Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menakar "Timbangan Dosa" Wakil Rakyat

27 Oktober 2020   12:46 Diperbarui: 27 Oktober 2020   19:04 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedungnya para wakil rakyat (Foto Kosongan.com)

Tidak mudah memang perjuangan para politisi untuk lolos ke Senayan atau di gedung wakil rakyat (DPR dan DPRD). Semua proses dilewatinya. Melalui pintu sistem demokrasi yakni pemilihan satu orang satu suara. Cara votinglah yang menyeleksi mereka sampai duduk di parlemen. Baik Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) semua dilewatinya dengan pengorbanan.

Korban waktu dan materi sudah pasti. Dengan takaran berbeda, ada politisi yang sampai berhasil duduk di kursi wakil rakyat menghabiskan Ratusan juta. Ada pula yang Miliaran rupiah. Menjadi politisi, terutama legislator di Indonesia memang harus punya modal. Tidak sekedar modal sosial (social capital). Lebih dari itu adalah modal finansial. 

Hasil dari dialektika politik itu melahirkan wakil rakyat yang pikun. Mereka yang cepat ingkar terhadap janjinya sendiri semasa kampanye. Ketika musim Caleg, berbagai pendekatan massif dilakukan untuk masyarakat. Ironisnya, setelah menang ada jarak yang sengaja diciptakan. Mari kita takar seberapa besar dosa wakil rakyat. Tentu pendekatan politik religius ini tidak mudah. Paling tidak kita hendak mengingatkan ke mereka bahwa ada alam akhirat.

Allah SWT meminta pertanggung jawaban mereka sebagai wakil rakyat. Atas kemewahan kekuasaan dengan segala fasilitas yang disediakan dari duit rakyat, sedihnya ada legislator yang mengingkari tugas, kewenangan dan fungsinya. Mereka memilih kejar target. Memperkaya diri, mereka malah tiba-tiba anti-sosial. Menjauh dari kerumunan, bahkan jauh sebelum pandemi Corona Virus mengancam Indonesia. 

Tentu mereka berjarak dengan dalil, agar tidak ditagih janjinya. Sebab, selama kampanye Pileg 2019, ada legislator yang menjanjikan perbaikan infrastruktur, pendidikan gratis, kesejahteraan rakyat, dan seterusnya. Padahal, sering kali mereka kelewatan batas, itu bukan kewenangannya. Melainkan, kewenangan eksekutif. Akhirnya apa?, wakil rakyat kita menjadi takut ketika bertemu konstituen.

Mereka dilema, walau tidak semua yang seperti itu. Nyaris tak mampu membedakan mana domain atau otoritas wakil rakyat dengan eksekutif. Sehingga mereka menjadi malu sendiri setelah terpilih sebagai wakil rakyat (DPR RI atau DPRD). Jalan keluarnya, mereka lalu mengisolasi diri. Membatasi pergaulannya sendiri, sehingga selama menjadi wakil rakyat ia menjadi tidak pandai lagi bergaul. Begitu memiriskan.

Dalam pandangan agama bagi mereka yang khianat akan diberi ganjaran Neraka. Disebut orang berdosa. Bagaimana kalau wakil rakyat yang ingkar atas Sumpah Janjinya, bahwa mereka akan mengabdikan diri untuk kepentingan publik. 

Mereka bersedia menjadi budak rakyat. Realitasnya, tampilan dan cara berinteraksi dengan masyarakat malah berlagak seperti bos besar. Seolah-olah merekalah majikannya masyarakat. Sunggu terbalik paradigma yang dibangun.

Bagi para wakil rakyat yang menghianati rakyat, sudah pasti ada tiga sanksinya. Yakni sanksi sosial, sanksi hukum dan sanksi Neraka. Mereka yang buta mata hatinya terhadap kepentingan rakyat, berpotensi menghadapi tiga sanksi sekaligus. Untuk sanksi sosial, bisa saja mereka tidak dipilih kembali jika mencalonkan diri lagi sebagai wakil rakyat dalam kompetisi Pilcaleg periode mendatang.

Berbahayanya lagi, bagi mereka yang memanfaatkan kewenangannya. Sehingga berhadapan dengan kasus hukum. Sanksi hukum ini berupa penjara kurungan badan, alhasil karir politisi tersebut terancam. Keluarganya menjadi malu. Hal itu terjadi kebanyakan, karena wakil rakyat korupsi. Bertindakan kriminal, memakai narkoba dan perbuatan melawan hukum lainnya dilakukan.

Menjadi dosa kolektif bagi wakil rakyat, misalnya memutuskan regulasi (Undang-Undang) yang menyiksa rakyat. Tidak main-main bobotnya, dimana rakyat yang iklas memilih wakil rakyat, lalu setelah mendapatkan posisi itu wakil rakyat menjerumuskan rakyatnya dalam jurang kemiskinan. Wakil rakyat misalkan ikut menyetujui BBM dinaikkan, iuran BPJS dinaikkan, Tarif Daftar Listrik dinaikkan, dan seterusnya. Ini disebut dosa wakil rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun