Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belajar Sesuai Pesan dari Rumah

25 Januari 2021   00:38 Diperbarui: 26 Januari 2021   00:24 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ADA sebagian kita yang senang menciptakan parade. Itulah mereka yang gemar memamerkan kehebatan. Kadang atas nama popularitas, reputasi, menuntut mereka menunjukkan kebolehannya. Memerintah, mengatur, bahkan mengintervensi orang lain.

Semua usaha atau sikap-sikap yang tak mampu dilakukan orang biasa mereka lakukan. Jabatan, pangkat, kekuasaan, yang mengantar gaya hidup mereka seperti para kolonial. Mental kolonial yang senang menjajah mereka warisi. Karena dalam benaknya, mereka punya modal. Ada uang, jabatan yang mentereng.

Merasa punya kuasa atas orang lain. Atau kasta, strata sosialnya dirasa lebih tinggi. Seperti itulah jadinya. Sampai membuat mereka lupa bahwa hidup ini bermula dari tanah. Kita akan kembali pula ke tanah, liang lahat. Hanya kepalsuan puji-pujian, penghormatan, sapaan bergengsi itu dilekatkan. Tidak kekal.

Jika mengingat 'pesan dari rumah', kita akan lebih mengerem kesombongan yang membara itu. Lebih baik refleksi ketimbang aksi pamer. Sebab dari rumah kita diajarkan kesederhanaan. Mencintai, menghormati orang lain. Memuliakan, sopan santun, bersikap rendah hati, dan pelajaran-pelajaran kemanusiaan lainnya. Dari rumah kita di tanamkan sikap-sikap membumi. Tidak congkak.

Kita dilarang untuk menuruti, meniru gaya-gaya yang melangit. Sombong, bangga diri, arogan, gila hormat, merendahkan orang lain. Tak punya tata krama, menebar fitnah, mencuri, cerita aib orang lain. Pendek kata, perilaku yang dilaknat dari rumah. Terlebih, kami yang terlahir dari keluarga sederhana.

Ayah dan Ibu dari keluarga petani biasa. Pekerja keras. Kerendahan hati, kebijaksanaan, kelembutan menjadi pelajaran dasar di rumah. Tak salah, 'belajar sesuai pesan dari rumah' merupakan warisan. Akan selalu lekat dalam ingatan. Disinilah sebenar-benarnya sekolah. Rumah menitipkan kedamaian. Tidak ada tempat bagi praktek brutal, buas, tipu-tipu, dan kejahatan.

Perbudakan, merendahkan orang lain, tidak pernah kita diajarkan. Bahkan, pesan ayah, hormati mereka yang lebih tua. Maafkan mereka yang melukaimu. Belajar tulus iklas dan sabar. Hormati mereka yang berilmu. Belajarlah seperti padi yang semakin berisi, semakin merunduk. Pelajaran-pelajaran filosofis, fundamental, dan juga sosiologis itu telah ditanamkan ayah sejak dini.

Etika, moral, budi pekerti, kesopanan, memuliakan tamu, menjadi seolah-olah kitab kedua kami. Ayah memang sedikit keras. Barang kali 'pendidikan gaya kolonial' pernah dirasakannya. Keras untuk hal-hal baik. Untuk melaksanakan shalat 5 waktu, belajar membaca Al-qur'an. Diterapkan ayah tanpa kompromi. Tak ada yang berani membangkang soal itu. Kami anak-anaknya hanya manggut, ikut perintah ayah.

Pesan ayah, dalam pembicaraan lain. Jangan rendahkan harga diri kalian. Demi apapun itu, jangan pernah. Kecuali, berlutut menyembah Tuhan. Terlebih, kami anak-anak ayah yang sudah terbangun kesadaran intelektualnya, jangan menjadi pengecut. Penjilat, pecundang, apalagi bermuka dua, itu bukan watak keturunan kami. Jangan menjatuhkan orang lain, demi menaiki tangga karir. Hargai kawan, ataupun lawan.

Pelajaran kemanusiaan dari rumah memang begitu berharga, juga padat. Begitu dalam rasanya. Sampai-sampai kalau diingat, membuat mataku berkaca-kaca. Pesan ayah soal 'jangan mencuri' hak orang atau milik orang lain, juga begitu luas maknanya. Setelah dewasa, aku baru merasakannya. Betapa berharganya nasihat ayah itu. Begitu pula, tentang perlindungan keamanan. Ayah mengingatkan kita anak-anaknya, jangan mengganggu orang lain.

Risiko yang paling besar akan kita terima. Bila pesta suka, maupun kesedihan duka cita di kampong, terutama keluarga, lalu kita tak ikut hadir membantu. Minimal hadir 'ujuk muka' ayah sudah gembira. Beliau sangat marah besar, ketika anak-anaknya memutuskan silaturahmi. Di keluarga besarnya, ayah memang tokoh penginsiatif. Sekaligus komandannya keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun