Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politisi yang Kehilangan Akal Sehat

6 Juli 2020   14:16 Diperbarui: 7 Juli 2020   22:49 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi politisi. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

"Bayangkan saja: bagaimana nantinya bisa berjuang dengan masyarakat, kalau politisinya dungu dan malas mikir?"

Pesatnya gerakan politisasi agama, politisasi nilai-nilai primordial dan isu-isu sensitif lainnya membuat perkembangan demokrasi kita kian kacau-balau. Tentu isu semacam itu, dihadirkan dengan tujuan tertentu. 

Pembuat isu yang mempolitisasi dan mengkapitalisasi semangat beragama, melalui politik simbol akan mendapat manfaat dari isu yang digulirkan itu. Dampak negatifnya tidak mereka hiraukan.  'Gorengan' narasi bernuansa kesukuan yang berlebih berujung fatal.

Cara seperti itu melahirkan yang namanya tribalisme. Membuat orang-orang menjadi fanatik, membangkitkan dan menumbuhkan kesadaran serta kesetiaan masyarakat tertentu terhadap suku yang mereka anut. 

Seperti itu pula dalam ranah praktek politik transaksional, 'ada uang ada suara', berhasil menumpulkan akal sehat publik. Pragmatisme politik dianggap hal yang lumrah dalam demokrasi, padahal itu sungguh riskan.

Kelompok politisi yang membahayakan demokrasi yaitu mereka yang teguh memelihara isu-isu sektarian. Kemudian mengabaikan kebersamaan, kerukunan dan solidaritas.

Mereka hanya berkepentingan mendistribusi isu yang membuat mereka menang secara politik, soal dampaknya kadang digampangkan. Setelah menang dalam pertarungan politik barulah konsolidasi dan rekonsiliasi dari konflik yang timbul atas isu-isu sektarian itu dilakukan.

Politisi yang kehilangan akal sehat diantaranya seperti yang dielaborasi sebelumnya. Tak sedikit dari mereka begitu arogan. Hatinya kurang sensitif melihat ketidakadilan. 

Dalam mengelola isu-isu yang berdampak rawan terhadap kerukunan atau stabilitas sosial pun mereka lamban turun tangan. Kaca mata yang mereka pakai yakni bagaimana caranya menang di panggung politik. Memfitnah, menelikung juga dipandangnya bagian dari mainan politik. Rasionalitas politisi seperti ini telah terkikis, terdistorsi atas kemauan mengejar kepentingan semata.

Watak politisi 'berakal pendek' memang cenderung apatis dengan proses. Menurut mereka kebanyakan, hasil menjadi yang utama. Tak perlu berlama-lama dalam proses, tak perlu semua proses berbelit, baru meraih menang. 

Ilustrasi, menjaga akal sehat (Foto Ojokepo.com)
Ilustrasi, menjaga akal sehat (Foto Ojokepo.com)
Semua proses berliku akan mereka pangkas dengan mengandalkan materi kebanyakannya. Jangan heran kadang mereka tidak merasakan nikmatnya proses dialektika sosial melalui kesulitan, keringat dan air mata dalam berjuang. Mereka terlahir sebagai politisi cengeng.

Begitu gesitnya bermanuver politisi 'abal-abal' selalu menyusup dan tertelip dalam momentum politik. Apa kehebatannya? Kenapa pula mereka begitu mudah melakukan akselerasi politik?, tentu bukan tanpa alasan.

Kuncinya tentu adalah akses serta sumber daya yang mumpuni. Nalar politik yang rasional memang membutuhkan itu, membutuhkan materi, relasi dan intervensi struktural. Tidak semua memang, tapi hampir rata-rata para politisi yang hilang akal sehatnya yaitu mereka yang cepat prosesnya di panggung politik.

Tidak dalam jangka waktu yang lama, tiba-tiba telah menjadi wakil rakyat, pemimpin eksekutif, pendonor dana dalam tiap kali kontestasi politik. Ya, karena mereka punya 'nilai lebih'. 

Dan nilai lebih yang dimaksud yaitu bisa bermacam-macam, kuat koneksinya, kuat basis logistik dalam politik, kuat mencari simpati pimpinan, enggan melakukan protes terhadap yang sebetulnya salah. Selain itu, tentu mereka yang mendapati jabatan publik dan strategis karena warisan orang tuanya.

Tidak mandiri secara pikiran dan implementasi. Tipikal politisi semacam ini mudah rapuh, tak tahan hantaman, bujukan dan tekanan. Beda konteksnya dengan politisi yang mengakar ke masyarakat, memulai kiprahnya dari proses berdarah-darai dari bawah. Mereka tidak menjemput kesuksesan di ujung, melainkan turun berproses melewati badai yang bergelombang dan penuh ancaman. 

Memang ada juga politisi instan, terlahir dari pengusaha. Mengimbangi 'keterlambatan', mereka umumnya segera melakukan adaptasi. Mengembangkan potensi, menghargai situasi lapangan melalui pergaulan yang luas, ditambah lagi dengan rasa ingin tau, mau memperbaiki diri untuk bekerja bagi masyarakat. Merugilah mereka politisi instan yang setelah menjadi pejabat publik mengurung diri, mengunci aktivitasnya pada ruang kesunyian.

Anti kritik, menghindari percakapan di ruang sosial, aktivitas semacam itu akan melahirkan politisi yang hilang akal sehatnya. Hilang akal sehat dapat pula dialamatkan pada politisi yang tidak mengaktifkan eksistensinya di ruang publik. Mereka menjadi terasing saat menjadi wakil rakyat, mereka kaku saat menjadi pejabatan publik lainnya karena wawasan yang terbatas, kemauan belajar yang rendah dan pengalaman yang minim. 

Idealnya politis harus mengevakuasi dirinya sendiri agar tidak terpapar kebodohan. Rawat akalnya sehingga tidak kehilangan akal sehatnya. 

Memainkan perannya di tengah masyarakat, tidak merekayasa diri seperti malaikat pula (jaim), tidak pula berkarakter barbar dengan memakai hukum rimba saat berinteraksi dengan masyarakat. Namun bagaimana politisi menjadi dinamisator, pemberi solusi, ramah dan menjadi andalan bagi masyarakat.

Segeralah para politisi menumbuhkan akal sehatnya. Jangan menjadi tumpul, malas mikir dan mengancam kekritisannya sendiri. Terutama bagi politisi yang mendapat amanah sebagai wakil rakyat (DPR RI, DPD RI, dan DPRD). 

Harus terus mengasah akal sehat, mempertajam pula kepekaannya pada masyarakat, untuk kemudian mempunyai modal saat masyarakat menuntut keberpihakan politisi. Bayangkan saja, bagaimana nantinya bisa berjuang dengan masyarakat, kalau politisinya dungu dan malas mikir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun