Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ancaman Revolusi Konstitusi dan Nasib Demokrasi

3 Januari 2021   17:06 Diperbarui: 3 Januari 2021   19:45 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, buruknya demokrasi (Foto best-seller.booksblogspot.com)

JIKA Pemilihan Umum (Pemilu) digelar terpisah antara Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibuatkan shift menjadi dua tahap. Berarti wajah sistem Pemilu kita makin liberal. Mirip Pemilu di Negara Federal.

Ada skenario Pemilu dibuat dua kloter, yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Pemilu Nasional melingkupi pemilihan Presiden, Wakil Presiden, Pileg untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diproyeksikan dilaksanakan tahun 2024.

Pemilunya terpisah dengan Pemilu Lokal. Ada semacam klaster Pemilu. Tentu dalam berdemokrasi, hal ini akan mempengaruhi partisipasi pemilih. Klasifikasi tersebut juga melahirkan jarak, diskriminasi dalam perayaan demokrasi. Rakyat dibelah dalam dua kubu. Terutama bagi politisi yang terjub sebagai aktor politik dalam momentum tersebut.

Membaca sekilas, Resume Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Umum yang disiapkan Badan Keahlian DPR RI, April 2020. Tawarannya bisa memungkinkan terjadinya kerawanan, ketika RUU tersebut ditetapkan. Betapa tidak, dari aspek antisipasi dibukanya kesempatan bagi para cukong untuk bermain dalam ruang gelap demokrasi begitu besar.

Sebut saja, pengalaman kita di tahun 2020 disaat Pilkada Serentak yang dilaksanakan di 270 Daerah. Hampir semua daerah dimenangkan dengan pendekatan politik uang (money politic). Pragmatisme politik merajalela. Itu tak lain adalah perbuatan para cukong. Para pemilik model yang beropsesi, bernafsu menguasai kekayaan rakyat di daerah. Tentu kompensasi politiknya berupa proyek. Tidak ada yang gratis dalam politik modern.  

RUU akan diselaraskan dengan UU diatasnya. Sepandai apapun, diatur formatnya, perubahan Pemilu bergelombang akan melahirkan bencana demokrasi. Saya optimis hal itu akan terjadi. Sebaiknya, Pemilu tetap dilaksanakan sebagaimana siklas yang ada.

Tugas DPR dan Eksekutif yaitu membenahi yang kurang-kurang. Memaksimalkan pengawasan, lebih sadar lagi terhadap supremasi hukum. Jangan menjadi pembangkang aturan. Itu saja dulu.

Percuma aturan dirubah-rubah, kalau kesadaran elit pemerintah, elit politik belum benar-benar ada. Jangan bermimpi terlalu besar, dan berlarut. Bila di alam nyata demokrasi kita semua masih mudah menerima uang suap. Kemudian menggadaikan hak demokrasi hanya demi materi.

Ayo ambil spirit dari diksi Imam Besar Habib Muhammad Rizieq Shihab soal 'Revolusi Akhlak'. Ini menjadi kontemplasi buat pemerintah kita, juga kita semua. Jangan dianggap itu kritik atas motif kebencian. Atas nama Negara, rakyat harus bicara dan jangan alergi kritik.

Karena pemerintah boleh berganti. Tapi, Negara tidak. Negara akan terus ada, berkembang dan selama manusia Indonesia masih konsisten menjaga integrasi, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap kokoh.

Pemerintahan itu sifatnya periodesasi semata. Itu sebabnya harus dibedakan. Kritik rakyat itu semata-mata terhadap pemerintahan yang kadang mengabaikan hak-hak rakyat. Bukan anti terhadap Negara. Yang dilakukan para pengkritik, jangan direpresif. Termasuk Habib Rizieq Shihab.

Kembali ke topik Pemilu. Revolusi konstitusi yang sedang digarap ini memuat kurang lebih 3 opsi untuk waktu (tahun) pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Opsi (A), Pemilu Nasional dimulai Juni 2024 dan Pemilu Lokal dimulai Juni tahun 2022. Opsi (B), Pemilu Nasional dimulai Juni tahun 2024, kemudian Pemilu Lokal dimulai Juni 2026. Opsi (C), yakni Pemilu Nasional dimulai Juni tahun 2024, dan Pemilu Lokal dimulai Juni tahun 2024. 

Semua alternatif itu diajukan dengan catatan, pemerintah (DPR RI), akan mengambil model Pemilu Serentak berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVI/2019 yaitu Pemilu Serentak untuk Pemilihan Gubernur, serta Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.

Secara teknis Pemilu masih menggunakan 5 Kotak Suara (Memilih Partai politik, memilih Presiden/Wakil Presiden, memilih Anggota DPR RI, DPD RI, memilih Gubernur/Wakil Gubernur. Seterusnya memilih Bupati/Wakil Bupati, dan memilih Wali Kota/Wakil Wali Kota.

Skema Pemilu yang ditawarkan itu dapat dikalkulasi akan melahirkan pemborosan uang Negara yang cukup banyak. Belum lagi kontribusi konflik kepentingan yang menyebabkan dilakukannya sengketa Pemilu.

Saling gugat menggugat, penyelenggara Pemilu seperti KPU, Bawaslu dan DKPP tentu akan meminta anggaran tambahan untuk urusan tersebut. Pokoknya, demokrasi harusnya menjadi mesin yang produktif melahirkan kesejahteraan pada rakyat. Bukan membawa musibah.

Sistem demokrasi dicita-citakan membawa perbaikan nasib rakyat. Tidak membuat rakyat jelata menjadi gundah gulana. Begitu terkutuklah pemerintah (DPR dan Presiden), jika memaksakan formulasi Pemilu yang ternyata ini menjadi tameng, dan pintu masuk untuk mengamankan kepentingan kelompoknya. Lantas teriakan protes yang dilayangkan rakyat diabaikan.

Saya belum paham betul detailnya. Alangkah lebih efektifnya, mata rantai sistem Pemilu yang sudah diterapkan selama ini dimantapkan. Cara memantapkan dan mematangkannya ialah dengan  melakukan evaluasi besar-besaran. 

Evaluasi total, jujur dan professional atas nama Negara. Lalu, plus-minusnya diperbaiki. Diisi pemerintah. Kelemahan dibuatkan menjadi kekuatan. Aspek aktualisasinya perlu diawasi ketat.

Agar Presiden, sampai Menter-Menteri dan jajarannya dibawah, Wakil Rakyat dan Kepala Daerah bersama jajarannya tidak lagi terlibat korupsi. Tidak lagi menjadi tukang nyolong. Itu sederhananya. Disitu pula esensinya kita menggelar momentum Pemilu.

Bukan terfokus pada merubah siklusi Pemilu. Sistem saja diperkuat, sanksi dijalankan. Hal itu akan lebih produktif, ketimbang Pemilu dibuatkan menjadi dua segmen. Bahkan lebih telanjang lagi, jangankan diubah menjadi dua segmen Pemilu.

Lima atau tuju segmen sekalipun, jika pelaksana Pemilu dan stakeholdernya masih punya pemikiran curang, tetap saja kualitas Pemilu hancur berantakan. Rancangan Undang-Undang Pemilu yang disodorkan atau sementara dirumuskan itu bernuansa politis. Aromanya bukan lagi menyelamatkan demokrasi dari serbuan kaum kapitalis.

Jangan rakyat dibodoh-bodohi terus. Sekarang rakyat tidak membutuhkan Pemilu dibelah menjadi dua lapak terpisah. Sungguh tidak penting. Yang lebih perlu diprioritaskan ialah pembenahan nilai-nilai demokrasi. Politik membawa manfaat bagi rakyat secara jangka panjang. Banyak institusi yang harus kita kuliti, supaya bekerja maksimal.

Mereka yang digaji Negara dari uang rakyat harus mempertanggung jawabkan kerjanya. Penyelenggara Pemilu, pemerintah dan partai politik dalam kaitannya dengan Pemilu. Pesta demokrasi akhir-akhir ini lebih banyak melahirkan mudharat. Mobilisasi massa meski Covid-19, kekacauan, bagi-bagi Sembako dan bagi uang masih saja dilakukan massif. Sayangnya, penyelenggara Pemilu seperti tak punya kemampuan memberikan sanksi tegas.

Salah satu senior saya di KAHMI, Bang Ipul Ruray, belum lama ini pernah menyebutkan bahwa cepat atau lambat Pemilu dan Pilkada dirancang menjadi sebuah rutinitas biasa-biasa saja. Bukan sebuah momentum perubahan politik lagi yang bersifat signifikan. Bentuk kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan tentunya. Sebab gejalanya sudah mulai bermunculan. Rakyat malah senang dengan momentum-momentum politik seperti itu karena mereka kebagian uang dan sembako dari hasil 'serangan fajar'.

Memiriskan, kita mendoakan agar pemerintah Republik Indonesia berfikir futuristik. Memantapkan suprastruktur dan infrastruktur politik. Tidak ada lagi praktek curang. Para bandit demokrasi diberikan sanksi yang sekeras-kerasnya. Jangan sampai anggaran Negara (APBN) dan juga APBD menjadi sia-sia membiayai partai politik dalam tiap tahunnya.

Tentu masa depan demokrasi kita akan makin suram, bila desain Pemilu dilakukan hanya berorientasi politik. Melalui DPR RI yang mengusulkan pola Pemilu terbaca hanya memangkas, mempersingkat proses demokrasi kita. Publik akan ragu bahwa yang dilakukan wakil rakyat di Senayan itu demi majikannya yakni rakyat. Malah lebih dominannya, RUU itu sebagai wujud pemuas birahi politik para elit parpol.

Jangan lagi percaya alibi politisi. Argumen penguatan dan pembenaran, yang pada akhirnya Pemilu dipolarisasi menjadi dua varian. Kalau begitu jadinya, nyaris sama seperti kita berdemokrasi dari nol. Sentralisasi kewenangan DPR dalam merancang undang-undang juga harus memperhatikan kepentingan rakyat secara umum. Jangan ikut maunya saja. Sedih, jika rakyat protes dan demonstrasi dituduhnya lagi melakukan makar.

Melawan Negara dan seterusnya kecurigaan dialamatkan kepada rakyat. Padahal, rakyat menghendaki ada perbaikan terhadap Negara Indonesia tercinta. Jangan selesai dengan hutang-berhutang dari tiap kali pergantian Presiden. 

Warisannya hanya hutang, itu tidak baik. Sangat merusak masa depan demokrasi. Memberi beban terhadap anak cucu kita kelak. Kalau menjadi pemimpin Negara sekedar berhutang, semua kita bisa melakukan itu.

Buatlah pemerintahan ini lebih bermartabat, dihormati dan tidak berhutang lagi. Berhenti bangga dengan berhutang, apalagi iuran BPJS Kesehatan untuk kelas 3 juga sudah naik di tahun 2021 ini. Kasihan rakyat miskin yang belum tercaver program subsidi pemerintah. Belum lagi Indonesia dikepung penyebaran Covid-19, pemerintah meminta kita untuk stay at home.

Jauhi kerumunan, berarti kita juga mengurangi intensitas bekerja di ruang publik. Lantas solusinya apakah kita berdiam diri di rumah dan pemerintah memberi kita uang?. Kacau.... Nasib demokrasi akan makin tidak jelas arahnya. Tiap periode, rute dan jadwal Pemilu bisa dirubah-rubah. Ini ancaman nyata. Jalan menuju revolusi konstitusi mulai dibuka pemerintah. Berlahan-lahan, perubahan drastis dilakukan. Tentu bukan tanpa sengaja.

Model demokrasi kita yang disebut demokrasi Pancasila sudah berubah haluannya dalam praktek. Demokrasi kita telah menjadi demokrasi pasar. Menjadi panggung bagi para pemilik modal untuk belanja suara. Konstituen atau pemilih juga menyambut itu.

Alhasil, seperti lahan subur demokrasi Indonesia diminati para kapital. Dengan bermodal uang, suara rakyat dapat dibeli. Begitu rendahnya kedaulatan rakyat. Miris memang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun