Di sisi lain, ada indikasi kuat bahwa pemecatan STY lebih disebabkan oleh faktor internal. Salah satunya adalah favoritisme dalam pemilihan pemain.
Nama-nama seperti Pratama Arhan, Asnawi Mangkualam Bahar, Egy Maulana Vikri, Marselino Ferdinan, dan Witan Sulaeman nyaris selalu masuk skuad timnas. Tak peduli performa mereka di level klub sedang tidak meyakinkan.
Sebagai contoh, Arhan hanya tampil dua kali sepanjang 2024 bersama Suwon FC. Namun di timnas, ia bermain dalam 18 pertandingan pada tahun yang sama.
Bandingkan dengan Stefano Lilipaly, yang tampil gemilang bersama Borneo FC, tapi tidak sekalipun mendapat panggilan semenjak pertandingan melawan Filipina di matchday kedua Putaran Kedua Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Begitu juga dengan Saddil Ramdhani, sang penyelamat muka STY saat melawan Filipina. Sekalipun ia reguler bermain di Liga Malaysia bersama Sabah FC, tetapi kemudian disingkirkan karena dianggap terlalu vokal.
Keterangan dari Ketua Umum PSSI menyebut komunikasi di ruang ganti sebagai salah satu faktor pemecatan STY. Kabarnya, terjadi ketegangan antara pelatih dan beberapa pemain usai hasil buruk lawan Bahrain.
Semua ini mengindikasikan bahwa pemecatan lebih berkaitan dengan gaya kepemimpinan STY sendiri—yang cenderung keras kepala, favoritisme tinggi, dan kurang fleksibel dalam membina komunikasi.
Kesimpulan: Jangan Percaya Teori Konspirasi
Baik versi “uang Arab” maupun “mafia bola”, keduanya tidak didukung bukti konkret. Justru kenyataan yang terlihat menunjukkan hal sebaliknya: bahwa kegagalan komunikasi, ego tinggi, dan pilihan pemain yang tidak adil menjadi alasan kuat pemutusan kontrak STY.
Mudah sekali menyalahkan pihak luar ketika ada keputusan kontroversial. Namun sebagai penonton cerdas, kita seharusnya bisa memilah: mana analisis berdasar data, mana sekadar teori konspirasi yang menyesatkan.
Talang Datar, 10 Januari 2025