Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sampah Demokrasi, Benih Polarisasi Elit

16 Februari 2021   22:34 Diperbarui: 17 Februari 2021   08:18 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parktek demokrasi membawa petaka (Dok Mediaindonesia.com)

PERJALANAN sebuah kapal yang dicegat para perompak. Gelombang laut dan angin kencang bertubi-tumbi menerjang kapal itu. Dengan muatan ragam barang dan peralatan perang yang lengkap. Sebetulnya kapal itu boleh terbebas dari sandera perompak. Ironisnya, kapten kapal (master atau nahkoda), para chief officer (CO) atau yang disebut Mualim, dan Anak Buah Kapal (ABK) tidak kompak.

Antara mereka sudah tercipta saling curiga. Semula, mereka punya satu tujuan yang sama. Pada setengah perjalanan, mulai ada provokasi dan hasutan. Belum sampai ke tujuan. Tiba-tiba dihadang bajak laut. Pilihannya menyelamatkan kapal beserta isinya. Penumpang dan barang-barang yang diamankan.

Terlibatlah perdebatan di antara mereka. Memilih membelokkan kapal, berhenti atau menancapkan gas mesin. Dengan memanfaatkan sumber daya. Solid, pasti mampu melawan perompak. Langkah terbaik apa yang perlu dilakukan. Mereka pun terlibat diskusi. Akhir dari perundingan, mereka tetap saja berbeda sikap.

Parahnya, mereka digembosi dari dalam. Ada seorang penghasut yang merupakan mata-mata perompak. Penghasut itu pula punya jabatan mentereng di struktur kepengurusan kapal. Singkat kata, kapal mewah dan besar itu dihadang. Perdebatan makin menguras emosi, hasilnya sia-sia.

Selamat dan mengambil langkah cerdas. Malah bertubi-tubi perintah kapten diinterupsi para Mualim dan ABK. Tibalah mereka dalam situasi sulit. Kapal diambil alih perompak. Sasaran mereka menuju daratan tak kunjung tiba. Bahkan beberapa ABK yang membangkang akhirnya dihabisi perompak.

Kapal itu berubah komando. Menjadi panggung, saling menghabisi di dalam kapal. Perompak, malah berposisi sebagai wasit. Kadang seperti penyelamat. Melerai ABK, Mualim, Kapten dan juga penumpang yang saling beradu otot. Begitulah kira-kira gambaran kecil dari Indonesia yang hendak menuju cita-cita kesejahteraan.

Presiden Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) rupanya belum mampu memastikan betul. Siapa yang direkomendasi parpol menjadi Menteri atau Pembantunya. Mereka para Menteri juga tidak menganggap Jokowi sebagai 'matahari tunggal'. Karena kesetiaan mereka juga terbagi pada parpol yang memberi rekom.

Masalahnya kemudian adalah kerja Pembantu yang meringankan Jokowi, malah sebaliknya. Pembantu membuat ulah. Perilaku korup dipertontonkan. Sampai-sampai ada yang ditangkap KPK. Seperti kasus Dana Bansos Covid-19. Belum lagi dugaan deviasi kewenangan lainnya yang mulai tercium.

Publik berharap KPK dapat mengendusnya. 'Biarlah Jokowi' memelihara politik dinasti. Namun untuk urusan korupsi jangan seret-seret Jokowi lagi. Diumpamakan kapal, Indonesia memang tengah menghadapi hambatan besar. Yang di hadapan mata kita yakni Covid-19. Ujian kedewasaan pemimpin yang tidak mudah.

Jokowi harus sanggup melewati itu. Kapal yang namanya Indonesia ini tengah digerogodoti juga dari dalam. Terlebih kekuatan merusak dari para koruptor. Mereka itulah yang memiskinkan rakyat secara terstruktur. Belum lagi problem saling khianat, dan diam-diam melawan instruksi Jokowi dengan halus.

Sulit dihalangi dan dideteksi, jika musuh pemerintah berada di dalam pemerintahan. Musuh di dalam selimut memang tidak mudah dikalahkan. Kadang membunuh dengan rangkulan, dan tertawa bersama. Tak terasa mereka dengan lihainya melakoni kemunafikannya untuk membunuh musuhnya. Jokowi jangan terbuai situasi.

Sebab telah terbukti, Jokowi sukar rasanya dikalahkan jika berhadap-hadapan. Pemberontakan 'teduh', revolusi sunyi dibunyikan dari dalam sistem itu sendiri yang berbahaya. Daya rusaknya sangat kuat. Ketika kapal yang bernama Indonesia ini dikuasai para maling, perompak. Maka tunggulah kehancurannya.

Indonesia tidak maju. Ancaman keterbelahan selalu menginta. Rakyat terfragmentasi. Sekecil-kecilnya terbelah dalam kepentingan politik. sedangkan kita butuh kemajuan. Dari kemajuanlah Indonesia menggapai mimpi kesejahteraan rakyat. Kemajuan itu membutuhkan persatuan, bukan saling ingkar.

Tidak main-main, Indonesia sampai selesainya pemerintahan Jokowi akan menemui masalah polarisasi dan devisit. Bila semua Pembantu-Pembantunya tidak tertib. Tidak sehati, enggan memikirkan rakyat. Mereka para Pembantu itu kelihatannya mengedepankan nafsu mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk diri dan kelompok politiknya.

Kita malah ketambahan hutang. Padahal bukan itu kerinduan rakyat. Semua rakyat Indonesia mengharapkan Indonesia terlepas dari cengkraman hutang Asing. Bisa mandiri, melawan dikte dan bujuk rayu Asing. Postur kepemimpinan kita perlu dibantu, bukan didelegitimasi dari dalam.

Kekayaan alam Indonesi yang melimpah harus dikelola dengan benar. Jangan mengandalkan kekayaan alam dan dijadikan nilai tukar politis semata. Sumber daya alam mesti menyuplai kehadiran sumber daya manusia yang mumpuni. Jangan sumber daya alam dikooptasi hanya untuk keperluan bisnis satu dua orang.

Mari kita melepas demokrasi dari perangkap oligarki. Nafsu menguasai dari sekelompok orang yang bernama 'oligarki' untuk pasti membahayakan banyak orang. Meminta banyak korban. Demokrasi yang luar biasa dikooptasi mereka. Cita-citanya demokrasi dapat mereka atur secara terbatas melalui parpol. Bagi-bagi kekuasaan secara leluasa mereka terapkan.

Jebakan demi jebakan ditemui. Sehingga kemudian demokrasi di luar kendali. Demokrasi yang sejatinya memudahkan kita malah menyusahkan. Itu tak lain karena perilaku oligarki yang rakus. Demokrasi yang luas itu menjadi sempit juga kotor. Pengaturannya disulap menjadi hanya ditentukan mereka-mereka saja.

Siapa mereka? petinggi parpol, penguasa dan pengusaha. Itulah mereka yang punya peran menghidupkan atau mematikan demokrasi. Ketika mereka kokoh bersatu otomatis nasib rakyat makin jauh dari kesejahteraan. Karena kepentingan mereka adalah memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya.

Ketika praktek saling memaafkan dalam politik 'terjaga'. Maka, kebebasan menyandera para kader. Bebas merdekalah mereka yang merupakan elit parpol. Kebebasan itu tidak sama dengan yang dirasakan kader parpol di bawahnya. Kepentingan rakyat akhirnya tertutupi arogansi oligarki elit parpol.

Ketika tidak dirubah, akan mengalir terus praktek saling mengkooptasi. Turun temurun dibuat seperti tradisi agung. Pandangan, juga kebiasaan saling mengkooptasi inilah yang membuat demokrasi tarpolarisasi. Demokrasi menjadi seperti barang mewah. Demokrasi diposisikan menjadi milik pribadi satu dua orang saja. Sebuah praktek fatal merusak demokrasi kalau demokrasi dikooptasi oligarki.

Kekuatan oligarki makin kuat karena pewarisan kepemimpinan diatur lokusnya. Ketua Umum parpol hanya bergerak dilingkaran keluarga. Seolah-olah parpol dikelola seperti tahta kerajaan. Silsilah keluarga yang mereka wariskan turun-temurun. Mereka lupa bahwa demokrasi lahir karena menantang tradisi itu.

Demokrasi meletakaan kesetaraan dan kebersamaan. Bukan dominasi kekuatan satu dua orang, atau kelompok tertentu. Begitu pula demokrasi memang wataknya anti terhadap monopoli kekuasaan. Dari interaksi, sekongkolnya oligarki inilah kebebasan demokrasi menjadi terbatas. Dampak oligarki demokrasi juga begitu sistematis.   

Lahirlah beragam mudharat karena demokrasi dikooptasi oligarki. Kebebasan rakyat memilih pemimpin pun, tak lepas dari setting elit parpol. Begitu kuatnya parpol. Sebut saja pemilihan Presiden Republik Indonesia, jika parpol bersepakat dan membuat koalisi besar. Lalu melahirkan dua pasangan calon Presiden. Tetap hanya dua calon ini yang diajukan ke rakyat.

Menolak atau tidak, atas nama demokrasi akhirnya rakyat dipaksa memilih. Memilih Golput akan dianggap tidak mendukung pembangunan. Tidak mau menyukseskan agenda nasional. Padahal, kekeliruan awal itu berada di parpol. Merekalah yang merekomendasikan pilihan pemimpin itu. Bila kedua paslon Presiden itu bermasalah, tentu rakyat tidak punya pilihan lain.

Kondisi paling buruk saat ini yang kita lihat adalah berserakahnya sampah demokrasi. Itu karena apa?, semua akibat ulah elit parpol dan pemerintah. Sampah demokrasi hadir bukan karena semata-mata kesalahan rakyat. Melainkan disebabkan dari tingkah laku elit yang korup, curang dan rakus.

Selain parpol, juga Negara dikelola dengan ugal-ugalan. Demokrasi juga tidak dihargai. Kenapa begitu? buktinya saja kalau mereka menghormati demokrasi sebagai sistem bernegara, tidaklah mungkin politik transaksional dijalankan. Yang ada malah, ditiap kali hajatan demokrasi dikotori dengan politik uang.

Yang paling bertanggung jawab atas itu yakni elit parpol. Berarti partai gagal melakukan edukasi politik. Begitupula pemerintah yang kehilangan kontak, control, dan kehilangan kendali terhadap sistem demokrasi. Dampaknya demokrasi diganggu-gugat para perusak demokrasi.

Para pelaku politik uang merupakan sampah demokrasi. Para koruptor juga sampah demokrasi. Bukan seperti yang dituduhkan Ustadz Ali Mochtar Ngabalin. Bahwa 'para pendemo adalah sampah demokrasi'. Sebuah kecelakaan sejarah yang dilakukan Ustadz Ali. Manakala 'sampah demokrasi' dialamatkan kepada para pendemo.

Termasuk sampah demokrasi, kotoran yang menjijikan yakni mereka yang melanggengkan oligarki parpol. Orang-orang yang ati perdebatan atau diskusi juga ciri khas pihak yang dapat dikategorikan sampah demokrasi. Intoleran, menjadikan Pancasila sebagai topeng untuk korupsi adalah sampah demokrasi yang amat membahayakan. Pemuja penguasa yang menyiksa rakyat tegabung di dalamnya.

Benih polarisasi demokrasi terjadi karena tingkah-laku elit. Mereka yang menjadi panutan belum tertib. Belum selesai dengan dirinya. Bagaimana menyuruh rakyat disiplin, para elit pemerintahan serta elit parpol juga tidak disiplin. Paling sederhananya, disiplin untuk berlaku adil, jujur, dan tidak curang. Tidak memanfaatkan kewenangan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Sekali lagi akibat polarisasi elit itulah demokrasi dirundung bencana. Elit pemerintah, seperti itupula elit parpol yang saling berkonflik. Benturannya, sampah demokrasi makin menumpuk. Untuk membersihkan sampah-sampah demokrasi itu. Mengharuskan elit kita bersatu padu. Punya pemikiran yang kuat, sepakat memajukan Indonesia dengan cara memantapkan demokrasi. Bersihkan demokrasi dari sikap tercela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun