang berujung pada penetapan tersangka. Ini menunjukkan bahwa alih-alih menyelesaikan sengketa secara mediasi atau administratif melalui LMKN, pihak LMK memilih jalur hukum pidana sebagai "jalan pintas" untuk menekan pengguna musik. Pilihan ini sering kali terjadi karena jalur mediasi atau penagihan yang seharusnya difasilitasi oleh LMKN tidak berjalan efektif. Ini adalah indikasi bahwa sistem perdata dan administratif yang seharusnya menjadi solusi utama belum berfungsi dengan baik.

3. Masalah Transparansi dan Kepastian Hukum

Sistem penegakan hukum yang baik seharusnya memberikan kepastian bagi semua pihak. Namun, dalam kasus royalti musik, ada ketidakpastian yang besar. Pengguna musik tidak tahu berapa yang harus mereka bayar dan kepada siapa, sehingga mereka merasa rentan terhadap tuntutan hukum. Di sisi lain, LMK dan pencipta lagu merasa tidak ada kepastian bahwa hak mereka akan dibayar secara adil, sehingga mereka merasa terpaksa menempuh jalur hukum. Ketidakjelasan ini menciptakan lingkungan yang penuh konflik, di mana solusi hukum menjadi pilihan utama daripada mediasi.

4. Kurangnya Sinergi Antar Lembaga

Kekisruhan ini juga menunjukkan kurangnya sinergi antara lembaga-lembaga yang seharusnya bekerja sama, yaitu LMKN sebagai regulator, LMK sebagai perwakilan, dan aparat penegak hukum. Seharusnya, LMKN berkoordinasi erat dengan aparat untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan sebagai upaya terakhir, setelah proses mediasi dan penagihan telah dicoba. Namun, dalam banyak kasus, terlihat bahwa koordinasi ini belum optimal, walhasil masalah royalti menjadi isu kriminal, bukan isu perdata.

5. Pengetahuan dan Kapasitas Aparat Penegak Hukum

Penegakan hukum dalam kasus hak cipta membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang undang-undang, royalti, dan industri kreatif. Namun, sering kali aparat penegak hukum di tingkat daerah tidak memiliki pelatihan khusus tentang isu-isu ini. Akibatnya, mereka bisa jadi kesulitan membedakan antara sengketa bisnis biasa dengan pelanggaran hak cipta yang serius, yang berpotensi menyebabkan penanganan kasus yang tidak adil atau bahkan salah.

Secara keseluruhan, kekisruhan royalti musik ini bukan hanya masalah internal industri, tetapi juga cerminan dari tantangan yang lebih besar dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Sampai sistem ini diperkuat dengan regulasi yang jelas, transparansi, dan kapasitas aparat yang memadai, masalah serupa akan terus terjadi.[ ]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun