Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Virtual seperti Berdemokrasi di Rumah Hantu

17 Juni 2020   22:59 Diperbarui: 18 Juni 2020   07:17 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada virtual (Dok. Google)

Gelombang dan denyut demokrasi kita di tengah pandemi sedang sakit, sekarat dan abnormal. Terhimpit antara kebebasan, kecemasan serta ketegangan. Betapa tidak sedikit rakyat yang menghindari kerumunan karena takut terjangkit menularnya Covid-19. Anehnya, situasi itu seperti diabaikan KPU, politisi dan stakeholder terkait. 

Mereka malah kompak melaksanakan Pilkada Serentak, Rabu 9 Desember 2020. Lahirlah paradoks demokrasi disini. Sepanjang sejarah Pilkada, baru kali ini kita menggelar Pilkada di musim pandemi. Merayakan pesta demokrasi dalam keadaan khawatir, bahkan sebagian rakyat berduka. Stigma negatif Covid-19 masih mengalir, melekat dalam pikiran rakyat. Edukasi untuk menetralkan dan mendamaikan hal itu menjadi penting. Agar rakyat tidak panik menghadapi bahaya Covid-19.

Dramatisasi yang berlebihan dan pemberitaan hoax terkait Covid-19 juga masih ada. Menyedihkannya, pemerintah (KPU dan Bawaslu) ngotot melaksanakan Pilkada. Mereka satu suara, seperti dalam regu paduan suara, begitu solid mendorong Pilkada dilaksanakan, meski pandemi. Persepsi menginterupsi keinginan segelintir orang dalam melaksanakan Pilkada 2020 juga bergulir.

Yang kontra terhadap Pilkada 2020 beralasan bahwa penundaan Pilkada Serentak sebelum 9 Desember 2020 atas argumen karena darurat kesehatan (bencana nonalam). Lucunya, akhirnya dilaksanakan 9 Desember 2020 dengan diksi melanjutkan tahapan. Padahal situasinya, Indonesia masih menghadapi tantangan Covid-19. Sebuah sikap yang inkonsisten, tak layak diteladani.

Ritual demokrasi di era pandemi yaitu dengan menjalankan Pilkada virtual (media daring) tidak efektif. Dimana pola sosialisasi kebanyakan bersifat virtual, dengan menjalankan disiplin physical distancing. Disinilah ruang yang menungkinkan robot dan tuyul bisa menyelip. Merekayasa diri, menyamar dan berposisi sebagai pemilih dalam Pilkada pandemi. Pilkada yang cukup riskan.

Konsepsi Pilkada dengan menggunakan alat teknologi, melalui digital (virtual) dapat melahirkan distorsi demokrasi. Bagi daerah-daerah di Indonesia yang menggelar Pilkada Serentak belum mengakomodasi yang namanya sistem e-voting. Konstituen kita masih diberi kesempatan memilih manual dengan menggunakan APD (Alat Pelindung Diri). Ini juga menjadi tantangan baru. Belum lagi KPU ketambahan anggaran untuk membeli APD.

Pilkada darurat tapi penyelenggara Pemilu nyaris tak melakukan penghematan. Sialnya, permintaan tambah anggaran disetujui. Sedangkan rakyat masih membutuhkan penanganan Virus Corona. Rakyat mendesak situasi pandemi benar-benar selesai, barulah Pilkada Serentak dilaksanakan.  Ekspektasi itu tidak dihiraukan sama sekali, KPU cs malah bersekukuh Pilkada 2020 dilaksanakan.

Rakyat dibawa pada serial demokrasi yang dilipat. Beragam tahapan yang panjang dan melibatkan kerumunan massa, diringkas KPU. Tentu kualitas, partisipasinya berbeda dengan demokrasi yang normal. Kita seperti berdemokrasi di rumah hantu, sepi penghuni dan juga melaksanakan demokrasi dengan ketakutan. 

Ya, tentu rakyat yang merayakan demokrasi (Pilkada) takut dengan ancaman penularan Covid-19. Tidak tenang rakyat berdemokrasi, mereka tak ada suka cita. Kecuali pemburu kepentingan yang buta mata hatinya memikirkan keselamatan rakyat.

Alur tarik-menarik kepentingan pun dalam situasi wabah Covid-19 yang terus bertambah memakan korban, kian gencar dan sukar terdeteksi. Mereka para kelompok kepentingan tak mau ambil pusing dengan hal-hal lain tak relevan dengan kepentingan politiknya. Yang mereka renungkan dan dambakan hanyalah bagaimana menang dalam Pilkada 2020.

Kontestasi kepentingan domestik, kepentingan import maupun eksport mereka pertaruhkan di Pilkada. Para penyelenggara Pilkada juga berpeluang bermain dalam kondisi seperti ini. Semua yang terlibat dalam hajatan Pilkada tentu tidak mau kehilangan kesempatan. Dari interaksi demokrasi, maka lahirlah konsesi politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun