Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Relasi Negara, Bisnis dan Mafia

21 Januari 2021   23:54 Diperbarui: 22 Januari 2021   10:00 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deskripsi Negara dikuasai para Mafia (Foto kopikiri.wordpress.com)

RELATIF banyak diantara kita yang enggan bicara. Terkesan takut mengajukan kritik soal pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Fenomena yang dicurigai sebagai lahan bisnis rapid test, sweb, sampai vaksin. Dalam konteks berwacana, bangunan pemikiran yang rasional, radikal sangat diperlukan. Itu sebabnya, soal Covid-19 ini memerlukan kritik tajam dan juga mendalam.

Sekarang kita bedah, bermula dari penyakit Covid-19 yang berdasarkan informasi resmi dilansir media massa bahwa induk penyebaran Covid-19 adalah dari Wuhan Negara China. Sebagai tempat penyebar petaka penyakit terkutuk ini, ya Wuhan. Kemudian, muncul vaksin yang belakangan menjadi pro-kontra. Jaringan global dibuka. Vaksin dari China pun menjadi 'rebutan', laku di pasaran. Mudah sebetulnya dideteksi, bahwa ini pure bisnis kesehatan, saya menduganya begitu.

Pemerintah Indonesia tak boleh marah atas kemerdekaan berfikir yang disampaikan. Ini soal kejujuran, ketulusan bicara, semua rakyat berhak meragukan dan curiga terhadap Covid-19. Jika pemerintah marah, lalu menjerat rakyatnya dengan aturan, itu berarti pemerintah mandul pikirannya. Mengintimidasi rakyat sendiri, tak seharusnya begitu.

Kenapa kemudian penularan Covid-19 yang semula lonjakan angka positifnya terus naik di tiap daerah kini mulai stagnan, tidak ramai lagi. Malah yang terungkap dan diributkan adalah vaksin. Menolak vs menerima divaksin. Rakyat seperti dibelah dalam dua kubu. Polarisasi dan dikotomi dibuat, yang menolak divaksin dituduh emosional atau irasional.

Sangat dangkal dan miris kesimpulan tersebut. Kemudian, mereka yang menerima divaksin disematkan 'gelar' sebagai orang-orang rasional. Seolah-olah yang menerima divaksin itu manusia-manusia tercerahkan. Lalu mendiskreditkan sebagian rakyat yang belum mau divaksin. Sungguh cara pandang yang timpang, kurang adil, bahkan sedikit picik.

Tidak bolehlah pemerintah turun merendam dirinya dalam praktek polarisasi dan diskriminasi terhadap rakyatnya. Tidak etis rasanya. Tugas pemerintah ialah mengayomi, berlaku adil, melayani. Sebagai jembatan, akomodatif, bukan pemberi hakim yang jahat. 

Pemerintah wajib berperilaku bijak. Dalam soal vaksin, rakyat  berharap pemerintah tidak ikut memperkeruh suasana. Melainkan, tampil bijaksana. Menyodorkan solusi, tidak mendorong lahirnya kerisauan publik.

Jangan pemerintah membuat sekat. Menginstimewakan rakyat lain, kemudian menjahati rakyat lainnya. Kembali ke soal Covid-19, jika suasana penyakit ini 'mengakar', tahan lama, lambat sembuhnya. Otomatis rakyat dalam ketakutan, maka pemerintah masih gagal. Ya, gagal melawan Covid-19, mencarikan solusi atas bahaya mewabahnya bencana non-alam ini.

Publik masih ingat penyampaian Presiden Jokowi yang menyebut bahwa rakyat harus bisa 'hidup berdampingan' dengan Covid-19. Takut berkonfrontasi dengan Covid-19, rumusnya yakni berkompromi dengan Covid-19. Diksi new normal pun akrab ditelinga rakyat. Makin berdesak-desakanlah ruang publik kita. Edukasi dan produksi tema-tema kesehatan, terlebih yang berkaitan dengan Covid-19 terus disuplay.

Rakyat akhirnya tau. Mereka membaca atau mendengar Covid-19, seperti sesuatu yang angker. Walau akhir-akhir ini sudah mulai berkurang rakyat yang memakai masker. Sebagian mulai mengungkap tabir, bahwa Covid-19 adalah 'penyakit malam hari saja'. 

Dimana saat siang hari rakyat diperbolehkan beraktivitas bebas, bagi pengusaha restoran, rumah kopi, rumah makan, dan sebagainya boleh berjualan di siang hari. Di beberapa Kota/Kabupaten, aktivitas para pengusaha ini dibatasi saat pukul 20.00. Setelahnya pemerintah daerah melarang.

Jadi sepertinya Covid-19 hanya aka nada di malam hari. Begitu aneh ya?. Contohnya di Kota Manado kebijakan ini terlihat. Oprerasi gabungan, tim yang diturunkan, bergabung dalam Satgas Covid-19 juga perlu menguatkan edukasinya. Kalau Covid-19 ini benar-benar ada. Satgas Covid-19, tak perlu marah-marah menunjukkan kekerasan, melainkan lakukan pendekatan persuasif.

Kemarahan tidak melahirkan solusi. Sekali lagi itu hanya akan menambah-nambah masalah. Kalau pemerintah pintar, serius menuntaskan Covid-19 harusnya pengetatan yang telah dilakukan menghasilkan menurun drastisnya penularan Covid-19. Bahkan rakyat sekarang sudah terbebas dari Covid-19. Tapi nyatanya, sampai saat ini belum selesai.

Covid-19 masih terus meneror kebebasan rakyat. Menarik, belum lama ini pernyataan Anggota DPR RI, Ribka Ciptaning juga menambah keyakinan saya bahwa ternyata Covid-19 menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk berbisnis dengan rakyatnya. Setelah ramai bagi-bagi Alat Pelindung Diri (APD), karantina, rapid test, sweb, kini vaksinasi. Bagi rakyat yang berpendapatan rendah, tentu ini menjadi masalah serius.

Soal vaksin, Negara telah memberi ke China. Yang duitnya tentu dari duit rakyat juga. Kasihan, Negara China diuntungkan dalam urusan ini. Kita diteror dengan datangnya Covid-19, sekarang vaksin mereka jual juga ke kita di Indonesia. Dalil soal vaksin gratis ya itu wajarlah, bukan prestasi juga. Belum lagi vaksin yang diberikan tidak memberi garansi bahwa rakyat yang telah divaksin terbebas dari Covid-19. Tetap semuanya akan kembali ke rakyat.

Jadi sederhananya, vaksin menjadi semacam alat bisnis negara. Rakyat yang belum mau divaksin juga sebetulnya tak perlu dipermasalahkan. Apalagi sampai diberi sanksi segala. Biarkan hak rakyat menentukan dan memilih fasilitas kesehatan yang mereka merasa nyaman. Tak perlu pemerintah memaksa. Apalagi ada sejumlah argumen bahwa Covid-19 bukan penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya lainnya.

Bila vaksin yang dibeli dengan harga mahal ini dapat membawa jaminan kesehatan. Maka dipastikan rakyat akan berbondong-bondong tanpa dipaksa, akan minta divaksin sendiri. Persoalannya, vaksin ini belum mampu memberi jaminan sampai kesitu. Artinya, ketika seseorang divaksin, bukan berarti ia terbebas total dari penularan Covid-19.

Nah, kalau begitu buat apa kita divaksin?. Ditambah lagi dengan vaksin yang menurut Ribka Ciptaning ada 5 jenis itu. Dengan harga yang bervariasi. Rakyat sekarang meminta kepastian, jangan ditakut-takuti macam-macam. Kalau toh pemerintah mau berbisnis, mengambil fee lebih dari bisnis Covid-19 dan vaksin sebaiknya jujur saja. Tak perlu malu-malu menyimpan, kemudian menjadi munafik.

Negara harus mengembalikan trustnya. Contoh kecilnya, jika rakyat sedikit saja curiga pada Negara (pemerintah) itu tandanya rakyat mulai tidak percaya. Jangan salahkan rakyat, tapi pemerintah harus mengevaluasi kinerjanya. 

Pemerintah harus mengembalikan kepercayaan itu dengan menunjukkan kerja, kepedulian nyata, membela kepentingan-kepentingan rakyat, kemudian berlaku jujur. Karena berat rasanya jika Negara berbisnis dengan rakyatnya yang secara jujur mereka perlu diberi perhatian spesial.

Kurangilah Negara membangun logika jomplang, juga naif. Yang meragukan Covid-19, yang belum mau divaksin, mereka dihakimi dengan tudingan macam-macam. Ini sangat tidak elok. Negara menjadi seperti instrument yang kehilangan fungsi strategisnya. Kalau itu terjadi, maka sangatlah memiriskan. Tidak harus begitu, Negara itu sangat kuat dan berwibawa karena dilengkapi segala macam atribut.

Rakyat yang sangsi, galak, pemarah, kurang tertib, curiga, silahkan diedukasi pemerintah. Bukan dimusuhi. Seperti itulah sebetulnya pendekatan yang dilakukan Negara. Seperti itu pula, Negara perlu banyak metode dalam memandu rakyatnya. Berdiri memberi contoh, menjadi teladan yang baik. Bukan memerangi rakyat sendiri dengan bermacam-macam argumentasi. Negara tak boleh cemen, cengeng dan cepat putus asa.

 Apapun alasannya rakyat butuh perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah. Bukan kamuflase atau perhatian semu. Mereka mengharap kasih sayang Negara. Rakyat mau dimanjakan, bukan dimusuhi. Ketika pemerintah tidak mengandalkan pendekatan kekerabatan dan merangkul, maka dipastikan segala program pemerintah mendapat penokalan rakyat. Sulitlah semua cita-cita dan visi besar yang dibangun Negara. Cara komunikasi dua arah menjadi penting.

Bukan berhadap-hadapan untuk menjadi musuh. Melainkan dijadikan mitra, kawan membangun Indonesia. Rakyat yang belum sadar pentingnya pembangunan yang tengah dijalankan pemerintah, mereka layak diberi pemahaman ekstra. 

Dibimbing, dibina, bukan dibinasakan. Gagal jadinya ketika pemerintah penuh emosi membimbing rakyatnya. Bagaimana Negara maju kalau pemerintahnya berfikir penuh dendam dan emosional?, yakin kemajuan tak akan diraih kalau begitu jadinya.   

Ada semacam kerjaan bisnis yang digeluti Negara. Hal itu berkemungkinan dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Itu sebabnya rakyat harus kritis, menghidupkan nalar sehatnya. Jangan khawatir menaruh curiga terhadap Negara. 

APD, vaksin dan semoga kedepannya tak ada lagi bisnis obat yang dipelopori pemerintah (Negara) dengan berkedok pada kesehatan. Rakyat patut berikhtiar agar tidak dibodohi. Semoga Negara kita tidak dikuasai para mafia.

Sebab, umumnya jika sudah ada bisnis, selalu saja ada mafia. Kita mengajak pemerintah Indonesia benar-benar dapat memastikan bahwa Negara Indonesia tidak sedang memelihara bisnis dan memelihara mafia. Yang kerjanya menyiksa, memiskinkan rakyat. Banyak pengalaman yang kita saksikan, dimana bisnis selalu bersenyawa, saling berkompromi dengan para mafia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun