Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kala Islamis dan Komunis Bergandeng Tangan di Tanah Arab

12 November 2020   18:55 Diperbarui: 12 November 2020   18:57 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Persatuan antara komunisme dan Islamisme tentu merupakan hal yang janggal dan asing. Keduanya dianggap laiknya minyak dan air. Komunisme pada satu titik memiliki sebutan lain seperti Bolshevisme. Terkait dengan ideologi terakhir ini, pandangan tentang mungkinnya persatuan antara Islamis dengan Bolshevis bisa saja terjadi. 

Pandangan unik ini mencuat dari salah satu tokoh Salafi besar dalam sejarah, yakni Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Luz Gmez Garca dalam tulisannya "Islamists and communists:A history of Arab convergenze parallele" dalam buku CPME menyebutkan bahwa al-Manar, majalah Islam reformis terkenal besutan Ridha, pada warsa 1919 memuat artikel murid Syekh Abduh (1849-1905) ini yang berjudul 'Socialism, Bolshevism and Religion'.

Cukup menggelitik bahwa dalam tulisan ini Ridha membedakan antara syuyu'i (komunisme) dengan balshafiki (bolshevisme). Ia menolak komunisme, tetapi menerima Bolshevisme! Ridha juga menganggap bolshevisme sama dengan sosialisme. Menurutnya meski ada perbedaan antara aksi-aksi Bolshevik dan pranata-pranatanya yang tak sejalan dengan aturan-aturan Islam dan filosofinya, tapi tujuan utama mereka menyatukannya dengan kaum muslim. Alasannya karena kesuksesan kaum Sosialis akan mengakhiri perbudakan rakyat yang semuanya adalah pekerja.

Ridha melihat bahwa sosialisme sinonim dengan Bolshevik persis seperti dalam bahasa Rusia yang artinya 'mayoritas'. 'Mayoritas' ini dalam pandangannya tidak lain dari para pekerja. Dengan identifikasi ini, dia mendaku bahwa '99% penduduk planet ini adalah Sosialis atau Bolshevik'. 

Ridha sejatinya memang mengagumi revolusi Bolshevik Oktober 1917 yang terjadi di Rusia. Dia berpandangan bahwa kaum Bolshevik ini 'mendirikan pemerintahan rakyat pertama di dunia dan seluruh pekerja dunia mendukung mereka, 'Semuanya ada di tangan rakyat. Rakyat-lah yang bisa membawa dunia maju dan semua revolusi yang mewujudkan keadilan dan kedamaian.'

Meneroka revolusi sosialis Bolshevik di Rusia, Rasyid Ridha pada akhirnya mengatur ulang pandangannya tentang reformasi dan revolusi. Pandangan ini bergema kuat di kalangan Islamis. Dia menyatakan, "menegakkan suatu masyarakat baru membutuhkan penaklukan negara dan redefinisi tanah air (homeland)." 

Terkait dengan sejarah Islam, "sekarang ini artinya masa untuk reformasi (islah) yang dimulai pada paruh kedua abad ke-19 sudah tiba pada ujungnya dan waktu untuk revolusi (tsaurah) sudah dimulai." Perhatikan bagaimana dengan pernyataan ini Ridha mengumandangkan seruan revolusi tinimbang reformasi.

Dalam semesta Bolshevik imajiner yang digambarkan Ridha, ada empat hal yang mengemuka. Keempat hal ini antara lain adalah: permusuhan terhadap Barat; universalisme; posisi sentral pekerja dalam pranata sosial; dan kebagusan perubahan revolusioner. Bisa dilihat bahwa pandangan ini memiliki kemiripan mencolok dengan ideologi Salafis. 

Gmez Garca memerikan paralelisme ini dalam satu sintesis menarik: dekadensi masyarakat muslim pada saat yang sama adalah sebab dan akibat dari keserakahan kolonial Barat, dan dekadensi ini kian mendalam karena komunitas muslim menjauh dari ajaran-ajaran muslim awal; kekuatan rakyat muslim terdapat pada kesatuannya, terwadahi dalam ummah, di mana setiap individu mengambil bagian dalam kehidupan menurut syariah; dan kekuatan baru re-Islamisasi harus melampaui ketundukan pada penguasa zalim yang dimapankan fikih (yurisprudensi Islam).

Ridha dalam artikel itu begitu terpesona pada revolusi Bolshevik. Dia tampaknya menganjurkan revolusi massa kendati tulisannya ini secara keseluruhan tetap berpihak pada 'despot yang adil'. Ambivalen memang, tapi begitulah.

Dan, ambivalensi ini terulang lagi. Andrew March merekam ini dalam bukunya The Caliphate of Man (Cambridge, Massachusetts : The Belknap Press, Harvard University Press, 2019, h. ix).Kejadiannya pada momen "Musim Semi Arab" (Arab Spring) di Mesir, bertitimangsa 18 Februari 2011, seminggu bakda protes rakyat yang memaksa tumbangnya Presiden Husni Mubarak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun