Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kala Islamis dan Komunis Bergandeng Tangan di Tanah Arab

12 November 2020   18:55 Diperbarui: 12 November 2020   18:57 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Zainab al-Ghazali (1917-2005) berkhidmat pada Islamisme dengan sepenuh hatinya. Dia merupakan pendiri Asosiasi Wanita Muslim (Jamaa'at al-Sayyidaat al-Muslimaat). Kala mendirikan asosiasi ini ia masih berusia belia, sekira delapan belas tahun. Tentu dia tidak mendirikan asosiasi ini tanpa pengalaman organisasi.

Beberapa waktu sebelumnya dia pernah bergabung dengan Uni Feminis Mesir (Egyptian Feminist Union). Karena menolak sejumlah premis feminisme, dia meneguhi premisnya sendiri tentang feminisme Islam. Ia juga pernah bersumpah setia pada Hasan al-Banna (1906-1949), pendiri Ikhwan al-Muslimin, tapi ia menolak ajakan yang belakangan ini untuk memerger asosiasinya.

Jarang diketahui, meski merupakan seorang pengikut teguh ideologi Islamisme, saudara dan saudari Zainab adalah pengikut komunis. Saudarinya yang komunis ini bernama Hekmat al-Ghazali sementara saudaranya bernama Muhammad al-Ghazali. 

Adalah Didar Fawzi-Rossano (1920-2011), seorang aktivis perempuan komunis, memberikan kesaksian ini dalam memoarnya, Mmoires d'une militante communiste (1942--1990) de Caire Alger, Paris et Genve (Memoar Seorang Militan Komunis (1942-1990) dari Kairo ke Aljazair, Paris dan Jenewa) (1997), yang dimuat dalam buku besutan Brichs, Feliu, dan Etherington (Eds), Communist Parties in the Middle East 100 Years of History (singkat saja jadi CPME) (terbit 2019) :

"Zeinab al-Ghazali, pemimpin Muslim Sister, adalah seorang sekutu besar [saya] hampir satu dekade. Dia punya karakter yang kuat dan sangat anggun dengan hijab dan gamis panjang hajjah-nya. Dia berkomitmen total pada aksi politik dan mendukung pendirian garda-depan secara publik. 

Dia bangga menjadi seorang dari keluarga yang kuat, dengan semua anggotanya tergabung dalam asosiasi politik, hukum dan klandestin (saudarinya Hekmat dan saudaranya Muhammad merupakan komunis; kakak sulungnya, pegawai negeri tingkat atas). Pada waktu ini, Zainab menghadiri undangan resmi dari Moskow. Demikian pula Khalid Muhammad Khalid, seorang Syeikh muda yang ikut serta dalam rapat Uni Feminis Mesir dan menggabungkan Islam dengan Sosialisme; dia baru saja menerbitkan karya di mana klerikalisme dipukul dan karya itu menimbulkan skandal (Min huna Nabda')."

Pada dekade 1930-an, satu kota bernama Syubra al-Khayma, Mesir, yang terletak di utara Kegubernuran Kairo, menyaksikan berdirinya Syubra al-Khayma Mechanized Textile Workers' Union (SKMTWU)(Serikat Pekerja Mesin Tekstil Syubra al-Khayma). Organisasi yang berdiri pada 1937 ini merupakan serikat dagang Mesir pertama yang menjadi wadah gabungan Islamis dan komunis. Beinin dan Lockman dalam buku Workers on the Nile : nationalism, communism,

Islam and the Egyptian working class, 1882-1954 (1988) menggambarkan peristiwa ini.  

Adalah Taha Sa'd Uthman sebagai salah satu pemimpin SKMTWU. 'Uthman bisa dikatakan seorang Islamis sekaligus komunis. Pria yang dilahirkan pada 1916 ini bersahabat baik secara personal dengan Hasan al-Banna. Uthman aktif dalam aktifitas IM sekira 1935-1938. Al-Banna melepaskannya dari kewajiban organisasional IM bukan karena perselisihan pribadi, tetapi agar Uthman lebih fokus dalam menjalankan tugas-tugas organisasi serikatnya. 

'Uthman menjadi presiden serikat (sampai 1943), bendahara, petugas ketertiban, dan sekretaris dewan editorial koran mingguan Syubra setelah koran ini diambil alih serikat. Menarik disebutkan dari keluaran awalnya muatan koran Shubra mengindikasikan bahwa para editornya sadar akan kian pentingnya pekerja industri di area itu. 

Mereka berupaya mengambil hati para pekerja dengan menulis tentang keberatan-keberatan dan keluhan-keluhan para pekerja sendiri, setidaknya pada level formal. Muatan-muatan koran mingguan ini menggambarkan adanya satu konstituensi para pekerja yang bisa diidentifikasi dengan tegas di Syubra al-Khayma dengan identitas dan kepentingannya tersendiri.

Persatuan antara komunisme dan Islamisme tentu merupakan hal yang janggal dan asing. Keduanya dianggap laiknya minyak dan air. Komunisme pada satu titik memiliki sebutan lain seperti Bolshevisme. Terkait dengan ideologi terakhir ini, pandangan tentang mungkinnya persatuan antara Islamis dengan Bolshevis bisa saja terjadi. 

Pandangan unik ini mencuat dari salah satu tokoh Salafi besar dalam sejarah, yakni Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Luz Gmez Garca dalam tulisannya "Islamists and communists:A history of Arab convergenze parallele" dalam buku CPME menyebutkan bahwa al-Manar, majalah Islam reformis terkenal besutan Ridha, pada warsa 1919 memuat artikel murid Syekh Abduh (1849-1905) ini yang berjudul 'Socialism, Bolshevism and Religion'.

Cukup menggelitik bahwa dalam tulisan ini Ridha membedakan antara syuyu'i (komunisme) dengan balshafiki (bolshevisme). Ia menolak komunisme, tetapi menerima Bolshevisme! Ridha juga menganggap bolshevisme sama dengan sosialisme. Menurutnya meski ada perbedaan antara aksi-aksi Bolshevik dan pranata-pranatanya yang tak sejalan dengan aturan-aturan Islam dan filosofinya, tapi tujuan utama mereka menyatukannya dengan kaum muslim. Alasannya karena kesuksesan kaum Sosialis akan mengakhiri perbudakan rakyat yang semuanya adalah pekerja.

Ridha melihat bahwa sosialisme sinonim dengan Bolshevik persis seperti dalam bahasa Rusia yang artinya 'mayoritas'. 'Mayoritas' ini dalam pandangannya tidak lain dari para pekerja. Dengan identifikasi ini, dia mendaku bahwa '99% penduduk planet ini adalah Sosialis atau Bolshevik'. 

Ridha sejatinya memang mengagumi revolusi Bolshevik Oktober 1917 yang terjadi di Rusia. Dia berpandangan bahwa kaum Bolshevik ini 'mendirikan pemerintahan rakyat pertama di dunia dan seluruh pekerja dunia mendukung mereka, 'Semuanya ada di tangan rakyat. Rakyat-lah yang bisa membawa dunia maju dan semua revolusi yang mewujudkan keadilan dan kedamaian.'

Meneroka revolusi sosialis Bolshevik di Rusia, Rasyid Ridha pada akhirnya mengatur ulang pandangannya tentang reformasi dan revolusi. Pandangan ini bergema kuat di kalangan Islamis. Dia menyatakan, "menegakkan suatu masyarakat baru membutuhkan penaklukan negara dan redefinisi tanah air (homeland)." 

Terkait dengan sejarah Islam, "sekarang ini artinya masa untuk reformasi (islah) yang dimulai pada paruh kedua abad ke-19 sudah tiba pada ujungnya dan waktu untuk revolusi (tsaurah) sudah dimulai." Perhatikan bagaimana dengan pernyataan ini Ridha mengumandangkan seruan revolusi tinimbang reformasi.

Dalam semesta Bolshevik imajiner yang digambarkan Ridha, ada empat hal yang mengemuka. Keempat hal ini antara lain adalah: permusuhan terhadap Barat; universalisme; posisi sentral pekerja dalam pranata sosial; dan kebagusan perubahan revolusioner. Bisa dilihat bahwa pandangan ini memiliki kemiripan mencolok dengan ideologi Salafis. 

Gmez Garca memerikan paralelisme ini dalam satu sintesis menarik: dekadensi masyarakat muslim pada saat yang sama adalah sebab dan akibat dari keserakahan kolonial Barat, dan dekadensi ini kian mendalam karena komunitas muslim menjauh dari ajaran-ajaran muslim awal; kekuatan rakyat muslim terdapat pada kesatuannya, terwadahi dalam ummah, di mana setiap individu mengambil bagian dalam kehidupan menurut syariah; dan kekuatan baru re-Islamisasi harus melampaui ketundukan pada penguasa zalim yang dimapankan fikih (yurisprudensi Islam).

Ridha dalam artikel itu begitu terpesona pada revolusi Bolshevik. Dia tampaknya menganjurkan revolusi massa kendati tulisannya ini secara keseluruhan tetap berpihak pada 'despot yang adil'. Ambivalen memang, tapi begitulah.

Dan, ambivalensi ini terulang lagi. Andrew March merekam ini dalam bukunya The Caliphate of Man (Cambridge, Massachusetts : The Belknap Press, Harvard University Press, 2019, h. ix).Kejadiannya pada momen "Musim Semi Arab" (Arab Spring) di Mesir, bertitimangsa 18 Februari 2011, seminggu bakda protes rakyat yang memaksa tumbangnya Presiden Husni Mubarak. 

Saat itu sekira 2 juta warga Mesir berkumpul di Tahrir Square, Kairo untuk perayaan "Hari Kemenangan". Hari itu adalah hari Jumat. Adalah pengkhutbah hari itu seorang tua berusia 84 tahun, Yusuf al-Qardhawi, seorang sarjana Muslim besar. Al-Qardhawi hidup eksil di Qatar sejak 1961 dan tampaknya ia satu-satunya tokoh intelektual global termasyhur yang dihubungkan dengan gerakan Islamis. Khotbahnya hari itu bukan semata ditujukan pada para Islamis, atau bahkan Muslim semata, tetapi lebih luas lagi. 

Dia berseru, "Wahai Muslim dan Koptik! Wahai anak-anak Mesir!" dan menyatakan bahwa "para pemuda ini berasal dari seluruh wilayah Mesir, dari seluruh kelas sosial, kaya dan miskin, terpelajar dan buta huruf, pekerja dan berbudaya ... Mereka menjadi, mereka bergabung menjadi satu wajan percampuran: Muslim dan Kristen, radikal dan konservatif, kanan (rightists) dan kiri (leftists), lelaki dan perempuan, tua dan muda, semuanya menjadi satu, semua bertindak demi Mesir, demi membebaskan Mesir dari ketidakadilan dan tirani."

Arkian, ideologi memang tak selalu bulat. [ 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun