KEHADIRAN Patrick Kluivert sebagai pelatih baru tim nasional Indonesia memicu gejolak di dunia maya. Tidak hanya pro dan kontra seputar kemampuannya, tetapi juga muncul berbagai teori konspirasi yang menyebar di media sosial. Sayangnya, sebagian besar hanya berupa disinformasi, bahkan hoaks belaka.
Hingga 10 Januari ini, pembahasan tentang Kluivert masih ramai di lini masa media sosial. Banyak akun, baik personal maupun komunitas, dari penggemar biasa hingga figur publik, menyuarakan penolakan terhadap penunjukan mantan bintang Belanda tersebut.
Sebagian menyoroti rekam jejak Kluivert yang dianggap tidak cukup meyakinkan untuk menangani timnas. Namun, tidak sedikit pula yang menolak hanya karena termakan teori konspirasi atau informasi yang tidak valid.
Salah satu teori yang paling banyak disuarakan adalah keterlibatan “uang Arab” dalam keputusan PSSI. Teori ini menyebut bahwa pemecatan Shin Tae-yong merupakan bagian dari upaya pihak tertentu untuk melemahkan Indonesia demi keuntungan rival di Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Siapa pihak yang dimaksud?
Tidak lain adalah tim-tim asal Jazirah Arab, khususnya Bahrain dan Arab Saudi yang berada dalam grup yang sama. Namun tidak ada satupun teori ini yang menunjukkan bukti kuat atau setidaknya indikasi yang jelas mengenai siapa dalang sebenarnya di balik dugaan intervensi ini.
Jika menengok ke belakang, usai laga imbang melawan Bahrain pada 10 Oktober 2024 lalu, memang sempat muncul kecurigaan terhadap wasit Ahmed Al-Kaf. Netizen menuduh ia disuap untuk membantu tuan rumah. Tuduhan ini berdasar pada tambahan waktu yang dianggap terlalu lama dan berujung pada gol penyama kedudukan.
Namun, argumen ini mudah terpatahkan. Jika benar Bahrain “membeli” wasit, lalu mengapa mereka kalah 0-1 dari Tiongkok pada matchday kelima, di kandang sendiri? Bahkan kekalahan itu juga terjadi karena gol pada masa injury time, persis seperti gol telat Bahrain ke gawang Indonesia.
Demikian pula dengan kekalahan Arab Saudi di Jakarta pada matchday keenam. Apakah ini berarti upaya menggembosi Indonesia gagal karena "uang Arab" tak cukup besar?
Sulit menjelaskan konstelasi hasil pertandingan dengan teori suap seperti ini.
Lubang Besar dalam Teori “Uang Arab”
Teori ini mengandaikan bahwa Indonesia kini sudah dianggap sebagai ancaman besar oleh negara-negara kuat di Asia. PSSI disebut-sebut sebagai korban manipulasi agar Indonesia tidak menggangu dominasi Bahrain atau Arab Saudi dalam memperebutkan jatah tiket ke Piala Dunia.
Namun, teori semacam ini tidak didukung fakta. Tidak ada dokumen, kesaksian, atau bahkan indikasi kuat bahwa PSSI ditekan oleh pihak asing. Justru yang ada hanyalah prasangka negatif terhadap Bahrain, PSSI, dan Ketua Umumnya, Erick Thohir.
Presiden AFC yang berasal dari Bahrain pun ikut dituding punya andil dalam teori ini. Namun, lagi-lagi, tidak ada bukti.
Menariknya, performa Bahrain sendiri cukup fluktuatif di babak kualifikasi. Tidak menggambarkan adanya bantuan istimewa dari pihak luar.
Versi Mafia Sepak Bola
Selain versi “uang Arab”, ada pula narasi lain: konspirasi dari mafia sepak bola dalam negeri. Dalam versi ini, pemecatan STY dianggap sebagai bagian dari upaya menggulingkan Erick Thohir dan mengambil alih kendali PSSI.
Menurut teori ini, mafia ingin kembali menguasai federasi seperti masa lalu. Maka performa timnas sengaja “dijatuhkan”, agar Ketua Umum beserta jajarannya mendapat tekanan dan akhirnya lengser.
Narasi ini juga bukan hal baru. Setiap ada kericuhan dalam timnas, khususnya yang menyangkut posisi Shin Tae-yong, isu mafia selalu diangkat. STY diposisikan sebagai sosok pelatih bersih, yang tegas menolak praktik penitipan pemain.
Namun, benarkah sepanjang masa jabatannya STY bersih dari titipan?
Nyatanya, ada satu pemain yang selalu dipanggil Coach Shin meskipun di klubnya jarang bermain. Pemain tersebut baru tidak lagi masuk skuad timnas setelah Kongres Luar Biasa PSSI pada Februari 2023.
Kebetulan yang sangat menariknya adalah, pemain tersebut merupakan menantu dari salah satu pengurus lama. Sulit untuk percaya jika pemanggilan si pemain bukan karena pengaruh mertuanya yang seorang pembesar PSSI.
Artinya, bahkan di era STY pun praktik titipan bisa saja terjadi. Tidak mutlak bersih seperti yang banyak digembar-gemborkan. Ini saja sudah cukup untuk meruntuhkan narasi bahwa mafia tidak bisa menembus benteng pelatih asal Korea Selatan itu.
Faktor Favoritisme dan Ego
Di sisi lain, ada indikasi kuat bahwa pemecatan STY lebih disebabkan oleh faktor internal. Salah satunya adalah favoritisme dalam pemilihan pemain.
Nama-nama seperti Pratama Arhan, Asnawi Mangkualam Bahar, Egy Maulana Vikri, Marselino Ferdinan, dan Witan Sulaeman nyaris selalu masuk skuad timnas. Tak peduli performa mereka di level klub sedang tidak meyakinkan.
Sebagai contoh, Arhan hanya tampil dua kali sepanjang 2024 bersama Suwon FC. Namun di timnas, ia bermain dalam 18 pertandingan pada tahun yang sama.
Bandingkan dengan Stefano Lilipaly, yang tampil gemilang bersama Borneo FC, tapi tidak sekalipun mendapat panggilan semenjak pertandingan melawan Filipina di matchday kedua Putaran Kedua Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Begitu juga dengan Saddil Ramdhani, sang penyelamat muka STY saat melawan Filipina. Sekalipun ia reguler bermain di Liga Malaysia bersama Sabah FC, tetapi kemudian disingkirkan karena dianggap terlalu vokal.
Keterangan dari Ketua Umum PSSI menyebut komunikasi di ruang ganti sebagai salah satu faktor pemecatan STY. Kabarnya, terjadi ketegangan antara pelatih dan beberapa pemain usai hasil buruk lawan Bahrain.
Semua ini mengindikasikan bahwa pemecatan lebih berkaitan dengan gaya kepemimpinan STY sendiri—yang cenderung keras kepala, favoritisme tinggi, dan kurang fleksibel dalam membina komunikasi.
Kesimpulan: Jangan Percaya Teori Konspirasi
Baik versi “uang Arab” maupun “mafia bola”, keduanya tidak didukung bukti konkret. Justru kenyataan yang terlihat menunjukkan hal sebaliknya: bahwa kegagalan komunikasi, ego tinggi, dan pilihan pemain yang tidak adil menjadi alasan kuat pemutusan kontrak STY.
Mudah sekali menyalahkan pihak luar ketika ada keputusan kontroversial. Namun sebagai penonton cerdas, kita seharusnya bisa memilah: mana analisis berdasar data, mana sekadar teori konspirasi yang menyesatkan.
Talang Datar, 10 Januari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI